Maria Ulfah Santoso, sang Diplomat yang Memperjuangkan Nasib Perempuan Asia-Afrika

Salah seorang aktivis perempuan Indonesia tampak mendapat sedikit sorotan dalam hidupnya. Padahal, ia memiliki setumpuk prestasi dan kontribusi yang amat berharga bagi Indonesia, tetapi namanya justru tidak awam dikenal oleh masyarakat biasa. Ia adalah Maria Ulfah Santoso, perempuan Indonesia hebat pemilik kisah perjuangan yang luar biasa.

Awal perjuangan Maria dimulai dari keberuntungannya berada di lingkungan keluarga yang memperhatikan masalah pendidikan. Ia merupakan anak dari Bupati Kuningan pada masa Hindia Belanda, yaitu Raden Mochammad Achmad. Keistimewaan itu membuka kesempatannya sebagai perempuan yang dapat mengenyam pendidikan.

Dengan pendidikan yang didapat, Maria mulai membuka pikiran dan sudut pandang akan keberagaman masyarakat di dunia. Pengalaman yang didapat pun menjadi penyulut api perjuangan untuk bisa membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan memperjuangkan hak kaum perempuan. Maria yakin bahwa perempuan tidak melulu harus melakukan kegiatan domestik, seperti memasak di dapur atau melayani suami di ranjang.

Oleh karena itu, Maria berusaha melakukan perubahan untuk bisa mendobrak pandangan patriarki di masyarakat Indonesia. Cara utama yang dilakukan adalah dengan meningkatkan partisipasi pendidikan perempuan di Indonesia.

Itu dilakukan karena perempuan merupakan guru pertama bagi anak-anaknya kelak. Generasi penerus bangsa yang baik akan lahir jika perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang baik pula. Dalam hal tersebut, poin yang ditekankan oleh perjuangan Maria ialah perempuan dan laki-laki dapat memiliki hak yang sama dalam segala aspek kehidupan, khususnya pendidikan.

Pemilik Beberapa Gelar “Perempuan Pertama dan Termuda” di Sejarah Indonesia

Sebagai keturunan priyayi, Maria mendapatkan privilese berkuliah di Universitas Leiden, Belanda. Ia ingin menjadi mahasiswa ilmu hukum karena muak melihat nasib buruk perempuan saat menghadapi perceraian. Dalam waktu 4 tahun, Ia berhasil menyelesaikan studi tepat waktu dan mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum. Dengan begitu, ia menjadi perempuan pertama yang memperoleh ijazah sarjana hukum di Indonesia.

Setelah lulus, ia mengembangkan karirnya di Indonesia dengan sangat cemerlang. Maria menjadi pusat perhatian pejabat pemerintahan karena kemampuan dan pemikirannya yang apik. Secara terang-terangan Ia selalu memihak kaum yang tertindas, terutama kaum perempuan. Semua itu tumbuh berkat Sutan Sjahrir yang menjadi teman diskusi sekaligus mentor politiknya. Lewat Sjahrir, Maria mengenal sosialisme. Ia tumbuh menjadi Priyayi tetapi tak feodal, perempuan tetapi progresif di zamannya.

Dalam beberapa kesempatan Sjahrir—yang juga mahasiswa ilmu hukum di Universitas Amsterdam, Belanda—mengajak Maria untuk datang ke pertemuan Liga Anti Imperialisme yang diadakan di gedung bioskop Hooge Woerd di Leiden. Ajakan Sjahrir tentu datang bukan tanpa sebab. Sjahrir bersimpati kepada Maria yang memiliki cita-cita ingin memajukan rakyat Indonesia, terutama kaum perempuan, setelah kembali ke tanah air.

Kedekatannya dengan Sutan Sjahrir serta kemampuannya dalam bersosial membuat Maria mendapatkan tawaran jabatan Menteri Sosial pada usia 34 tahun. Setelah menimbang beberapa hal, Maria akhirnya mengiyakan tawaran Sjahrir. Dengan begitu, ia kembali berhasil mendapat gelar sebagai Menteri perempuan pertama di Kabinet Sjahrir II (1946—1947) sekaligus perempuan termuda yang pernah memegang jabatan di kabinet Indonesia.

Diplomat Ulung yang Dimiliki Indonesia

Rekam jejak Maria menjadi diplomat ulung dimulai saat Ia kembali ke Indonesia. Sebelum menjadi Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir II, Maria sempat ditawari sebagai Sekretaris Jenderal di Kementerian Luar Negeri oleh Sjahrir yang saat itu menjadi Perdana Indonesia, tetapi ditolak.

Di kemudian hari, Sjahrir menawarinya sebagai LO (Liaison Officer) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Tentara Sekutu. Saat itu Ia tak dapat menolak lagi tawaran Sjahrir. Ketika menjadi LO, Maria mendapatkan tugas untuk memberi laporan kepada Tentara Sekutu apabila terjadi bentrokan dan terdapat korban dari Indonesia.

Dijadikannya Maria sebagai LO merupakan sesuatu yang krusial menurut Sjahrir. Pertama, penunjukan Maria dalam posisi signifikan di pemerintahan Indonesia menjadi bentuk bantahan atas asumsi Indonesia adalah hasil rekaan Jepang. Kedua, peran perempuan dalam diplomasi merupakan hal yang tepat karena Sekutu dapat lebih tanggap atas laporan yang diajukan oleh Indonesia. Itu merupakan alasan objektif di luar kemampuan dan pengalaman Maria yang telah bersentuhan dengan aktivitas transnasional, kemampuan intelektual, dan kecakapan bahasa yang mumpuni.

Saat Maria menjadi Menteri Sosial, Ia pernah menghadiri Konferensi Sosialis Asia di Rangoon, Burma (saat ini bernama Myanmar) yang dijuluki ‘pendahulu’ KAA oleh Kyaw Zaw Win. Ini disebabkan oleh kesamaan topik yang diangkat, yaitu antikolonialisme, hak asasi manusia, dan solidaritas internasional. Namun, terdapat perbedaan fundamental di antara keduanya.

Kesetaraan hak perempuan pada resolusi Konferensi Sosialis Asia salah satunya dipengaruhi oleh keterlibatan tokoh-tokoh aktivis perempuan seperti Maria Ulfah. Ia memiliki misi bahwa negara harus membangun tatanan sosial yang egaliter, rasional, dan mengapresiasi hak-hak kaum perempuan.

Keterlibatan dalam mengadvokasi hak dan peningkatan status perempuan melalui Kowani (Kongres Wanita Indonesia) menjadi rekaman pandangannya yang progresif dan humanis. Pada 1958, Maria dan Kowani memperbaiki kedudukan perempuan dan memperjuangkan hak dalam periode poskolonial Asia dengan menghadiri Konferensi Wanita Asia-Afrika di Kolombo. Terselenggaranya konferensi tersebut didasari oleh Konferensi Asia Afrika 1955 yang mempertemukan dan mendiskusikan masalah dasar yang dialami perempuan dan anak di negara Asia-Afrika.

Pada Konferensi Wanita Asia-Afrika, Maria sebagai ketua delegasi Indonesia ngotot untuk mendiskusikan masalah perempuan dan politik ketika konferensi cenderung ‘nonpolitis’ karena tidak ingin membicarakan masalah tersebut. Pada akhirnya, Indonesia menyampaikan pesan gerakan perempuan, mengangkat masalah Irian Barat, hingga hukuman mati empat perempuan pejuang kebebasan Aljazair oleh Prancis.

Maria Ulfah sebagai perwakilan delegasi dari Indonesia menyampaikan manifesto agar kebebasan dan perdamaian Asia dapat terbentuk dengan melawan ancaman yang paling mematikan, yaitu kolonialisme. Sayangnya manifesto tersebut ditolak karena delegasi dan inisiator konferensi bersikeras mempertahankan karakter ‘nonpolitis’. Meski demikian, Konferensi Wanita Asia-Afrika berhasil membuka gerbang kerja sama gerakan perempuan bagi negara Asia dan Afrika.

Menteri Sosial di Kabinet Sutan Sjahrir itu pun mampu mengawali penyusunan Undang-Undang Perburuhan. Itu dilakukan sebagai usaha untuk merealisasikan cita-cita menyejahterakan kehidupan buruh di Indonesia. Dengan Undang-Undang tersebut buruh dapat dijamin kesejahteraannya dalam hukum.

Ketika Maria menjabat pula, untuk pertama kalinya tanggal 1 Mei buruh di Indonesia merayakan Hari Buruh Internasional. Tak hanya itu, Ia turut memberi maklumat kepada kantor untuk tetap membayar upah buruh yang merayakan Hari Buruh Internasional sekaligus membolehkan pengibaran Bendera Merah (Bendera lambang buruh) di samping Bendera Merah Putih.

Selain itu, keterlibatan Maria sangatlah penting dalam Perundingan Linggarjati. Dengan kemampuan diplomasinya, Ia berhasil meredakan ketegangan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda. Ketegangan terjadi karena terdapat perbedaan pendapat kedua belah pihak dalam menentukan tempat perundingan. Hingga pada akhirnya, Maria justru mengusulkan daerah tugas ayahnya sebagai tempat perundingan.

Tok! Akhirnya Linggarjati yang merupakan kawasan peristirahatan di Kuningan, Jawa Barat disepakati sebagai tempat dilangsungkannya perundingan tersebut. Alasan pemilihannya selain tidak jauh dari Jakarta dan masih berada di wilayah kekuasaan RI, suasana Kuningan yang sejuk dan nyaman dapat memberikan nilai tambah sebagai tempat perundingan.

Meskipun namanya tak sepopuler pahlawan lainnya, jejak perjuangan Maria Ulfah Santoso tak boleh diabaikan. Ia mendobrak keterbatasan perempuan di masanya dengan menempuh pendidikan tinggi dan karier cemerlang sebagai diplomat.

Tak hanya itu, Maria lantang bersuara memperjuangkan kesetaraan gender melalui gerakan perempuan di kancah nasional maupun internasional. Semangat kegigihannya mampu menjadi teladan untuk terus memperjuangkan cita-cita keadilan dan kesetaraan bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan membangun bangsa Indonesia yang lebih baik.

Baca Juga: Nyepi dan dan Ramadan: Kisah Toleransi dan Keharmonisan di Bali

Penulis: Labibah

Editor: Aulia Aziz Salsabilla