Kau diam tanpa kata
Kau seolah jenuh padaku
Kuingin kau bicara
Katakan saja apa salahku
Seperti yang diungkapkan d’Masiv dalam lagunya berjudul “Diam Tanpa Kata.” Diam sering kali menjadi bahasa yang sulit diartikan, dan kesunyian kerap dijadikan medium ketidakpuasan yang sukar dijelaskan. Seandainya terdapat masalah dalam sebuah hubungan, komunikasikan dengan terbuka. Jangan sampai pasangan menginterpretasikan “diam-diam tai kucing” itu sebagai ketidakterbukaan dan kejenuhan dalam hubungan.
Tentu saja dalam setiap hubungan, masalah sudah seperti bumbu dapur yang menjadi pelengkap cita rasa sebuah masakan. Ketika dua belah pihak memiliki pandangan yang berbeda tanpa dibarengi komunikasi yang efektif, masalah yang lama didiamkan dapat meletup-letup seperti kuah sup yang mendidih. Dalam situasi seperti ini, beberapa orang cenderung memilih perilaku silent treatment atau mendiamkan sebagai respons atas masalah yang ada.
Pihak yang Ingin Menyelesaikan Masalah vs Pihak yang Ingin Menghindari Penyelesaian Masalah
Kasus klasik terkait silent treatment pastinya melibatkan dua belah pihak dengan penyikapan masalah yang berbeda. Satu pihak mungkin berusaha untuk membuka komunikasi, mencari akar masalah, dan menyelesaikan masalah sesegera mungkin. Namun, pihak lainnya justru lebih memilih untuk menghindari konfrontasi dan menggunakan diam sebagai bentuk protes.
Perilaku silent treatment biasanya tidak muncul begitu saja. Umumnya, terdapat akar permasalahan yang menjadi pemicu hadirnya perilaku ini dalam suatu hubungan. Mari kita kupas asal mula munculnya masalah dalam suatu hubungan yang dapat berkembang menjadi perilaku silent treatment.
Masalah dalam sebuah hubungan sering kali timbul akibat adanya perbedaan persepsi di antara pasangan. Suatu tindakan yang dianggap sepele oleh salah satu pihak bisa saja dianggap sebagai tindakan yang menyebalkan dan tidak dapat diterima oleh pihak lainnya.
Baca Juga: Citayam Fashion Week, Black Panther Party, dan Block Telethon Protest: Wujud Self Love dalam Sebuah Gerakan
“Biasanya chat aku langsung dibales, tapi sekarang harus nunggu 1 menit baru dibales.”
“Kok dia ga ngucapin selamat tidur sayangku, cintaku, duniaku, sih!”
“Hah, following dia nambah. Ngambek ah, gak mau bales chat dulu. Biar dia sadar!”
Beberapa kalimat di atas merupakan contoh kecil dari sumber masalah yang sering ditemui dalam hubungan percintaan saat ini, betul? Masalah tersebut bisa terselesaikan dengan mudah ketika kita dapat mengkomunikasikan hal-hal yang mengganjal secara langsung kepada pasangan. Akan tetapi, sering kali ada yang lebih memilih untuk memendamnya dan menjadi bibit dari perilaku silent treatment.
Seiring berjalannya waktu, pihak yang menyadari kejanggalan –menyadari bahwa pasangannya melakukan silent treatment— akan mulai memberanikan diri membuka komunikasi untuk membicarakan masalah dan mencari solusi bersama. Sayangnya, ketidakmauan dan ketidakmampuan pihak yang melakukan silent treatment untuk mengomunikasikan masalah tersebut mendorongnya mengambil sikap diam untuk protes seperti contoh di atas. Dalam situasi ini, silent treatment mendukung langgengnya ketegangan dalam hubungan, memperkeruh komunikasi, serta menghambat berkembangnya hubungan yang sehat.
Komunikasi Terbuka dan Jujur adalah “Koentji”
Pokok permasalahan dari perilaku silent treatment berasal dari kurangnya komunikasi yang efektif untuk menyelaraskan persepsi antara kedua belah pihak. Dalam hubungan yang sehat, komunikasi yang terbuka dan jujur adalah “koentji” untuk mengatasi masalah yang dapat muncul kapan saja. Tanpa hal tersebut, silent treatment akan terus berlanjut dan membentuk suatu siklus berbahaya dalam hubungan, yang pada akhirnya dapat berujung pada perpisahan.
Oleh karena itu, penting untuk membangun perasaan aman dan nyaman bagi kedua belah pihak. Hal ini bertujuan agar bisa leluasa mengungkapkan perasaan, mendengarkan dengan empati, merespons dengan bijak, dan bersama-sama mencari solusi ketika menghadapi masalah. Sehingga dapat memperkuat ikatan satu sama lain. Seperti kata Maroon 5, “The silence is slowly killing me, oh yeah.” Jadi, jangan sampai kamu “membunuh” ataupun “dibunuh” pasanganmu secara perlahan karena ada silent treatment diantara kalian, ya!
Baca Juga: Bjir, Apa Lagi Nih?
Penulis: Siti Labibah Fitriana
Editor: Afifah Dwi Mufidah