upi

Curhatan Ketika Melihat yang Ramai-Ramai di UPI

Bismillah

Perkenalkan, saya adalah mahasiswa semester enam di Universitas Pendidikan Indonesia. Itu artinya sudah hampir tiga tahun saya menghirup udara di Bandung Utara. Sedikit tentang saya, saya adalah jenis manusia yang dilahirkan dengan karakter suudzon dengan segala sesuatu yang hadir. Misalnya, mencurigai orang yang tangannya ke belakang itu sedang menggendong tuyul. Selain suudzon, saya juga sering (berlagak) meramalkan kondisi yang akan datang. Misalnya, meramal apakah rektor UPI besok-besok adalah laki-laki atau perempuan dan akan diblurkan wajahnya atau tidak. Satu lagi, saya senang curhat. Misalnya, seperti yang saya lakukan sekarang.

Kampus Daerah Purwakarta Universitas Pendidikan Indonesia

Saya ingin sedikit curhat tentang kampus saya. Beberapa hari yang lalu, saya mengecek salah satu grup di aplikasi chating. Di sana saya melihat foto yang terdapat di kampus UPI Purwarkarta. Tulisannya, “HADIRILAH!! LOMBA UMBAR JANJI BEM REMA UPI #JANJITINGGI=HALUSINASI!!”. Ya betul, kampus UPI sedang ramai-ramainya Pemilihan Presiden BEM Rema UPI 2020. Situasi ini mengingatkan saya akan kondisi Pemilu Presiden 2019. Saya paling ingat cuitan Bilven: “Siapa pun yang menang, rakyat tetap kalah.

Ini tentu harus menjadi pikiran kita semua. Apa dampak positif dari hadirnya organisasi “tingkat kampus” ini? Apakah organisasi ini benar-benar memiliki peran bagi civitas academica? Setidaknya, di kampus ini saya pernah dan sedang menjalani tiga peran: mahasiswa biasa, anggota organisasi kemahasiswaan, dan aktipis kampus.

Sebagai Mahasiswa Biasa

Ketika saya menjadi mahasiswa biasa dan melihat ada kampanye di fakultas, yang akan saya lakukan adalah tidak peduli dan mengacuhkannya. Karena alasannya jelas, saya tidak merasakan dampak apa pun dengan hadirnya organisasi “tingkat kampus”, ini terjadi sejak awal masuk kuliah.

Mahasiswa biasa seperti saya akan terasa sangat jauh dengan mereka. Mereka terkesan “wah” untuk saya yang “dih”. Bahkan, organisasi “tingkat kampus” ini seolah menjadi hantu yang “katanya” ada, sering dibicarakan, tetapi tidak kelihatan. Ya begitulah kalau sudut pandang saya sebagai mahasiswa biasa.

Sebagai Anggota Organisasi Kemahasiswaan

Sebelum kuliah, saya tidak pernah mengikuti organisasi apa pun. Namun, beberapa waktu setelah menginjakkan kaki di kampus ini, saya menjadi sadar. Saya sangat membutuhkan organisasi untuk memantapkan diri.

Namun, menjadi anggota organisasi kemahasiswaan bukanlah hal yang mudah. Sebab, sebagai anggota, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan masalah-masalah di dalam organisasi. Dalam dua tahun, saya sudah merasakan menjabat sebagai anggota biasa sampai pucuk pimpinan. Setidaknya, ada dua hal yang selalu menjadi masalah organisasi mahasiswa tiap tahunnya: Iuran Kemahasiswaan (IUK) dan Kaderisasi.

Baca juga: DI BAWAH BUMSIL

IUK adalah salah satu sumber dana yang diberikan kampus kepada organisasi di dalamnya. Setidaknya, ada dua pertanyaan besar soal masalah ini: nominal IUK dan proses administrasi pengambilan uangnya. Jika saya utarakan, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berbunyi:

 “Naha sakieu-sakieu wae duit teh?”

“Ribet banget sih ngurusin IUK.”

“Ini gimana sih cara ngambilnya?”

Lalu jika berbicara tentang kaderisasi, sudah menjadi kebijakan kampus tiap tahunnya untuk menerbitkan surat edaran larangan menyelenggarakan kaderisasi tiga bulan setelah Moka-KU. Tentu ini berdampak bagi sebagian organisasi. Kenapa? Karena periode organisasinya yang berbeda-beda. Tidak etis rasanya kampus memaksakan organisasi kemahasiswaan di dalamnya melaksanakan jadwal yang sudah mereka tentukan sendiri. Kesannya, “Seenaknya sajah, ndak nanya-nanya!

Nah, meski menjadi masalah rutin tahunan, suudzon saya, tidak ada usaha dari organisasi “tingkat kampus” untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut. Ini terbukti, kami selaku organisasi, bergerak sendiri untuk ngutruk dan nanya-nanya soal kebijakan-kebijakan tersebut. Bukan saya ngemis agar dibantu, hanya saja, saya kira, organisasi “tingkat kampus” mesti sadar akan perannya untuk membantu ormawa-ormawa lainnya.

Sebagai Aktipis Kampus

Sebetulnya, saya merasa belum benar-benar layak disebut aktipis kampus, makanya saya pakai “p” bukan “v”. Walaupun begitu, ditidak-tidak juga saya pernah berkecimpung di dalamnya. Itu membuat saya sedikit banyak mengetahui kebobrokan dan penyebab pergerakan di kampus ini, melempem.

Muncul pertanyaan di benak saya, Kenapa pergerakan di kampus UPI gini-gini aja? Kenapa kok malah keliatannya makin turun sih?”. Kalo menurut pribadi saya, ya karena monoton, alias gitu-gitu aja, alias tidak ada pembaruan.

Misalnya, dalam ranah kajian. Terkadang para aktipis lupa pentingnya sebuah kajian. Padahal yang saya tahu, dalam aksi massa, kajian adalah peluru. Ketika pelurunya loyo, maka tidak akan ada yang tersakiti apalagi terbunuh.

Kajian yang kita lakukan hari ini, tak beda jauh dengan kajian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, situasi politik hari ini, umumnya isu pendidikan, khususnya isu kampus, kian berkembang. Misalnya, jika menyinggung isu pendidikan, sudah sejauh mana kita mendalami dampak taktis dan strategis dari kebijakan Kampus Merdeka-nya Nadiem Makarim. Atau masalah-masalah kampus yang menjadi acara rutinan aktipis mahasiswa, yaitu UKT, Seleksi Mandiri, dan Fasilitas. Sudah sejauh mana perkembangan kajian yang sudah kita lakukan?

Selain masalah kajian, ada juga masalah atur-mengatur aksi. Selain aksi massa yang merupakan jalan terakhir dalam sebuah pergerakan, kegiatan “rangsangan” apa lagi yang telah kita laksanakan? Misalnya, apakah kita sudah mencoba fasilitas baru seperti Unit Layanan Terpadu (ULT) dalam hal pencarian data dan pelaporan? Apakah kita pernah mencoba meramaikan dengan konser musik bertajuk komersialisasi dan pripatisasi kampus? Apakah kita pernah membagikan susu murni gratis kepada seluruh civitas academica dengan propaganda-propaganda lucu berisi satire-satire yang nyindir isu kampus dan pendidikan? Rasanya bentuk-bentuk baru itu perlu dicoba di tengah kondisi global yang memengaruhi karakter manusia hari ini.

Nah, di tengah masalah yang menumpuk ini, BEM Rema selaku organisasi “tingkat kampus” yang (mungkin) memiliki power lebih untuk menangani masalah ini malah terlihat loyo. Harusnya sih, seminimal-minimalnya mencoba menempuh alur-alur birokrasi, apakah hal tersebut rutin dilakukan? Tampaknya tidak. Ketika hal yang minimal saja belum sanggup ditempuh, apalagi melakukan hal-hal yang revolusioner seperti meliburkan mahasiswa se-UPI sebagai bentuk boikot terhadap masalah-masalah yang hadir? Rasanya sulit.

Kita harus kembali insaf dan menginsafkan bahwa segala yang kita lakukan, segala bentuk perjuangan yang telah dan akan kita lakukan, mestilah berawal dari mahasiswa, dilakukan oleh mahasiswa, dan hasilnya untuk mahasiswa. Mestinya, ini menjadi dasar sebuah gerakan. Saya tidak mau lagi mendengar sebuah gerakan yang berisi kepentingan-kepentingan politik, komo ditunggangi mah. Tidak etis banget dong!

Alhamdulillah

Harapannya sih, curhatan saya ini bisa menjadi sedikit pandangan untuk siapa pun. Ya, selain mahasiswa di Kampus Purwakarta, ada juga mahasiswa di Kampus Bumi Siliwangi yang tidak merasakan dampak apa pun dari organisasi “tingkat kampus” ini. Mungkin ini bisa jadi sedikit pandangan di tengah ramainya perpolitikan hari ini.

Jika situasi masih begini-begini saja dan kemungkinan besok-besok juga masih begini-begini saja (saya yakin sih masih begini-begini saja), ya jelas sih di Pemilu Kampus hari ini, saya akan mencoblos-coblos area putih di kertas suara (jauh banget dari fotonya).

Bumi Siliwangi, 20-02-2020.

Baca juga: Nyonya-Nyonya dalam Langgam