Pergelaran ASASIASU: Ketika Asa Menggonggong

Suara gonggongan menggema di ruang pertunjukan. Bukan dari seekor anjing, melainkan dari seorang anak yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Inilah ASASIASU, sebuah pergelaran yang tak hanya menampilkan drama keluarga, tetapi juga mengetuk kesadaran tentang kesehatan mental dan realitas hidup yang kerap luput dari sorotan. Pergelaran ini diselenggarakan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) kelas 4B di Gedung Amphiteater Universitas Pendidikan Indonesia, Senin (26/05/2025).

“Pergelaran ini berlangsung dalam dua sesi, yakni pukul 13.00 WIB yang dihadiri sekitar 90 penonton dan pukul 19.00 dengan jumlah penonton mencapai 260 orang. Proses persiapan pergelaran ini berlangsung selama kurang lebih empat bulan dengan 44 kali latihan dan melibatkan 43 kru.” ujar Maisie selaku pimpinan produksi.

Dalam sambutannya, Dr. Rudi Adi Nugroho, M. Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Pergelaran kelas 4B, menyampaikan bahwa pergelaran ini merupakan puncak dari proses pembelajaran mata kuliah kesusastraan–salah satu Mata Kuliah Wajib (MKW) yang harus diikuti oleh mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) maupun Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI). Ia juga menyampaikan bahwa pergelaran ini merupakan kegiatan yang bersifat ekspresif dan telah dipersiapkan jauh sebelum hari pelaksanaan. Dari berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, mahasiswa ditantang untuk menafsirkan dan mengolahnya menjadi sebuah naskah, yang kemudian dipentaskan dalam bentuk pertunjukan seni.

Pergelaran ASASIASU, Senin (26/05/2025). (Foto: Literat/Saddam Nurhatami)

Panggung ASASIASU Soroti Isu Kesehatan Mental dan Keluarga

Mengangkat kisah seorang anak yang terjebak dalam realitas hidup yang keras dan penuh tekanan, ASASIASU menyuguhkan cerita yang menyentuh dan menggugah empati. Tokoh utamanya, Asa, adalah anak dari keluarga miskin yang tinggal di rumah kontrakan. Ayahnya, Sunap, pria Betawi yang bekerja sebagai penjual koran, bersifat otoriter dan kerap melontarkan kata-kata kasar. Sementara ibunya, Tuti, perempuan Batak yang mengais rezeki dari berjualan cangcimen

Dalam tekanan ekonomi yang menyesakkan, Sunap dan Tuti kerap melampiaskan emosinya kepada Asa. Mereka memaksa Asa memulung demi menambah penghasilan dan memerintah Asa untuk selalu patuh, bahkan menyamakannya dengan anjing–hewan yang menurut mereka penurut pada majikannya. Ucapan dan perlakuan kasar itu perlahan menggerus jati diri Asa, hingga ia mulai kehilangan batas antara dirinya sebagai manusia dan hewan yang terus-menerus dijadikan simbol kepatuhan. Tekanan tersebut berkembang menjadi gangguan psikologis yang serius. Asa digambarkan mengidap Dissociative Identity Disorder (DID), sebuah gangguan identitas yang menyebabkan dirinya memiliki beberapa kepribadian berbeda. Melalui tokoh Asa, pementasan ini menggambarkan dinamika keluarga, dampak kekerasan verbal, dan kemiskinan.

Dibalik Tangis dan Gonggongan Asa

Karakter Asa menjadi pusat konflik sekaligus jiwa dari pementasan ini. Perannya yang kompleks menuntut pendalaman emosi yang intens dan konsistensi tubuh yang kuat. Rhisma, pemeran Asa, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam memerankan tokoh ini adalah ketika harus menampilkan Asa sebagai Anjing. “Salah satu adegan tersulit adalah di bagian akhir, dimana aku harus menangis sambil menggonggong. Aku harus tahu bagaimana anjing menangis, merintih. Aku sendiri kesulitan mengeksekusinya meski sudah melihat contoh langsung maupun video anjing yang menangis sambil menggonggong,” ujar Rhisma.

Peran Asa bukan hanya menantang dari sisi akting, tetapi juga menuntut keberanian emosional. Setelah proses panjang memerankan Asa, Rhisma mengaku perasaannya campur aduk, “Jujur, aku sampai konsultasi, karena takut terpengaruh secara psikis. Ini pertama kalinya aku memerankan tokoh dengan isu mental health, dan ternyata bukan hal yang mudah, bisa saja ikut terbawa,” katanya. Lewat perjuangan Rhisma dalam membawakan karakter ini, ASASIASU berhasil mengangkat isu kesehatan mental dengan cara yang jujur dan penuh empati.

Pementasan sebagai Cermin Masyarakat

Isu kesehatan mental dan kekerasan dalam keluarga terhadap anak yang menjadi inti pementasan ini tidak hadir begitu saja. Sutradara ASASIASU, Faqih Alhakim, menjelaskan bahwa ide cerita berangkat dari keprihatinan terhadap fenomena nyata yang terjadi di sekitar. “Kekerasan pada anak itu cukup marak. Saya juga pernah menyaksikan langsung di Jakarta, kota asal saya, di terminal, saya pernah melihat sendiri seorang ibu gendong anaknya, lalu tantenya mengajak anak itu bicara dengan mengatakan, ‘Anak blabla’ kata yang lebih kasar daripada anjing,” ujarnya. 

Baca Juga: Kondisi Pendidikan Indonesia Sekarang Beneran Seperti di Film?

Dari pengalaman tersebut, Faqih merangkai kisah Asa sebagai representasi anak-anak yang mengalami tekanan dan kekerasan dalam keluarga. Karakter Asa yang akhirnya menjadi ‘anjing’ digambarkan sebagai wujud dari trauma mendalam yang menyebabkan dirinya mengidap Dissociative Identity Disorder (DID).

Mengangkat latar masyarakat Betawi, pementasan ini juga menghadirkan elemen kebudayaan lokal, baik melalui logat, dialog, maupun karakter tokohnya. Asisten sutradara, Fariel, menjelaskan bahwa pemilihan budaya Betawi sebagai latar tidak lepas dari latar belakang sang sutradara dan beberapa aktor yang memang berasal dari Betawi. “Sutradara ASASIASU itu orang Betawi, beberapa aktor juga berasal dari suku Betawi. Selain itu, dialek Betawi itu enak dipakai dalam komunikasi di atas panggung, cocok untuk menghidupkan suasana dan karakter,” jelasnya.

Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Meski berlatar Betawi, judul ASASIASU justru menggunakan unsur bahasa Jawa, yang jika dipecah menjadi Asa si Asu atau jika diterjemahkan Asa si Anjing. Judul ini memicu tanda tanya sekaligus teka-teki. “Walaupun berlatar masyarakat Betawi, tidak semua tokoh dalam pementasan ini berasal dari suku Betawi. Ada Tuti yang orang Batak, Bu Haji campuran Sunda-Betawi, dan Oneng dari suku Sunda.” ucap Fariel. Judul ini juga ingin memperlihatkan keberagaman masyarakat yang tinggal di daerah yang sama.

Dengan pendekatan budaya serta isu sosial yang relevan, ASASIASU tidak hanya menjadi puncak ekspresi mahasiswa dalam seni pertunjukan, tetapi juga menjadi refleksi keras tentang realitas yang kerap diabaikan. Dr. Rudi Adi Nugroho, M. Pd. mengapresiasi kerja keras seluruh mahasiswa yang terlibat dalam pementasan ini. Ia pun mengakui bahwa proses persiapannya sangat melelahkan, baik secara fisik maupun psikis. ia berharap sajian pementasan ini dapat memberikan hiburan sekaligus makna bagi para penonton.

Usai pementasan, sorak sorai tepuk tangan terdengar meriah. MC memberikan kesempatan pada beberapa penonton untuk menyampaikan satu kata untuk ASASIASU. Jundi dari Mahacita UPI menjawab, “Mantap!” sementara Dicky dari BSI 4A menyebut, “Keren!” Antusiasme dan apresiasi ini menjadi bukti bahwa ASASIASU bukan hanya sukses sebagai karya seni, tetapi juga berhasil menyentuh hati penontonnya. Pementasan ini menutup tirainya dengan pesan bahwa setiap anak berhak didengar, dihargai, dan disayangi. Mungkin, pertunjukan ini tidak akan mudah dilupakan, karena sekali saja mendengar Asa menggonggong, penonton tahu bahwa ini bukan cerita biasa.

Penulis: Azila Fitria Ramadhani 

Editor: Ghaliah Syahiratunnisa

Baca Juga: Tak Ada Ruang Aman, Kekerasan Seksual Menyusup ke Dunia Pendidikan