Sampai tulisan ini dibuat, kasus kekerasan seksual masih terus terjadi dan semakin memprihatinkan. Perempuan dan anak-anak menjadi korban dari tindakan bejat ini, mirisnya para korban ini mengalami kekerasan seksual di lingkungan yang dianggap aman bagi mereka, seperti sekolah, kampus, bahkan di rumah sendiri. Seakan sudah tidak ada lagi tempat yang aman bagi para perempuan dan anak-anak.
Mayoritas pelaku dari kekerasan seksual ini pun bukanlah sosok asing bagi para korban, mereka berasal dari orang-orang terdekat mau pun orang yang memang sudah mengenal korban secara baik, contohnya bisa kita lihat dari kasus yang menggegerkan Indonesia yaitu pelecehan yang dilakukan oleh pria bejat berkedok guru mengaji, Herry Wirawan di Bandung, yang telah memperkosa sedikitnya 13 santriwati, beberapa di antaranya sampai hamil dan melahirkan. Untuk contoh kasus lainnya ialah kasus yang menimpa mahasiswi Universitas Sriwijaya, ia menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya sendiri saat bimbingan skripsi. Sementara untuk contoh kasus kekerasan seksual di lingkungan keluarga bisa kita lihat pada kasus seorang anak berusia 14 tahun di Kota Depok yang menjadi korban pelecehan seksual oleh ayah kandungnya. Aksi bejat itu disebut-sebut telah dilakukan sang ayah selama sekitar dua tahun.
Dikutip dari kemenkopmk.go.id yang mengutip pernyataan dari pendapat Asisten Deputi Pemenuhan Hak, Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Roos Diana Iskandar, permasalahan kekerasan seksual merupakan momok dalam pembangunan manusia dan Indonesia. Dia menjelaskan, berdasarkan data Survei Nasional Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SNPHPN) Tahun 2021, sebanyak 26% atau 1 dari 4 perempuan usia 15 hingga 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan atau selain pasangan. Selain itu, 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis atau lebih kekerasan selama hidupnya.
Melihat dari data di atas, sudah semestinya negara perlu memperhatikan urgensi ini, perlindungan bagi setiap warga negara jelas mesti dilaksanakan dan ditingkatkan, oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang saat ini tengah dirancang oleh pemerintah harus segera disahkan demi kebaikan seluruh warga negara, meningkatkan sistem pencegahan kekerasan seksual, dan mempersempit kesempatan terjadinya kekerasan seksual.
Dengan disahkannya RUU TPKS ini tentu akan memperbaiki keterbatasan instrumen hukum yang ada. Dikarenakan dalam instrumen hukum yang saat ini kita miliki yaitu KUHP hanya mencakup pemerkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan saja. Sementara itu dalam RUU TPKS jangkauan regulasi hukumnya lebih luas dan dalam, karena di dalamnya telah mengklasifikasikan kekerasan seksual dalam 9 kategori dengan definisi yang lebih luas dan lebih bisa menjerat para pelaku kekerasan seksual.
Sampai tulisan ini dibuat, RUU TPKS belum kunjung diselesaikan oleh pemerintah, padahal hal ini tengah menjadi urgensi yang perlu segera diurus oleh pemerintah selain perihal pandemi dan permasalahan lainnya. Semakin lama disahkan, semakin tinggi pula peluang data kasus kekerasan seksual meningkat. Para korban tentunya menunggu keadilan dan keamanan dari pemerintah demi menjalani hidup yang lebih baik, dan tentunya kita sebagai masyarakat berhati nurani menunggu pula para pelaku yang sekarang sudah tertangkap mau pun yang masih dengan bebas berkeliaran menjalani hidupnya tanpa rasa bersalah ini untuk segera diadili seadil-adilnya. Mengapa demikian? Karena beberapa kasus kekerasan seksual ketika penyelesaian kasusnya sering kali merugikan bagi perempuan atau si korban. Salah satu contohnya dikutip dari kumparan.com perihal kasus Baiq Nuril. Pegawai honorer di SMAN 7 NTB tersebut dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) serta divonis hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah. Ia dianggap bersalah melanggar UU ITE karena menyebarluaskan konten elektronik yang berisi tindakan asusila. Dokumen elektronik itu adalah rekaman percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 bernama Muslim, kepada Baiq Nuril yang dianggap berisi muatan pornografi. Padahal Baiq Nuril menyimpan rekaman percakapan itu karena ia telah mengalami pelecehan seksual dari kepala sekolah.
Menurut Azriana, kasus yang dialami Baiq Nuril terjadi karena tidak dikenalinya kekerasan seksual yang melatarbelakangi kasus pelanggaran Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 45 UU ITE. Sehingga, perbuatan Nuril yang merekam percakapan atasannya tidak dilihat sebagai upaya membela diri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya, “kondisi tersebut menggambarkan sistem hukum belum menjamin perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual,” ungkapnya.
Untuk sekarang, alangkah baiknya seluruh lapisan masyarakat untuk terus bersatu, bergerak bersama dalam mengawal RUU TPKS ini untuk segera disahkan, serta setia untuk mendukung serta mendampingi para korban kekerasan seksual yang telah berani “speak up” demi keadilan yang sudah semestinya mereka dapatkan.
Baca juga: Panggung Setara: Dukungan Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Penulis: Fryan Septiansyah
Editor: Wulan Sari