Siang itu, selepas rangkaian kegiatan yang menguji kesabaran akhirnya selesai. Selepas beberapa teman saya “yang baik” mendapatkan gelar baiknya. Selepas kita bertukar name tag, seolah sedang saling menunjukkan siapa yang paling layak diberi penghormatan.
Langkah-langkah sunyi diiringi tetesan kayu terdengar dari kejauhan. Di tengah suasana itu, muncul satu kalimat pelan dari napas Ilham Miftahudin: “ada yang baik, ada yang buruk.”
Dan ya, saat itu saya tahu persis, yang buruk itu adalah saya sendiri. Suasana berputar kembali. Lapang yang riang berubah menjadi panggung penghakiman.
Sepintas, saya cukup membenci Hima Satrasia. Bagaimana tidak, di forum yang katanya membina itu, saya justru merasa dipertontonkan sebagai contoh yang gagal. Sejak saat itu, tepatnya di akhir-akhir 2019, saya mulai mengutuk organisasi tersebut dengan penuh emosi dan bahasa yang tidak kalah buruk: “organisasi anjing, masih mending aing mah miluan. Nu buruk mah nu teu ngilu ospek pisan.” Kalimat itu terasa sangat benar waktu itu, meskipun sekarang terdengar sangat kekanak-kanakan.
Waktu berjalan, dan hidup seperti biasa, tidak pernah betul-betul peduli pada sumpah serapah kita. Dinamika terus bergerak. Hingga di awal tahun 2021, sesuatu yang tak pernah saya bayangkan terjadi: organisasi yang dua tahun sebelumnya saya kutuk, justru mempercayakan kendalinya kepada saya.
Ketua umum, aing teh bray.
Bukan untuk dibanggakan sebenarnya. Bahkan kalau ada nominasi antar ketua umum, besar kemungkinan saya masih akan masuk kategori yang terburuk. Dan itu bukan bentuk merendah palsu, saya hanya sedang jujur pada diri sendiri.
Setelah saya menjabat sebagai ketua umum, kejadian dua tahun lalu itu terus mengganjal di kepala. Akhirnya, saya memberanikan diri mempertanyakannya langsung kepada pelakunya: Ilham Miftahudin. Dengan dalih ngopi yang tentu saja ngaret. (Fyi, yang ngaret itu saya, bukan Kang Ilham. Dulu saya memegang teguh junioritas, teu ketang. Tapi ya begitulah, semesta tampaknya memang memaksa saya ngaret).
Jawabannya tidak panjang, tapi cukup membuat mata basah. Walaupun, seperti biasa, dibungkus dengan pura-pura kelilipan.
la bilang, kalau kejadian itu tidak pernah terjadi, kalau saya tidak “dinobatkan” sebagai peserta terburuk, mungkin orang-orang seangkatan saya akan membenci saya. Saya akan jadi beban angkatan, beban kelompok, anak yang indisipliner, dan sederet label buruk lainnya.
Kesalahan akan sepenuhnya ditimpakan pada saya. Namun karena penobatan itu terjadi di ruang publik, ceritanya jadi berbeda. Orang-orang justru iba. Mereka mulai menyalahkan diri sendiri karena membiarkan saya terjatuh sejauh itu. Bukan lagi menyalahkan saya sebagai individu, tapi mempertanyakan sistem, lingkungan, dan kebersamaan kami sendiri.
Saya diam waktu itu. Baru sadar belakangan, mungkin peristiwa itulah yang perlahan mendorong saya mengambil langkah yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan: mencoba menjadi ketua umum. Bukan karena merasa paling pantas, tapi karena untuk pertama kalinya saya merasa punya ruang untuk bertanggung jawab, bukan hanya atas diri sendiri, tapi juga atas kegagalan-kegagalan yang dulu dibiarkan begitu saja.
Dan itu hanya saya dapatkan di Hima Satrasia.
Baca juga: Hima Satrasia Menutup Cerita: Titik Akhir Perjalanan 62 Tahun
Persoalan Hima dan Air Mata
Kemarin, Hima Satrasia resmi dibubarkan. Bukan kabar yang mengejutkan sebenarnya. Mengingat sejak awal Hima Satrasia adalah himpunan departemen yang menaungi dua program studi, sementara di UPI sistem departemen sendiri sudah dihapuskan. Dalam posisi itu, kematian Satrasia rasanya memang sulit dihindari. Kalau mau jujur, ia bahkan bisa dibilang beruntung masih sempat bernapas selama dua periode terakhir.
Namun rasionalitas tidak selalu sejalan dengan perasaan. Tangisan teman-teman tidak bisa disembunyikan. Linimasa dipenuhi kenangan, foto-foto lama kembali diunggah, potret mereka yang pernah menghidupi Satrasia dengan caranya masing-masing. Dari situ terlihat jelas: yang berakhir bukan sekadar organisasi, tapi potongan hidup.
Meski begitu, dengan pemahaman saya yang terbatas, ada kalanya sesuatu memang perlu diselesaikan. Dik dan Nondik seharusnya dipisahkan. Dipaksa bersatu ternyata justru melahirkan lebih banyak gesekan daripada sinergi. Administrasi tersendat karena persoalan izin, kegiatan organisasi kehilangan fokus akibat beragam intimidasi, dan energi yang seharusnya dipakai untuk bertumbuh justru habis untuk bertahan.
Menyelesaikan Satrasia bukan berarti menghapus nilainya. Sejarah tidak bekerja seperti itu. Majapahit sudah lama runtuh, Turki Utsmaniyah pun telah berakhir, tapi keduanya tetap hidup dan tegak di hadapan sejarah, karena nilai dan pengaruhnya masih dibicarakan hingga kini, meskipun raganya sudah tiada. Satrasia pun, bagi saya, akan hidup dengan cara yang sama: lewat cerita, ingatan, dan pelajaran yang ditinggalkannya.
Dan mungkin, hal paling baik dari semua ini adalah berhentinya kesan buruk yang selama ini melekat. Mahasiswa baru tidak perlu lagi mewarisi beban yang bukan miliknya. Mereka bisa berorganisasi dengan lebih jujur, tanpa harus terlebih dahulu menanggung sejarah yang belum tentu mereka pahami atau pilih.
Namun, ada satu hal yang diam-diam saya khawatirkan dari peristiwa ini: luka yang salah alamat. Perpisahan Hima Satrasia jangan sampai menagih dendam pada pihak yang tidak semestinya menanggungnya. Terpisahnya Satrasia bukan kesalahan mahasiswa yang masih berada di usia aktif berorganisasi. Mahasiswa baru tidak tahu-menahu, mereka datang tanpa membawa peta. Mahasiswa lama sudah berjuang cukup lama, dengan segala keterbatasan dan kebingungan yang mereka hadapi.
Jika ada yang perlu disorot, barangkali bukan siapa yang harus disalahkan, melainkan bagaimana mereka tetap bisa tumbuh setelah ini. Dengan struktur baru, dengan identitas baru, dan dengan kecanggungan yang tak terelakkan. Sebab bertumbuh memang tidak selalu lahir dari kondisi yang ideal, sering kali justru dari keadaan yang serba tidak siap.
Satrasia boleh selesai sebagai nama, sebagai struktur, sebagai administrasi. Tapi manusia-manusia di dalamnya masih ada, masih belajar, masih mencari bentuk. Dan rasanya, yang paling adil bagi mereka bukanlah menyisakan luka, melainkan memberi ruang agar mereka bisa melanjutkan hidup secara pelan-pelan, dengan caranya sendiri, atau bahkan dengan uluran tangan dari orang yang pernah bergiat sebelumnya.
Pesan saya untuk mahasiswa yang akan menghidupi organisasi yang baru, kalian tidak gagal, kalian hanya lahir di situasi yang cukup rumit. Kalian berhak untuk tumbuh tanpa harus memikul rasa bersalah.
Penulis: Dea Rahmat (Ketua Umum Satrasia 2021)
Editor: Allysa Maulia Rahman
Baca juga: Kamera Dimatikan Saat Penampilan Mokafak Hima Satrasia: Pembungkaman atau Masalah Teknis?




