Nyepi dan Ramadan: Kisah Toleransi dan Keharmonisan di Bali

Siapa yang tidak mengenal Hari Raya Nyepi? Sebagian masyarakat Indonesia pasti sudah familier dengan tradisi umat Hindu di Bali ini. Biasanya, saya hanya menganggap Nyepi sebagai libur nasional untuk merayakan upacara agama seperti yang dilakukan agama-agama lainnya di Indonesia. Setidaknya sebelum saya merasakan pengalamannya secara langsung. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman Nyepi dan melihat bagaimana toleransi antar agama di Bali ketika Nyepi yang bertepatan dengan bulan Ramadan.

Nyepi merupakan salah satu perayaan agama terbesar bagi umat Hindu di Bali. Hari Raya Nyepi identik dengan kegiatan sunyi berupa meditasi, merenung, dan melakukan penyucian diri. Nyepi diperingati setiap awal tahun baru Saka, yaitu kalender penanggalan yang digunakan oleh umat Hindu.

Saat Nyepi, Bali yang sebelumnya ramai mendadak sunyi seolah-olah tidak berpenghuni. Semua kegiatan publik dihentikan, termasuk perkantoran, hiburan, dan lalu lintas semua kosong. Bahkan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai ditutup sementara untuk semua aktivitas penerbangan kecuali dalam keadaan darurat. Listrik dan sebagian jaringan internet dimatikan, serta orang-orang diharapkan tetap tinggal di rumah masing-masing untuk menjaga ketenangan dan kesunyian selama Nyepi.

Toleransi Beragama di Bali

Toleransi beragama merupakan salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi dan telah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat di Bali. Penting untuk diketahui bahwa Bali bukan hanya rumah bagi umat Hindu, tapi juga rumah bagi umat agama lain seperti Islam, Katolik, Kristen dan Buddha. Meski begitu, mereka tetap dapat hidup dengan damai tanpa menyudutkan penganut agama minoritas.

Nyepi di Bali: Suasana dan Tradisi

Pada hari raya Nyepi, Bali menjadi sunyi total. Tidak ada aktivitas luar ruangan, tidak ada lalu lintas, tidak ada suara bising jalanan. Suasana seperti ini menjadi yang pertama kali saya rasakan. Meskipun tidak dapat melihat secara jelas betapa sunyinya keadaan di luar, saya tetap dapat merasakan ketenangan di sini. Semua warung dan toko tutup, tidak ada lampu yang menyala, aplikasi ojek daring juga tidak dapat digunakan. Pada siang hari mungkin masih terlihat biasa, tetapi ketika malam semua akan terlihat benar-benar sunyi, gelap total. Tidak ada satu cahaya pun yang saya lihat dari rumah warga.

 

Gambar 1. Suasana Nyepi di Perumahan

Seperti yang disebutkan sebelumnya, saat Nyepi, tidak boleh ada aktivitas apapun di luar ruangan. Jika nekat keluar, kalian akan ditegur oleh pecalang yang sedang berpatroli. Pecalang merupakan polisi adat yang bertugas menjaga keamanan selama upacara adat keagamaan di Bali. Biasanya, pecalang akan berkeliling selama Nyepi untuk memastikan hari raya Nyepi berlangsung sebagaimana mestinya. Ingat ya, kalau sedang Nyepi di Bali jangan lupa matikan lampu, kalau tidak kejadiannya akan seperti saya yang didatangi para pecalang dan meminta kami untuk segera mematikan lampu dan tidak membuat kebisingan.


Persiapan Menjelang Nyepi

Sebelum Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara adat yang tidak boleh dilewatkan. Mulai dari upacara Melasti, Mecaru, hingga Pengerupukan. Bagi saya upacara yang paling menarik adalah Pengerupukan. Pengerupukan atau Ngerupuk adalah upacara yang dilakukan sehari sebelum Nyepi, dimulai dari sore hingga malam. Di Bali, Pengerupukan identik dengan pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh merupakan patung yang dibuat dalam bentuk yang besar dan menakutkan dengan ekspresi yang ekstrem untuk mewakili roh jahat atau perwujudan sifat buruk manusia.

 

Gambar 2. Pawai Ogoh-ogoh

Ogoh-ogoh yang sudah diarak kemudian dibakar sebagai simbol untuk melenyapkan sifat-sifat buruk manusia dan pengusiran roh jahat. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk membersihkan lingkungan dari energi negatif sebelum menyambut Hari Raya Nyepi.

Baca Juga: Tradisi Kerik Gigi dalam Masyarakat Suku Mentawai

Selain persiapan berupa upacara keagamaan, tentu ada hal lain juga yang harus dipersiapkan, terutama bagi kami yang bukan penganut agama Hindu. Mempersiapkan bahan-bahan makanan wajib dilakukan agar kalian memiliki persediaan yang cukup selama Nyepi. Siapkan juga obat-obatan yang diperlukan untuk mengantisipasi kalau kalian sakit selama Nyepi. Tapi tenang, dalam kondisi darurat kalian tetap boleh pergi ke rumah sakit.

Toleransi Antar Agama selama Nyepi dan Ramadan

Hari Raya Nyepi 2024 jatuh pada tanggal 11 Maret 2024 yang bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadan. Selama Nyepi, kita dilarang untuk beraktivitas di luar ruangan. Lalu bagaimana dengan umat muslim di Bali yang hendak melaksanakan salat tarawih di masjid? Tentu saja tidak perlu khawatir.

Berdasarkan informasi dari pecalang yang kami temui, umat muslim tetap dapat melaksanakan ibadah di masjid seperti biasa tetapi dengan syarat tanpa menggunakan pengeras suara untuk menghormati umat Hindu yang sedang Nyepi.

Dalam perjalanan ke masjid pun, kami bertemu dengan pecalang yang sedang bertugas. Bukannya melarang, bapak-bapak pecalang malah mengantarkan kami hingga ke masjid terdekat.

Pengalaman tersebut membuktikan bahwa toleransi beragama di Bali sangat tinggi. Setiap agama dapat menjalankan kegiatannya tanpa mengganggu aktivitas keagamaan umat agama lain.

Keharmonisan dan Kerukunan di Bali

Sebagai seorang muslim, merasakan Nyepi untuk pertama kalinya merupakan pengalaman yang luar biasa. Selain dapat mempelajari tradisi masyarakat Bali, saya juga bisa mengetahui betapa pentingnya toleransi antar agama untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan.

Toleransi antar agama yang terwujud selama Nyepi dan Ramadan di Bali menunjukkan harmoni yang baik di antara masyarakat yang multikultural. Meskipun Nyepi merupakan perayaan yang penting bagi umat Hindu, umat Muslim tetap dapat menjalankan ibadah Ramadan tanpa mengganggu ibadah umat agama yang lain. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kerukunan dan saling menghormati antar agama dan budaya, serta memperkuat kesadaran akan nilai-nilai toleransi yang tinggi. 

Baca Juga: Dari ‘Cimahi’ hingga ‘Cihampelas’: Asal Usul Ci- pada Toponim di Bandung

Penulis: Wirza Iqbal Maulana P.

Editor: Afifah Dwi Mufidah