W.S. Rendra merupakan sastrawan Indonesia yang sangat termasyhur. Melalui karya-karyanya, ia dikenal sebagai penyair yang amat besar pengaruhnya dalam dunia sastra. Kemahirannya dalam merangkai kata juga menjadikannya tersohor hingga ke mancanegara.
Karya-karyanya yang sarat keindahan dan keanggunan dari tiap-tiap kata yang diukir, merepresentasikan kebebasan jiwa dari larik demi lariknya. Berkat hal itu, pria kelahiran 7 November 1935 ini diberi gelar sebagai “Burung Merak”. Gelar tersebut mencerminkan penampilannya yang flamboyan dan penuh warna, serta suaranya yang lantang dan merdu, seperti burung merak.
Rendra menuangkan pemikiran juga perasaannya dalam karya-karya yang ia tulis. Hal ini terlihat dalam puisi-puisinya yang sarat akan aroma kehidupan juga kritik sosial, terutama dalam masalah politik, kebudayaan, dan pendidikan. Dirinya mampu menangkap realitas masyarakat dengan tajam, lalu menyuarakan berbagai isu yang dihadapi rakyat pada masa itu.
Berikut ini kutipan dari lima puisi-puisi fenomenal W.S. Rendra yang patut dibaca:
1. Sajak Gadis dan Majikan
“Siallah pendidikan yang aku terima.
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
kerapian, dan tatacara,
Tetapi lupa diajarkan:
bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana!”
Baca juga: puisi lengkap “Sajak Gadis dan Majikan”
Puisi berjudul “Sajak Gadis dan Majikan” menawarkan sebuah renungan mendalam, yakni mengenai ketidakberdayaan seorang gadis yang diperlakukan secara keji oleh majikannya. Melalui puisi tersebut, Rendra dengan cermat mengangkat isu ketidaksetaraan gender yang masih marak terjadi di masyarakat. Ia mengungkapkan posisi perempuan yang seringkali direndahkan.
Lebih jauh lagi, tampak pada bait kedua, Rendra memasukkan unsur kritik terhadap sistem pendidikan Indonesia. Ia memberi pengetahuan kepada pembacanya bahwa pendidikan di Indonesia seringkali mengabaikan pentingnya edukasi tentang cara melawan kekerasan seksual. Oleh karena itu, puisi ini bukan hanya sekadar karya sastra biasa, melainkan juga upaya Rendra mengajak pembacanya untuk merenung tentang pentingnya reformasi dalam pendidikan.
2. Sajak Tangan
“Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara
Aku akan menulis kata-kata kotor.
di meja rektor.”
Baca juga: puisi lengkap “Sajak Tangan”
Pada puisi “Sajak Tangan”, Rendra memaparkan tentang mahasiswa sebagai orang berpendidikan yang melewati tantangan realitas kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Penggunaan diksi yang provokatif dan tajam membuat karya ini semakin menarik. Pemilihan diksi tersebut bertujuan untuk menunjukkan kerasnya usaha mahasiswa dalam melawan ketidakadilan.
Kata ‘Tangan’ merupakan inti dari puisi ini. Tangan mahasiswa dicitrakan sebagai ekspresi perlawanan dan perjuangan. Mulanya, tangan digambarkan sebagai semangat terhadap rasa ingin tahu. Akan tetapi, pada bait ketujuh, dipaparkan bahwa tangan tersebut sudah menemui tantangan dan hambatan berat dalam bentuk perbedaan kelas sosial dan politik.
3. Sajak Seonggok Jagung
“… Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi.””
Baca juga: puisi lengkap “Sajak Seonggok Jagung”
Puisi “Sajak Seonggok Jagung” sengaja ditulis dengan diksi sederhana agar mudah dipahami oleh pembacanya. Namun, meskipun begitu, pesan yang mendalam dari Rendra tetap dapat tersampaikan. Hal inilah yang menjadikan puisi ini unik dan menarik.
Kritik terhadap sistem pendidikan Indonesia menjadi tema utama yang jelas tampak pada puisi ini. Rendra berupaya menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia terlalu menekankan pada pembelajaran akademis dan kurang memperhatikan relevansi pendidikan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Rendra membangkitkan kesadaran bagi pembacanya tentang pentingnya reformasi dalam pendidikan agar lebih mendukung perkembangan keterampilan yang dapat diterapkan di kehidupan nyata.
4. Sajak SLA
“… Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya:
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap yang bocor.””
Baca juga: puisi lengkap “Sajak SLA”
Melalui puisi “Sajak SLA”, Rendra menulis sebuah kritik tajam terhadap sistem pendidikan dan budaya yang dianut masyarakat. Puisi tersebut mengangkat isu korupsi dan kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, ketidakkonsistenan nilai-nilai yang diajarkan, dan kenyataan yang dihadapi. Rendra membuat panggilan jiwa terhadap pembacanya agar senantiasa merenungkan hal-hal yang betul-betul penting dalam pendidikan dan perkembangan manusia.
Disampaikan kecaman secara tegas mengenai tindakan korup dalam sistem pendidikan yang tampak pada larik “dipegang-pegang tangan ibu guru, dimasukkan uang di dalam genggaman”. Adapun di dalamnya, ketidaksesuaian nilai-nilai yang diajarkan dengan implementasinya, yakni murid-murid yang digambarkan untuk bersantai-santai menikmati hidup, ketimbang mengejar kemajuan akademis. Walaupun terkesan tidak berpendidikan, murid-murid tentu paham betul tentang kondisi sosial-politik Indonesia, kemudian melakukan perundingan sebagai upaya untuk menentang nilai-nilai yang melenceng.
5. Kesaksian Tahun 1967
“Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka … ”
Baca juga: puisi lengkap “Kesaksian Tahun 1967”
Lagi-lagi dalam karyanya, W.S. Rendra merepresentasikan kondisi realitas kehidupan. Kali ini dirinya mengangkat isu tentang kerusakan akibat eksploitasi manusia di muka bumi. Hal itu ditunjukkan melalui metafora pada larik “bumi bakal tidak lagi perawan”. Adapun kutipan “sebagai lonte yang merdeka” ditujukan pada peksploitasian lingkungan secara marak dan tidak bertanggung jawab. Sementara itu, pada larik “dunia baja, kaca, dan tambang-tambang yang menderu” membahas mengenai ambisi manusia untuk mengubah dunia menjadi lebih modern dan mencapai kemajuan teknologi, tetapi dimaknai juga dampak buruk yang terjadi akibat hal tersebut.
Salah satu hal yang amat menarik dari puisi ini adalah pemilihan gaya bahasa dan simbolismenya yang sangat kuat dengan imaji yang menggugah. Hal ini diperlihatkan pada metafora “lipatan surat suci yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca”, “dunia baja” dan “tangan-tangan yang angkuh dan terkepal”. Metafora-metafora itu dibentuk untuk mencerminkan suasana sosial-politik pada tahun 1967. Adapun simbolisme awan, surya, serta kabut dipilih untuk merepresentasikan perubahan dan ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat.
Menariknya, meskipun puisi ini menggambarkan realitas hidup tahun 1967, kesan dan pesan yang terkandung tetaplah relevan hingga sekarang. Karena permasalahan-permasalahan yang diangkatnya masih dan akan terus relevian, puisi ini mampu menjangkau berbagai generasi. Oleh karena itu, puisi ini tetap bisa dinikmati serta direnungkan pembacanya tanpa terikat oleh waktu, menjadikannya sebuah karya yang abadi.
Penulis: Helma
Editor: Nabilla Putri Nurafifah