Demokrasi hanya sebuah kata yang tiada arti di hadapan masyarakat yang tertindas. Mereka memperjuangkan hak tanah dari pejabat yang hanya mementingkan bangunan megah. Ekosistem kehidupan mulai hancur perlahan. Tiada air, tiada pepohonan, dan tiada tempat tinggal. Kini yang tersisa hanyalah perjuangan-perjuangan dari penindasan oleh perut keparat. Bangunan megah berdiri tegak, tapi makhluk hidup perlahan hilang habitat.
Pembangunan gedung-gedung tinggi di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jabodetabek, telah mendorong alih fungsi lahan secara masif, termasuk kawasan hutan kota dan ruang terbuka hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan pada periode 2019-2023, rata-rata kerusakan hutan di Indonesia mencapai lebih dari 600.000 hektar per tahun. Hal ini disebabkan oleh konversi lahan untuk infrastruktur dan kawasan industri. Bangunan pencakar langit yang berdiri megah seolah menjadi simbol kemajuan. Namun, di baliknya tersembunyi kerusakan ekologis yang semakin sulit dipulihkan dan penduduk asli yang terpaksa mengungsi mencari tempat baru.
Pergelaran Sastra Bumi Owah
Bumi Owah, pergelaran sastra mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia semester 4A Universitas Pendidikan Indonesia, yang menunjukan kondisi terkini sebuah negara dengan segala kekayaan alamnya. Masyarakat dihidupi dengan kebutuhan yang sangat cukup. Tapi itu hanya untuk pejabat keparat saja, bukan rakyat kecil yang selalu tertindas. Pergelaran ini merupakan kritik kepada pejabat negara yang sewenang-wenang merusak lingkungan hanya demi sebuah citra yang dibalut bangunan mewah nan megah. Sedangkan kehidupan di dalamnya perlahan mati. Warga desa dipaksa pergi di tanah lahir mereka. Hewan mulai hilang habitat untuk hidup. Pepohonan hijau kini hanya tersisa akar-akar yang terkubur oleh proyek ambisius.
“Bumi Owah itu artinya negeri yang kita tempati dan Owah merujuk pada dua tafsiran, perubahan dan kehancuran. Kami resah soal demokrasi, soal alam, dan kejadian keadaan sekitar yang sudah parah akibat manusia,” jelas Wisnu, Sutradara Bumi Owah.
Baca Juga: Empat Kaki Baik, Dua Kaki Jahat: Simbol Kritik Kekuasaan dalam Rajas Tamas
Sindiran terhadap Pembangunan Negeri
Pergelaran Sastra Bumi Owah mengkritik para pejabat dengan segala kekuasaannya, memerintahkan para pekerja untuk membangun gedung-gedung tinggi. Penghuni tanah asli terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena dirusak secara paksa. Apabila mereka melawan, tentu akan ada intimidasi dan ancaman nyawa. Ironisnya, untuk sekadar hidup saja, masih dipaksa untuk mati lebih cepat.
Pergelaran Sastra Bumi Owah, Rabu (04/06/2025). (Foto: Saddam Nurhatami/Literat)
Alih fungsi lahan hijau meningkatkan risiko krisis iklim, hilangnya tempat tinggal, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Pembangunan gedung tinggi tanpa rencana tata ruang lingkungan yang matang telah menjadi salah satu pendorong utama dari deforestasi. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa negerinya akan menjadi negeri yang penuh kemajuan dan teknologi. Tetapi, ada banyak nyawa yang harus dikorbankan. Tumbuhan mati ditebang, hewan kehilangan habitat, dan rakyat kecil hanya bisa menangis melihat tanah lahirnya diambil untuk proyek ambisius.
Dalam salah satu adegan, terlihat seorang tokoh menelepon seseorang dengan panggilan “Lumut”, yang merujuk pada salah satu pejabat di sebuah negara. Pejabat yang selalu membangun proyek-proyek besar dan tidak menerima kritik ketika negeri itu sedang menyuarakan keresahan atas tanah yang digusurnya. Selanjutnya, tumbuhan dan pepohonan yang mulai disayat perlahan hingga menyeluruh hanya demi proyek ambisius. Mereka tidak pernah memikirkan dampak pembabatan hutan yang menghilangkan sebagian besar ekosistem makhluk hidup. Ambisi dilakukan dengan sembrono tanpa melihat sisi yang dirugikan.
Negeri Demokrasi untuk Pejabat Berdasi
Pergelaran Bumi Owah mencerminkan sindiran tajam terhadap realitas demokrasi yang timpang. Kekuasaan dan kebijakan lebih banyak berpihak kepada elite politik dan pejabat berkepentingan ketimbang rakyat. Meski sistem demokrasi menjanjikan partisipasi publik, pada praktiknya justru sering diselewengkan menjadi arena perlindungan kepentingan golongan. Hal ini menjadi sebuah keresahan yang ingin disuarakan melalui pertunjukan teater.
Pergelaran Sastra Bumi Owah, Rabu (04/06/2025). (Foto: Saddam Nurhatami/Literat)
Pergelaran ini mengkritik para pejabat yang rapat-rapat di hotel mewah dengan tidak transparansi dan partisipasi. Pejabat berdasi sebagai simbol kekuasaan yang tampak rapi dan terhormat kerap memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri, menyusun regulasi yang menguntungkan korporasi, atau melanggengkan kekuasaan dengan dalih kepentingan umum. Sementara itu, demokrasi seperti ini pada akhirnya hanya menjadi panggung elitis yang menyingkirkan substansi keadilan sosial.
Kebijakan yang Dianggap Kotor
Pertunjukan Bumi Owah berhasil menampilkan teater drama yang mengkritik ulah-ulah pejabat dengan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pemerintah dengan memperlakukan makhluk hidup semena-mena. Penonton dibuat untuk sadar akan kerusakan alam yang dilakukan oleh pejabat. Ismail, salah satu penonton Bumi Owah merasa dibawa ke sebuah waktu yang dulu pernah terjadi. Gejolak politik yang tidak lazim membuat masyarakat ditiadakan keberadaannya oleh pemerintah. Hal ini menjadi sebuah watak asli otak-otak para pejabat dan moralitas mereka sebenarnya.
“Selepas nonton ini tuh aku pengen nyekek pemerintah saking kotornya kebijakan dan pemikiran mereka,” ucapnya.
Ternyata di balik megahnya gedung-gedung tinggi, terdapat derita tangis rakyat dan alam akibat ambisi pembangunan infrastruktur negeri.
Baca Juga: Bisikan-bisikan Kecil dalam Epilog Kota dari Mereka yang Terpinggirkan
Penulis: Saddam Nurhutami
Editor: Ghaliah Syahiratunnisa