Seni Reak di Terminal Ledeng, Wujud Rasa Syukur pada Alam Semesta

Deru mobil angkot dan kendaraan umum tersamarkan lantunan lagu-lagu Sunda dan seni reak pada Sabtu (28/9) yang berasal dari sebuah panggung di Terminal Ledeng. Panggung tersebut adalah bagian dari acara “Shaucha Utsava” yang diselenggarakan Karang Taruna RW 03, Ledeng, Kota Bandung. 

Saat itu, masyarakat sekitar datang untuk memenuhi kursi yang sudah disiapkan panitia yang menggunakan pakaian hitam dan baju kebaya. Shauca Utsava memiliki arti “Festival Kebersihan”. Pemilihan nama ini selaras dengan salah satu tujuan acara, yaitu untuk menjaga kebersihan lingkungan dan mensyukuri hasil alam. 

Pemilihan Terminal Ledeng sebagai Tempat Acara

Terminal Ledeng dipilih secara khusus sebagai lokasi Shaucha Utsava bukan tanpa alasan. Menurut Akbar Rafsanjani Al-Faruq sebagai ketua pelaksana, ada muatan kritik yang masyarakat Ledeng sampaikan. 

“Menjadikan terminal pusat kebudayaan merupakan kritik yang pada kenyataannya lahan terminal ini milik warga. Akan tetapi, pada zaman dahulu, semua digusur paksa hingga dijadikan terminal,” begitu tuturnya.

Panggung dan arena Reak. (Foto: Panitia Shauca Utsava)

Beberapa saat setelahnya, tiga orang anak muda menaiki panggung dan memperkenalkan diri sebagai pemandu acara. Mereka memberikan sambutan hangat pada masyarakat yang hadir, meskipun mereka tampak tidak begitu peduli. Pemandu acara pun menjelaskan rangkaian penampilan yang akan hadir dari sore sampai tengah malam nanti, lalu mereka pamit undur diri.

Seni Reak di Terminal Ledeng

Kesenian Reak Tibelat menjadi pembuka pada rangkaian acara sore hari itu. Dilansir dari laman SiBudi ISBI, reak merupakan kesenian asal Cileunyi, Jawa Barat beranggotakan 10 orang yang terdiri dari satu barongan, dua kuda lumping, dan tujuh pemusik. 

Di acara tersebut, reak dipandu oleh seorang penyanyi perempuan yang melantunkan lagu bahasa Sunda. Istilah “reak” sendiri berasal dari “eyak-eyakan” yang bergembira, namun karena orang Sunda senang dengan kesederhanaan, maka istilahnya berubah menjadi reak.

Baca Juga: Ketika Tepat Waktu Hanya Menjadi Utopia

Di saat bersamaan, aroma kemenyan menyeruak dari seorang pria yang sedang melakukan ritual. Air mukanya penuh konsentrasi dan mulutnya tidak berhenti merapal mantra. Saat ritual berakhir, ia mengangguk, lalu memberi hormat pada perangkat ritualnya yang berupa sesajen dan dupa.

Seorang pria melakukan ritual sebelum penampilan seni reak dimulai. (Foto: Rihan Atshari/Literat)

Kemudian, datanglah rombongan reak yang terdiri dari dua orang berkostum barongan dan seorang anak beratribut kuda lumping serta empat orang penampil teatrikal jampana. Mereka dipimpin oleh seorang pria yang menggerakkan tubuhnya dengan luwes. 

Anak kecil beratribut kuda lumping menyerahkan cambuk pada pria yang melakukan ritual, lalu semuanya bergerak serempak, bersukacita di bawah langit yang perlahan berubah gelap, diiringi oleh alunan lagu dari penyanyi wanita dan dentingan alat musik tradisional yang masih terus mengalun.

Kuda Lumping dan Barongan dalam Seni Reak

Anak beratribut kuda lumping mengalami kesurupan. Dia menuju perangkat ritual lalu memakan sebuah telur mentah. Kesurupan di kesenian ini adalah sebuah penyimbolan sifat buruk manusia. Apabila seorang manusia rakus, merusak alam, dan zalim kepada manusia lain, itu hanya akan berakibat kerusakan atau keracunan terhadap dirinya sendiri. 

Baca Juga: Ramai-Ramai Bakar Sate Saat Iduladha, Apakah Sudah Tahu Kisah Tentang Sate?

Dia yang serakah memakan kelapa sendiri, bawang sendiri, dan tidak mengikuti irama masyarakat yang sedang menari sehingga akhirnya kesurupan dan rusak sendiri. Hal itu berbeda dengan orang yang sedang bersenang-senang sambil memikul jampana bersama-sama untuk bersyukur dan berbahagia.

This image has an empty alt attribute; its file name is 3.-Seorang-anak-kesurupan-768x1024.jpg
Seorang anak kesurupan. (Foto: Panitia Shauca Utsava)

Ketukan dog-dog menggema di udara, menciptakan suasana syahdu yang membawa penonton ke dalam inti pertunjukan. Selain itu, pria berkostum barongan pun melangkah mantap, seolah membawa cerita lama tentang nenek moyang yang menjaga hasil bumi, sebuah simbol perjuangan yang tak lekang oleh zaman. 

Hasil panen yang dibawa di punggung mereka bukan sekadar dekorasi; itu adalah pengingat tentang tanah yang memberi makan dan betapa pentingnya merawat bumi yang semakin terancam oleh zaman modern.

Puisi dan Pelukis dalam Seni Reak

Di sela-sela penampilan reak yang meriah, dua buah puisi dibacakan dengan suara yang menggebu. Baris-barisnya berkisah tentang petani-petani yang bekerja keras, namun tidak mendapatkan kesejahteraan serta harus bergulat dengan konflik perebutan tanah. Puisi itu seolah menggema dan memantul dari ruang luas terminal serta meresap ke dalam hati setiap penonton.

Tisna Sanjaya melukis di tengah penampilan reak. (Foto: Rihan Atshari/Literat)

Selain pembacaan puisi di sela-sela penampilan reak, dua orang pelukis yaitu Tisna Sanjaya dan Isa Perkasa ikut memeriahkan acara. Mereka masuk satu per satu. Tisna Sanjaya melukis di sebuah kanvas tempat salah satu reak dibaringkan, sementara Isa Perkasa membuat sketsa terlebih dahulu di tanah sebelum melukis di kanvas. 

Dalam waktu yang terbilang singkat, keduanya berhasil dalam menciptakan karya lukis yang indah.  “Melukis pada intinya untuk menjadikannya history/cerita yang abadi yang dituangkan ke dalam media lukis,” ujar Akbar, ketua pelaksana acara Shaucha Utsava.

Baca Juga: Sekularisme Masa Pemerintahan Mustafa Kemal Atatürk

Pesona Penampilan Seni Reak bagi Penonton

Matahari semakin turun, namun penonton enggan beranjak. Lagu-lagu Sunda terus mengalun dan menjadi latar suara bagi pelukis yang masih menyelesaikan karyanya. Di ujung panggung, penyanyi wanita itu menyuarakan lirik-lirik terakhir dari lagunya, menutup penampilan.

Secara perlahan, orang-orang mulai berdiri. Mereka memberikan tepuk tangan yang riuh, yakni tanda penghormatan kepada para seniman yang telah memberikan usaha terbaik mereka.

Hasil lukisan Isa Perkasa. (Foto: Panitia Shaucha Utsava)

Dicky Satria Pratama, seorang mahasiswa UPI yang tinggal di Ledeng mengungkapkan apresiasinya setelah pertunjukkan, “Tentu ini menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Karena ini merupakan pengalaman pertama saya menyaksikan langsung kesenian reak. Mungkin karena baru pertama kali menyaksikan kesenian reak ini, (saya) jadi agak mencoba mencerna isi dari penampilannya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, “Lalu saya juga dibuat bingung oleh penari yang mengenakan dudukan seperti kuda lumping terlihat menari dengan kondisi badan tidak sadarkan diri. Secara keseluruhan penampilannya seru banget, jarang-jarang malam puncak 17-an menampilkan kesenian-kesenian tradisional seperti ini.”

Harapan Setelah Kegiatan

Di tengah tepuk tangan dan sorak sorai, ada sebuah rasa yang tersisa—rasa syukur atas kehidupan, atas hasil bumi, dan atas kebudayaan yang terus hidup meski zaman terus berubah. Pertunjukan di Terminal Ledeng ini bukan sekadar hiburan biasa; ia adalah sebuah perayaan dan pengingat tentang betapa pentingnya untuk menjaga hubungan dengan alam dan tradisi yang menghidupi kita.

Foto semua pelaksana acara Shaucha Utsava di Terminal Ledeng. (Foto: Panitia Shaucha Utsava)

Setelah acara ini, Akbar berharap akan ada acara-acara lain yang nantinya akan menjadi kebiasaan sehingga semua masyarakat akan lebih mengapresiasi nilai dari budaya yang ada dan nantinya nilai itu akan menjadi budaya untuk masyarakat di Terminal Ledeng.

Penulis: Rihan Atshari
Editor: Laksita Gati Widadi

Baca Juga: Zine: Sebuah Makhluk Pembebas Ekspresi Kreatif untuk Penggemar Musik