Belum genap setengah tahun sejak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan telah menciptakan gelombang kontroversi yang luar biasa. Sejak awal, pemerintahannya sudah diwarnai dengan kebijakan-kebijakan yang mengundang pro kontra. Namun, puncak dari ketegangan tersebut terjadi pada 20 Maret 2025, ketika RUU TNI disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan tersebut langsung memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama dari mereka yang khawatir akan munculnya kembali sejarah kelam Orde Baru yaitu dominasi kekuasaan militer yang terlalu kuat.
PENGESAHAN RUU TNI MENJADI TITIK BALIK POLITIK-SOSIAL SAAT INI
RUU TNI yang baru disahkan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Hal ini juga mengingatkan pada sejarah kelam Indonesia sehingga menimbulkan ketakutan terhadap kemungkinan terulangnya sejarah. Pada orde baru, militer mengambil alih peran yang seharusnya menjadi milik sipil dalam menjalankan pemerintahan. Rasa ketidakadilan ini memicu protes besar-besaran di berbagai daerah, yang tak hanya dilakukan oleh kelompok oposisi, tetapi juga oleh masyarakat yang merasa hak-hak dasar mereka terancam.
Baca Juga: RUU TNI Disahkan: Kemunduran Demokrasi atau Kebijakan Strategis?
HINGGA MENIMBULKAN KONFLIK HORIZONTAL MASYARAKAT
Ketegangan semakin memuncak seiring dengan ketidakbijaksanaan pemerintah dalam merespons kritik yang datang. Amarah masyarakat mulai meluas dan menimbulkan keretakan di antara berbagai kelompok. Lebih parahnya, ketegangan ini merembet pada konflik horizontal di antara masyarakat. Dalam situasi ini, pihak oposisi mulai menyerang kalangan masyarakat yang memilih Prabowo pada pemilu lalu, dengan menyudutkan mereka sebagai pendukung rezim. Bukannya memfokuskan untuk melawan rezim yang sudah jelas menindas, mereka malah sibuk menghakimi dan menyalahkan kelompok tertentu berdasarkan preferensi politik semata.
MASIH 01, 02, 03? STOP SALING MENYALAHKAN! MARI BERGERAK BERSAMA!
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya kohesi sosial di tengah masyarakat. Mestinya, ketika pemilu usai, label-label seperti pemilih 01, 02, atau 03 yang sempat mengkotak-kotakkan masyarakat tak lagi dipertahankan. Semua adalah satu kesatuan yang disebut “rakyat Indonesia,” yang memiliki tujuan yang sama, yakni membangun negara yang lebih baik dan lebih adil bagi semua warganya. Namun kenyataannya, setelah pemilu berakhir, perpecahan justru semakin dalam. Masing-masing pihak sibuk dengan narasi mereka sendiri, yang semakin memperlebar jurang pemisah dalam masyarakat. Hal ini mengkhawatirkan karena dapat menciptakan polarisasi yang lebih tajam, yang pada gilirannya hanya akan memperburuk keadaan sosial-politik negara.
Author: Helma Mardiana
Editor: Alma Fadila Rahmah
Baca Juga: Ojol Korban Brutalisme Aparat: Hukum Melindungi Siapa?