Teater “Lawan Catur”, English Literature Forum: Manipulasi Penguasa dan Bahasa sebagai Alatnya

W. S. Rendra, selain dikenal sebagai seorang pengarang, penyair, dan dramawan, juga memiliki peran penting sebagai penyadur.  Rendra berhasil membawa karya-karya sastra dunia ke dalam konteks budaya Indonesia. Karya saduran Rendra bukan sekadar terjemahan harfiah semata, tapi juga kaya akan muatan sosial, politik, dan budaya Indonesia pada masanya.

Dalam prosesnya, karya saduran Rendra sering kali melibatkan adaptasi, tema, dialog dan latar sehingga relevan dengan realitas yang ada di Indonesia tanpa menghilangkan esensi asli dari karya tersebut. Salah satu saduran terbesar Rendra adalah Lawan Catur yang disadur dari drama The Chess Player karya The Game of Chess oleh Kenneth Sawyer Goodman (yang ditulis Rendra sebagai Kenneth Arthur).

Lawan Catur mengisahkan permainan catur sebagai metafora dari politik dan manipulasi kekuasaan. Samuel, sebagai penguasa, memanipulasi Oskar melalui permainan intelektual dan psikologis yang penuh simbol dan kepentingan kekuasaan. Adaptasi Rendra terhadap naskah ini memperlihatkan bagaimana permainan politik, otoritarianisme, dan perlawanan terhadap kekuasaan tercermin dalam konteks Indonesia di era otoritarianisme.

Pada pementasan bertajuk Welfare: Perjamuan Terakhir, teater Lawan Catur disajikan oleh English Literature Forum dengan ciamik. Pertunjukan ini menonjolkan persiapan matang yang sudah dilakukan sejak jauh hari. Melalui sesi tanya jawab setelah pertunjukkan, Giant Hakim A mengatakan persiapan pertunjukkan ini sudah dimulai sejak bulan April. Persiapan yang matang ini terlihat pada para aktor yang sudah nyaman memainkan perannya serta penataan cahaya dan permainan musik yang memperkuat nuansa dramatik selama pertunjukkan. 

Selain itu, saya ingin mengapresiasi secara khusus sutradara yang tampil di akhir pertunjukkan sebagai tokoh komedi. Keputusan ini membuat suasana yang sebelumnya tegang menjadi lebih cair. Kehadiran tokoh ini juga ditempatkan dengan baik sehingga tidak mengganggu jalan cerita.

Pementasan bertajuk Welfare: Perjamuan Terakhir, teater Lawan Catur yang dibawakan English Literature Forum. (Foto: Adrian Arrahman/Literat)

Meskipun pertunjukan ini berjalan lancar, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan, seperti artikulasi aktor yang kurang jelas di beberapa adegan. Namun, secara keseluruhan, pertunjukan ini berhasil menangkap esensi dari saduran Rendra yang memperlihatkan bagaimana bahasa dan strategi politik berkelindan dalam permainan kekuasaan.

Baca Juga: Xenoglosofilia: Berkah atau Ancaman bagi Bahasa Indonesia?

Bahasa sebagai Alat Kekuasaan dan Hierarki Sosial

Bahasa menjadi alat kekuasaan.  Dalam Lawan Catur, Samuel menggunakan kata-katanya sebagai alat untuk mendominasi Oskar dan menciptakan hierarki sosial yang mendukung posisinya.  Pada dialog awalnya dengan Oskar, Samuel menempatkan dirinya sebagai sosok berkuasa yang menantang Oskar untuk langsung membunuhnya.Tidak ada ketakutan yang diperlihatkan, Samuel bahkan langsung menantang Oskar untuk mengeluarkan pistol yang dibawanya dan memberinya kesempatan untuk menembaknya di tempat.

“Saya hanya tergoda nafsu ingin tahu, bagaimana kau memainkan pistolmu itu. Nafsu ingin tahu ini begitu menggelegar. Keluarkan barang itu, Oskar Yakub. Silakan!” -Samuel

Kemudian, saat mencapai pertengahan, Samuel menempatkan dirinya sebagai sosok yang setara dengan Oskar. Ini dia lakukan karena ingin kebohongan yang diciptakan tentang dirinya dan Oskar yang merupakan saudara angkat bisa dipercaya oleh Oskar.

Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa adalah sistem tanda yang merepresentasikan makna melalui hubungan antara penanda dan petanda. Samuel menggunakan kekuatan penanda untuk mengendalikan makna yang diterima Oskar sehingga menciptakan ilusi kekuasaan yang mutlak. 

“Seperti kau katakan tadi, itu tak membuktikan apa-apa. Tapi toh kita berdua bersaudara angkat.” -Samuel

Samuel tidak hanya berbicara untuk menyampaikan maksud, tetapi untuk membentuk dan mendikte realitas sosial yang menguntungkan dirinya. Baik saat menempatkan dirinya sebagai sosok yang berkuasa maupun sosok yang setara, tujuan dari Samuel masih tetap sama: memberikan keuntungan pada dirinya sendiri. Samuel tidak ingin mati di tangan Oskar.

Manipulasi Samuel

Selain dari penggunaan bahasa sebagai alat kekuasaan, kita juga bisa melihat Samuel menggunakan teknik reverse psychology untuk memanipulasi Oskar. Menurut Brehm dalam bukunya A Theory of Psychological Reactance (1966) tentang reactance, ketika seseorang merasa kebebasan mereka untuk memilih atau menindak terancam, mereka cenderung bereaksi dengan menentang atau menindak secara langsung sehingga bertentangan dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. 

Dengan teknik ini, Samuel bisa mengarahkan Oscar untuk melakukan tindakan tertentu dengan menyarankan hal yang berlawanan dari keinginan sebenarnya. Saat Oskar akan menembaknya, Samuel bukan malah melarang Oskar untuk melakukan tindakannya, melainkan mempersilakan Oscar untuk langsung menembaknya. Samuel sering kali menggunakan pernyataan yang bertentangan untuk mendorong Oskar dalam mengambil keputusan yang dia inginkan.

Selain itu, Samuel menyelipkan beberapa pertanyaan selama usaha manipulasinya ini yang membuat Oskar mempertanyakan kembali tujuan keikutsertaannya di partai revolusi dan tujuannya untuk membunuh Samuel. Dan Samuel berhasil.

Baca Juga: Sastra Cyber : Antara Peluang dan Ancaman

Oskar yang tadinya sudah sangat yakin dengan tekadnya membunuh Samuel kembali mempertemukan kedua tujuannya. Ini memperlihatkan bahwa Samuel, melalui penggunaan bahasa yang halus dan taktis, menanamkan keraguan dan mendorong Oskar untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, meskipun Oskar merasa bertindak atas kehendaknya sendiri.

Salah satu adegan teater Lawan Catur, Samuel dan Oskar sedang berdialog di suatu ruangan dengan serius. (Foto: Adrian Arrahman/Literat)

Samuel juga menggunakan pendekatan emosional untuk memperkuat dominasinya. Carl Rogers, dalam pendekatan psikologi humanistiknya, menekankan pentingnya empati dalam interaksi manusia. Dalam hal ini, Samuel membuat Oskar percaya bahwa dia adalah saudara angkatnya sehingga Oskar bisa bersimpati kepadanya.

Oskar akhirnya membatalkan keputusannya yakni menembak Samuel setelah dia mendapatkan empati terhadap Samuel. Empati yang dimiliki Oskar membuatnya tidak sanggup membunuh orang yang kemungkinan adalah saudaranya sendiri. 

Setelahnya, Oskar tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima tawaran bunuh diri bersama dari Samuel. Keluar dari ruangan itu tanpa membunuh Samuel, itu berarti dirinya harus menanggung malu sebab melepaskan Samuel yang merupakan seorang penguasa kejam, sementara membunuh Samuel tidak bisa dilakukannya sebab hati nuraninya melarangnya. 

Saat meminum racun, Samuel masih memberikan empatinya dengan berpura-pura ada dalam keadaan yang merasakan sakit yang sama setelah meminum racun yang sama dengan Oskar. Namun akhirnya, setelah Oskar tidak bisa bergerak, tidak bisa melawan sama sekali, Samuel bangkit, lalu dijelaskannya semua yang sudah dilihat oleh Oskar adalah tipu dayanya belaka.

Alat Komunikasi dan Kekuasaan, serta Manipulasi Sosial

Pertunjukan Lawan Catur yang disajikan oleh English Literature Forum bukan hanya sukses menampilkan permainan visual yang memukau, tetapi juga membawa pesan mendalam tentang kuasa bahasa dan manipulasi sosial. W. S. Rendra, dalam adaptasinya, menyampaikan kritik terhadap otoritarianisme dan manipulasi politik dengan cermat, melalui bahasa yang menjadi instrumen dominasi dan kontrol.

Dalam drama ini, kita melihat bagaimana bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan, tempat Samuel memanfaatkan setiap kata untuk mengendalikan, membentuk, dan memanipulasi Oskar dalam permainan kuasa yang brutal namun halus.

Penulis: Rihan Athsari
Editor: Laksita Gati Widadi

Baca Juga: Jejak Dosa di Ujung Malam, Teater Lakon: Eksploitasi Keputusasaan dan Ambisi Manusia