Pembungkaman jurnalis barangkali bukan isu asing bagi kita. Rasanya setiap tahun selalu ada kabar berita seorang jurnalis yang dibungkam. Entah dengan cara dimasukkan ke balik jeruji atau dibuat meregang nyawa. Belakangan juga RUU Penyiaran menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Berbagai kejanggalan dirasa masih melekat dalam setiap pasalnya. Mulai dari pembatasan reportase investigasi hingga pasal karet yang rasanya dapat digunakan sebagai kartu as untuk membungkam pemberitaan “tidak baik”.
Warta Amerta atau Kelas Dik 4-A 2022 mencoba menampilkan isu ini melalui pergelaran sastra di Gedung Amphiteater UPI (23/05) dengan judul “Bungkam yang Menikam”.
Baca juga: Mahautpatti dan Problematika Negeri
Kisah Airis, tokoh utama yang menyuarakan keadilan dan kebenaran
Pertunjukan dimulai dengan menampilkan latar ruang sidang dan memunculkan beberapa tokoh, termasuk tokoh utama dan tokoh antagonis. Dalam adegan ini, tokoh utama, Airis, berusaha menyampaikan fakta yang dia peroleh tentang kejahatan si tokoh antagonis. Ia berteriak secara terus-menerus pada hakim. Namun, usahanya sia-sia sebab hakim sama sekali tidak mendengar teriakannya. Persidangan terus berlanjut tanpa hambatan hingga akhirnya dibacakan putusan yang menyatakan tokoh antagonis bebas tanpa syarat.
Kemudian panggung menjadi gelap dan latar berganti ke sebuah tempat yang terkesan surealis. Di sini, Airis terlihat kebingungan ketika dia bertemu dengan sosok Bunga Iris. Bunga Iris menjelaskan hanya sedikit orang yang bisa menggenggam dirinya dan Airis menjadi salah satunya. Dialog yang disampaikan Bunga Iris menggambarkan perwujudan dia sebagai tokoh simbolis. Menurut saya, simbol yang ingin ditampilkan melalui tokoh Bunga Iris ini adalah keadilan dan kebenaran.
Selanjutnya, cerita berfokus pada usaha tokoh utama dalam membongkar kejahatan tokoh antagonis, yang malah berakhir pada pembungkamannya oleh pihak berkuasa sampai dia harus meregang nyawa.
Airis digambarkan sebagai seorang reporter investigasi yang gigih dan agak naif. Salah satu adegan yang menarik perhatian saya adalah ketika terjadi pembunuhan di sebuah desa tempat Airis dan anggota timnya melakukan investigasi. Ia berasumsi pembunuhan itu dilakukan oleh tokoh Kepala Desa, meskipun dia tidak memiliki bukti apapun yang melatari asumsinya tersebut. Ketika tokoh Tukang Sayur datang menawarkan bantuan kepada Airis agar dapat melakukan wawancara terhadap tokoh Kepala Desa. Airis malah menolaknya karena merasa tidak membutuhkannya. Bagi saya, detail ini menjadikan tokoh Airis sebagai tokoh yang agak naif—lebih memilih untuk mempercayai asumsinya sendiri daripada menelusuri fakta yang bisa digali.
Sebenarnya memang ada beberapa detail yang membuat Airis berasumsi demikian. Melalui dialognya dengan Tukang Sayur, Airis mendapatkan informasi tentang Kepala Desa yang terindikasi melakukan korupsi. Detail yang menjelaskan hal tersebut adalah infrastruktur desa masih rusak ketika kepala desa sudah mendapat bantuan dana ratusan juta dari pemerintah pusat. Meskipun begitu, tokoh Airis masih tidak memiliki bukti konkret untuk menuduh Kepala Desa sebagai pelaku pembunuhan.
Baca Juga: Kehidupan Remaja Sinta yang Putus dan Pupus
Inti pertunjukan drama Bungkam yang Menikam
Secara garis besar, “Bungkam yang Menikam” mencoba menampilkan isu pembungkaman jurnalis melalui tokoh Airis. Ia berperan sebagai jurnalis “berisik” pengganggu pihak penguasa. Isu tersebut ditampilkan dengan cukup baik melalui adegan dan dialog para tokoh.
Saya bisa menikmati semua aspek yang ditampilkan dalam pertunjukan dengan nyaman dari awal hingga pertengahan cerita. Setelahnya, pertunjukkan menjadi terasa lebih alot untuk dinikmati. Banyak momen dalam cerita yang saya rasa terlalu dipaksakan. Kesannya membuat cerita jadi lebih bertele-tele, seperti pada adegan romantis Airis dan Tama yang terkesan palsu.
Tama menghampiri Airis dan berbagi ruang di bawah payung yang sama, “Menurutmu, hasil wawancara tadi mengerucut ke arah mana?”
Adegan tersebut terasa ditambahkan hanya untuk menambah durasi dari pertunjukan. Berikut juga di adegan lain seperti saat para tokoh berdiskusi di kantor mereka. Dialog para tokoh saat berdiskusi juga terkesan sangat palsu.
Tepat! Berarti, sebenarnya betul kalau wanita pers itu dibunuh, bukan bunuh diri. Hmm… sepertinya, aku tahu garis besar pembunuhan ini.
Saya kira momen kematian Airis sudah menjadi bagian akhir dari cerita. Namun, cerita masih berlanjut dengan alur yang entah mau dibawa ke mana. Fokus utama cerita pun ikut berubah. Mungkin, penulis naskah masih ingin menyampaikan pesan yang lebih dalam. Karena itu, pertunjukan ini menampilkan usaha Tama dalam mengungkap misteri di balik kematian Airis. Akan tetapi, bagian ini malah terasa seperti cerita yang berbeda. Jalan cerita yang terkesan hanya menambah durasi ini membuat beberapa penonton memutuskan untuk meninggalkan pertunjukan di bagian ini.
Pertunjukan ini diakhiri dengan terungkapnya keterlibatan tokoh Kepala Redaksi kantor Airis dan Siti Roro—seorang politikus yang sedang melakukan pencalonan. Pengungkapan ini terasa sangat janggal bagi saya karena tokoh Siti Roro entah datang dari mana dan tiba-tiba saja dimunculkan di bagian akhir untuk memelintir alur cerita. Di bagian akhir cerita ini, Tama bertemu kembali dengan Airis dan sosok Bunga Iris. Tama bermonolog dengan mengungkapkan kejamnya pembungkaman terhadap jurnalis yang mengakibatkan salah satu teman sekaligus tambatan hatinya meregang nyawa. Selesai.
Baca juga: Teater Kemat Jaran Goyang: Batas Tipis antara Cinta dan Obsesi
Penulis: Rihan Athsari (ASAS UPI)
Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar