Bagaimana jadinya jika kelima satria Pandawa yang sering kita dengar dalam kisah Mahabharatta, beralih menjadi perempuan? Pandawi adalah pelesetannya. Terdiri dari Yunatira, Binar, Aruna, Niskala, dan Sadewi.
Setidaknya, hal itulah yang menarik perhatian saya dari penampilan perdana teater kelas Nondik 4C (angkatan 2022) berjudul “Mahautpatti”, dalam rangkaian pergelaran sastra jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, di Gedung Amphiteater UPI (20/05).
Adegan pertunjukan dimulai dengan narator menggambarkan tentang desa bernama Hastinapura. Kemudian, cerita berjalan dengan menampilkan kondisi warga desa di bawah kuasa rezim Kurawa. Kemelaratan, kesialan, kelaparan, kemiskinan, dan kekejaman sangat dekat dengan mereka.
Kondisi bobrok desa Hastinapura digambarkan melalui peristiwa sehari-hari masyarakatnya. Pada kondisi pertama, adegan menyorot tiga anak SD yang sedang berdiskusi riang di kelas, tanpa adanya guru. Obrolan tiga anak kecil bernama Padma, Melati, dan Anggrek itu, mempertanyakan kenapa guru mereka belum datang, atau lebih tepatnya tidak akan datang. Tidak punya uang, tidak digaji, sampai gaji guru dikorupsi adalah jawaban dari obrolan mereka. Kemudian, salah satu dari mereka berperan sebagai seorang guru dengan memberikan pertanyaan penjumlahan sederhana, meski teman-temannya tidak ada satu pun yang bisa menjawabnya dengan benar.
Ketiga anak SD ini juga menjadi penggerak cerita dalam memperlihatkan kebobrokan desa Hastinapura. Setelah dari sekolah, mereka berjalan dengan saling merangkul sambil menyanyikan Lihat Kebunku dengan mempelesetkan liriknya (Lihat desaku, penuh dengan koruptor, ada yang rakus, dan ada yang haus…), dan membuat penonton tertawa.
Baca Juga: Teater Kemat Jaran Goyang: Batas Tipis antara Cinta dan Obsesi
Kemudian, latar panggung berubah ke sebuah tempat yang mana terdapat pembangunan infastruktur mangkrak. Akibatnya, ketiga anak SD yang sedang bernyanyi riang tersebut, tertimpa beton. Para warga membantu ketiga anak SD itu ke puskesmas, meski mengantarkannya ke puskesmas bukanlah pilihan tepat karena terlalu banyak persyaratan administratif. Apabila tidak dipenuhi, maka pasien atau tiga anak SD tersebut tidak akan ditangani. Tidak peduli mereka tampak meringis atau perlahan akan kehabisan darah.
Peran Pandawi di sini sebagai pasukan yang bertentangan dengan Kurawa. Walaupun tidak ada penjelasan terkait status sosial mereka di Desa Hastinapura, tetapi terasa jelas bahwa mereka berupaya agar masyarakat Desa Hastinapura kembali pada kehidupan layak. Citra mereka dibentuk semacam dewi kebaikan yang melawan keburukan. Setiap ada kegaduhan di Desa Hastinapura, para Pandawi akan berkumpul dan mendiskusikan apa yang mesti mereka lakukan.
Yunatira sebagai kakak paling tua dan bijaksana, mengatakan bahwa belum saatnya mereka harus menumpas kejahatan yang dilakukan oleh Kurawa, walaupun sering didesak oleh keempat adiknya yang menyarankan harus bertindak cepat.
Sampai pada akhirnya Pandawi memergoki kelakuan Kurawa yang baru saja memberi uang santunan (dan bahkan dikorupsi) salah satu orang tua korban anak SD yang tertimpa beton, agar permasalahan tersebut dapat dilupakan. Setelahnya, perang Kurusetra yang dahsyat meletus.
Pada pertunjukan Mahautpatti, dapat dilihat adanya dominasi peran perempuan yang berposisi sebagai sosok kebajikan, sedangkan para karakter buruk, seperti Kurawa, diperankan oleh para aktor lelaki. Bahkan kedua maling yang tampak pada adegan infastruktur mandeg, juga diperankan oleh aktor lelaki.
Hal ini bisa saja dikatakan sebagai bentuk menyuarakan asasi perempuan yang terkadang dipandang sebelah mata dan diabaikan di dunia nyata, terlepas memang kelas Nondik 4C kekurangan aktor lelaki. Namun, dengan mengakali dan mengubah citra satria Pandawa menjadi para satria perempuan bisa diapresiasi.
Baca Juga: Mengulas Keculasan Pemilu 2024 dalam Film “Dirty Vote”, (Selasaan UKSK UPI)
Garis besarnya, pertunjukkan ini berupaya menghadirkan fakta-fakta buruk yang ada pada negeri kita, dengan menyerap kisah Mahabharatta sebagai pembentukan sebuah latar yang menarik. Kritik-kritik dari fakta tersebut berupa adegan dan dialog satir, atau bahkan secara lugas di sebagian dialog para karakter. Entah dengan monolog atau interaksi antar tokoh.
Meskipun di beberapa karakter tokoh berpotensi merusak persona yang dibangun, seperti tokoh Melati yang terlalu berlebihan centilnya, padahal ia masih anak SD, atau beberapa tokoh yang kehilangan logat Jawanya, tetapi mereka masih dapat secara cukup baik menyampaikan pesan apa yang ingin disampaikan kepada para hadirin, dan mengolah isu esensi di negeri kita dengan pertunjukkan yang menarik untuk disaksikan.
Sesuai dengan jargon pertunjukkan ini, Persembahan untuk Negeri, rasanya para penonton setelah menyaksikan akan dapat merenungi dan membuka mata terkait problematik yang tak pernah klise di negeri ini.
Dari adegan akhir, saat perang Kurusetra, saat panggung dipenuhi kepulan asap dan sorotan lampu yang memerah, hanya ada masing-masing yang tetap hidup di antara sisi Pandawi atau sisi Kurawa. Hal ini seakan menyimbolkan bahwa perlawanan akan terus berlanjut. Akan terus bergulir sampai kapan pun. Sampai batas yang tak pernah ada ujungnya, demi kehidupan lebih baik. Sekian.
Penulis: Muhammad Rifan Prianto (ASAS UPI)