Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2025, diwarnai pemandangan unik yang menarik perhatian. Bendera bajak laut Topi Jerami dari serial One Piece berkibar tidak lebih tinggi dari Sang Saka Merah Putih. Hal ini menuai banyak reaksi yang beragam, salah satunya dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Dilansir dari Kompas.com, Dasco menyampaikan bahwa pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami merupakan salah satu upaya memecah belah bangsa Indonesia. Sebagian lainnya menganggap hal ini sebagai kreativitas generasi muda dalam menggunakan simbol budaya populer untuk membalut kritik yang membangun.
Memahami Kelompok Bajak Laut Topi Jerami
Anime One Piece mengisahkan petualangan Monkey D. Luffy yang bercita-cita menjadi seorang raja bajak laut. Dalam serial ini, setiap bajak laut memiliki bendera yang melambangkan pemimpinnya. Luffy sebagai kapten memiliki ciri khas memakai topi jerami pemberian Shanks. Oleh karena itu, ia memakai bendera Topi Jerami sebagai simbol dari bendera bajak lautnya. Untuk menyandang gelar sebagai raja bajak laut, Luffy dkk. perlu mencari empat road poneglyph yang tersebar di penjuru dunia. Dalam pencarian road poneglyph, kru bajak laut Topi Jerami berhasil menyingkap sisi gelap dunia, melawan tirani, dan berbagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Dunia.
Sebagai bagian dari Pemerintah Dunia, Tenryuubito atau kaum Naga Langit menempati kasta tertinggi yang kebal hukum dan memiliki kekuasaan absolut. Mereka merupakan alegori yang sempurna untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang korup, tidak kompeten, haus kekuasaan, dan represi terhadap suara yang kritis.
Kenyataan di Indonesia tidak jauh berbeda. Berdasarkan pernyataan Kepala Biro Hukum KPK pada sidang perkara (16/07/2025), kerugian akibat suap, penyalahgunaan jabatan, perbuatan curang, pemerasan, dan gratifikasi meningkat signifikan setiap tahunnya. Di sisi lain, represi terhadap kritik masih marak terjadi, aparat keamanan seperti TNI/Polri sering kali bertindak berlebihan dalam menangani massa. Menurut Pusat Data Kekerasan Nasional dalam Tempo.com, ditemukan berbagai kasus penangkapan dan kekerasan oleh anggota TNI/Polri yang terjadi di 13 kabupaten/kota. Selain itu, dalam acara musik RI Fest 2025, anggota TNI/Polri memukul penonton yang membawa bendera kru Topi Jerami. Dilansir dari Suara.com, Awan, bassist dari band Feast, menegur langsung tindakan tersebut.
Baca Juga: Kritikan Rakyat Disebut “Anjing Menggonggong” oleh Presiden
Merah Putih di Atas, Bajak Laut di Bawah: Sebuah Alarm untuk Negeri
Bendera Merah Putih dikibarkan lebih tinggi dari bendera bajak laut Topi Jerami. Fenomena ini menyiratkan sebuah kritik dari generasi muda untuk memaknai Kemerdekaan. Pengibaran bendera kru Topi Jerami dapat direpresentasikan sebagai salah satu kritik terhadap negara yang belum sepenuhnya merdeka.
Delapan puluh tahun lalu Indonesia telah merdeka dari belenggu penjajahan asing. Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum merdeka dari korupsi, ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Fenomena ini merupakan sebuah alarm keras dari generasi muda yang mulai jenuh dengan janji politik pada acara seremonial. Mereka menuntut sebuah bukti konkret dan perubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Berhenti tutup mata dan tutup telinga, fenomena ini adalah ajakan berdialog untuk menyuarakan segala bentuk keresahan yang hadir di kalangan masyarakat.
Kebebasan berekspresi merupakan pilar dari negara demokratis. Namun, kebebasan berekspresi bukanlah hal yang mutlak, perlu adanya batasan yang mencegah kebebasan berekspresi menjadi tindakan yang memecah belah masyarakat. Dalam menyikapi hal ini, harusnya negara berperan ganda untuk menjamin individu atau kelompok yang melontarkan kritik tidak menjadi sasaran intimidasi, kekerasan, dan tindakan hukum yang sewenang-wenang.
Selain itu, negara juga perlu menciptakan batasan yang jelas untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan berekspresi. Batasan ini perlu dirancang dengan matang agar tidak menjadi alat represif untuk membungkam perbedaan pendapat. Setiap individu memiliki hak untuk berpendapat dan mengkritik tanpa takut akan represi dari pihak-pihak tertentu. Represifitas adalah salah satu bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam merespons kritik dengan bijak. Pemerintah yang bijaksana tidak akan memandang kritik sebagai ancaman, melainkan cermin yang menunjukkan kekurangan.
Penulis: Nurlaila Khairunnisa
Editor: Suci Maharani