Seorang anak dan remaja cenderung bergantung pada figur orang dewasa seperti orang tua, guru, dan anggota masyarakat lainnya. Figur orang dewasa hadir dan berperan untuk membimbing dan melindungi anak secara fisik dan mental. Namun, bagaimana jika figur orang dewasa yang dipercaya oleh anak atau remaja ternyata adalah musuh dalam selimut?
Beberapa tahun silam, seorang siswa perempuan mulai dihubungi oleh guru barunya untuk mendiskusikan masalah akademik diangkatannya. Setelah diskusi tersebut, sang guru mengakrabkan diri dengan angkatan siswa perempuan itu. Komunikasi semakin intens dilakukan dengan angkatan siswa perempuan itu sejak ia menjadi wali kelas.
Suatu hari, sang guru tidak dapat dihubungi dengan berbagai media komunikasi. Siswa perempuan itu mencoba memberikan makanan sebagai upaya untuk mendapatkan respons dan kabar dari sang guru. Sang guru merespons pemberian tersebut dan menjelaskan bahwa ia sedang menghadapi banyak masalah dari pekerjaannya. Sang guru mengucapkan terima kasih dan berkata bahwa siswa perempuan tersebut merupakan siswa yang memiliki kepedulian tinggi pada usianya.
Sejak kejadian itu, sang guru sering mengajaknya bertelepon di siang atau malam hari. Sang guru sering menceritakan berbagai hal seperti pekerjaannya, hubungan dengan mantan pacarnya, hingga kehidupannya semasa kuliah. Banyak hal pribadi yang ia ceritakan, termasuk keluhannya terhadap kondisi menstruasi mantan pacarnya yang dianggap merepotkan, tetapi sisi lain dianggap penting agar mantannya bisa memiliki anak. Telepon itu sering berakhir cepat karena keluarga siswa perempuan memberlakukan jam malam. Sang guru beberapa kali menunjukkan perhatian kepada siswa perempuan itu. Ketika siswa itu berulang tahun, ia datang ke rumah membawa hadiah secara sembunyi. Hal ini dilakukan karena sang guru takut dengan keluarga siswa perempuan itu.
Beberapa bulan kemudian, sang perempuan mendengar kabar gurunya berpacaran dengan temannya. Ia menyadari bahwa hubungan tersebut sudah terjalin saat temannya masih berstatus siswa. Di tempat barunya, sang guru kembali menjalin asmara dengan seorang siswa. Ia tidak menghubungi lagi sang guru sejak mengetahui hal tersebut.
Dua tahun kemudian, sang guru kembali menghubunginya lewat Instagram. Ia berusaha memulai obrolan tentang kesibukannya dan orang-orang di tempat kerjanya. Dalam percakapan, sang guru mengatakan bahwa siswa perempuan itu sebenarnya kandidat utama untuk menjadi kekasihnya semasa sekolah. Meski saat itu ia berpacaran dengan siswa lain, ia tetap mengekspresikan rasa sukanya kepada siswa perempuan itu. Alasan ia tidak melanjutkan niatnya adalah rasa frustrasi kepada sang perempuan yang memiliki keluarga yang kaku soal jam malam dan sang perempuan dianggap lebih religius.
Perempuan itu membaca setiap gelembung percakapan dengan perasaan campur aduk. Percakapan tersebut meyakinkan dirinya untuk memblokir akun sang guru untuk mengakhiri percakapan sekaligus hubungan dengannya.
Ihwal Child Grooming
Kisah di atas merupakan contoh manipulasi yang disebut sebagai child grooming. Lembaga perlindungan anak di Inggris, National Crime Agency’s Child Exploitation and Online Protection (NCA-CEOP), mendefinisikan child grooming sebagai tindakan pelaku membangun hubungan dengan anak untuk mendapatkan kepercayaan dan posisi berkuasa atas anak tersebut, dengan tujuan melakukan pelecehan seksual. Tindakan child grooming juga dapat berkembang menjadi eksploitasi lain seperti menjalin hubungan asmara, perdagangan manusia, dan eksploitasi tenaga kerja. Pelaku child grooming melakukan aksinya tanpa terbatas tempat (daring/luring), identitas (jenis kelamin, usia, dll), serta hubungan (orang asing atau orang yang dikenal).
Child grooming terjadi karena pelaku memanfaatkan kepercayaan korban anak atau remaja terhadap figur dewasa yang dianggap dekat atau memberikan perhatian. Anak atau remaja memiliki kebutuhan terhadap validasi, perhatian, dan keinginan menemukan jati diri. Selain itu, kurangnya pengawasan dan kedekatan oleh orang tua terhadap anak dapat berkontribusi dalam faktor terjadinya child grooming.
Tahapan Child Grooming
Tindakan child grooming berlangsung secara bertahap oleh pelaku dalam hitungan menit atau dalam jangka waktu yang lama. Perilaku yang dilakukan oleh pelaku mencakup :
- membangun hubungan emosional dengan anak untuk membuat eksploitasi atau pelecehan terlihat normal. Cara yang dilakukan seperti membangun hubungan spesial (kekasih, mentor, teman), memberikan sanjungan dan berpura-pura memiliki banyak kesamaan, serta mewajarkan obrolan bernada seksual.
- memperoleh kekuasaan atas anak dengan manipulasi atau paksaan menggunakan ancaman konsekuensi buruk jika menolak permintaan pelaku.
- memastikan anak tidak memberitahu siapapun tentang pelecehan dengan klaim tidak ada yang akan mempercayai cerita korban, diancam rahasianya akan bocor, dan menakuti korban bahwa mereka akan dianggap bermasalah di lingkungannya.
Child grooming mungkin sulit dideteksi karena korban tidak sadar bahwa mereka dimanipulasi oleh pelaku yang dianggap dekat dan dipercaya. Korban juga merasa malu dan khawatir jika mereka menceritakan peristiwa yang ia alami kepada keluarga atau orang lain. Anak dan remaja yang menjadi korban belum memiliki kemampuan berpikir yang matang dan belum berdaya secara ekonomi dan sosial, sehingga membuat korban tidak kuasa menolak atau mengambil tindakan.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Child Grooming
Child grooming menjadi perhatian masyarakat beberapa tahun terakhir, terutama dari kasus guru yang melakukan pelecehan kepada siswa kelas XII di Gorontalo pada tahun 2024. Untuk mencegah tindakan ini, orang tua perlu memberikan edukasi seperti hubungan yang sehat dengan orang lain dan batasannya, serta mengajarkan kata “tidak” ketika merasa tidak nyaman. Orang tua juga harus menjalin komunikasi dengan anak untuk mengetahui lingkungan pertemanan anak. Anak yang memiliki hubungan yang tidak dekat dan terbuka dengan keluarga rentan menjadi target pelaku child grooming. Pemahaman kekerasan seksual terutama child grooming juga perlu diberikan di lingkungan sekolah Dalam lingkungan sekolah, guru harus memiliki batasan hubungan dengan siswanya dan perlu pengawasan kebijakan sekolah mengenai interaksi guru dan siswa.
Tidak hanya dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat juga perlu memahami dinamika child grooming. Saat ini, platform edukasi child grooming di Indonesia telah dibentuk oleh akun Instagram @terselimuti. Selain memberikan edukasi melalui media sosial, Terselimuti melakukan lokakarya secara luring untuk membangun kesadaran bahaya child grooming kepada berbagai kalangan.
Pendampingan dan pemberian dukungan kepada korban child grooming sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan tidak semua korban menyadari bahwa mereka mengalami manipulasi. Meskipun mereka sadar telah dimanipulasi, mereka diliputi rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Dukungan seperti memberikan kepastian hadirnya support system korban dan meyakinkan bukan salah korban dapat membantu korban memproses perasaannya. Pendamping korban juga dapat merujuk korban pada profesional seperti dokter atau psikolog untuk pemulihan psikologis.
Seperti pepatah “It takes a village to raise a child”, tugas menjaga anak dalam lingkungan dilakukan oleh seluruh komunitas masyarakat. Kisah diawal menjadi pembelajaran yang mahal agar tidak lagi muncul sosok “sang guru” di lingkungan kita.
Demikian kisah seorang siswa perempuan yang identitasnya adalah saya sendiri.