Saya ucapkan selamat dulu, untuk semua yang sekarang resmi jadi mahasiswa. Walaupun sempat diberi pesan “Please wait, the meeting host will let you in soon” dengan konfirmasi berupa pembayaran uang kuliah tunggal dan uang pangkal. Barangkali ke-baper-an saya ini menyemangati, bukan menakut-nakuti lho ya.
Selasa, 1 September 2020, UPI memulai perkuliahan pertama via daring. Kulon (alias kuliah online) sapaannya bagi sebagian dosen. Ia mempertemukan dosen dengan mahasiswanya dari layar masing-masing mereka.
Gara-gara kulon ini, mungkin ada mahasiswa yang senang bisa melihat doi lebih leluasa ketimbang hanya melirik tangan & pipi sewaktu duduk bersebelahan di kelas. Banyaknya sih senang bisa mengembangkan keterampilan multi-tasking. Kalau saya, banyak keresahannya. Seperti jatuh hati, emosi terkuras.
Persiapannya, charging perangkat semalaman. Mesti memastikan energi cukup agar tidak mengganggu keasyikan ngobrol. Nungguin kabar dari pagi, takut-takut ada berita mengejutkan yang butuh respon. Saya pasti balas. Entah itu notif pembagian bantuan yang tiba-tiba masuk rekening atau sebatas seruan update biodata. Modus mah kan bisa gimanapun caranya.
Cek saldo internet, ancang-ancang pemakaian kuota yang besar untuk video call berjam-jam. Sebab katanya, pengorbanan itu perlu. Maklum, melepas rindu berbulan-bulan tak bersua. Apalagi, ini UPI-nya juga ngebet. Padahal yang di atas masih memproses bantuan kuota. Padahal juga, orientasi untuk mahasiswa 2020 baru dilangsungkan. Sampai-sampai panitianya dispensasi demi ai-ai. Syukur-syukur bisa mengisi presensi di link yang disebar di grup kelas saja.
Lalu ceritanya pertemuan pertama ini dimulai. Sedihnya, kedekatan saya dengan si kulon ini berputar di lingkaran yang sama. Hubungan kami terus reconnecting. Memulai dari awal itu memang baik, tapi kalau terus mengulang ya lelah juga. Beruntung kalau doi mengerti usaha kita, kadang-kadang kan dianggapnya telat. Jadi harus mengerahkan cara ekstra.
Sekali berhasil, saya lega karena sudah bisa memasuki ruangnya. Tapi, perjuangan belum usai. Saya harus mengulangi ke-baper-an tadi setiap empat puluh menit sekali. Belum sempat pamit, saya sudah ditinggal duluan. Bisa lebih parah jika situasinya berbalik. Contohnya, ketika sinyal memburuk. Saya masuk ke ruangnya, berdiskusi ria, lalu saya dianggap berpaling karena meninggalkannya tanpa izin. Saat itu, saya khawatir. Kelak di presensi, ketidakhadiran saya tercatat sebagai absen tanpa alasan. Sungguh berpotensi memberikan kegalauan. Kalau tak lulus mata kuliah, ya mesti mengulang. Pastinya dengan modal yang tidak akan bisa ujug-ujug ada di rekening saya.
Nah, saya jadi paham kenapa Long Distance Relationhip itu berat. Lebih banyak harapan dan rindu yang tertanam, namun banyak celah kekecewaannya. Layaknya menumbuhkan cinta dan merawat hubungan, perlu konsisten. Pembelajaran daring jarak jauh ini juga perlu kestabilan. Kestabilan emosi, sistem, ekonomi, sinyal, bahkan kestabilan bumi. Semoga jangan terulanglah ke-baper-an ini, Tuhan merestui, serta UPI memfasilitasi.
Baca juga: FILM TILIK: MENYIKAPI BERITA DARI MULUT BERKEKUATAN 3000 TENAGA KUDA
Penulis: Retno Ika Lestari Widianti