Bayangkan seorang mahasiswa bernama Jamal Juminten, yang tengah memasuki tahun terakhir kuliahnya dan ingin mencari pengalaman kerja sebelum lulus. Dengan penuh semangat, ia mulai mencari program magang di berbagai perusahaan, berharap dapat belajar langsung dari dunia industri. Namun, harapannya seketika pupus ketika membaca persyaratan dalam banyak lowongan magang: “Minimal memiliki pengalaman kerja di bidang terkait selama satu tahun”. Jamal Juminten pun kebingungan—bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan pengalaman kerja jika untuk magang saja harus berpengalaman terlebih dahulu?
Fenomena ini bukan sekadar keluhan individu, tetapi sebuah realitas yang dialami banyak mahasiswa di Indonesia. Di tengah persaingan dunia kerja yang semakin ketat, pengalaman magang menjadi komponen vital bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan dan memahami dinamika profesional. Ironisnya, beberapa perusahaan kini mensyaratkan pengalaman kerja sehingga menciptakan paradoks yang membingungkan.
Perusahaan-perusahaan yang seharusnya membuka pintu bagi mahasiswa untuk belajar justru menetapkan persyaratan yang sulit dipenuhi. Misalnya, perusahaan X mensyaratkan pengalaman minimal satu tahun untuk posisi magang di bidang pemasaran, sementara perusahaan Y meminta pemagangnya sudah menguasai berbagai perangkat lunak yang biasanya baru diajarkan dalam dunia kerja. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah magang masih berfungsi sebagai tempat belajar, atau sudah berubah menjadi sarana mencari tenaga kerja murah yang siap pakai?
Baca Juga: Pasti Dilirik HRD! Ini Tips dan Trik Membuat CV Mahasiswa untuk Magang
Realitas Magang Di Indonesia
Di Indonesia, magang awalnya dimaksudkan sebagai jembatan antara dunia akademik dan dunia kerja. Banyak kampus mewajibkan mahasiswa untuk magang sebagai bagian dari kurikulum agar mereka bisa menerapkan teori yang dipelajari di kelas dalam situasi nyata. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan benar-benar memahami tujuan dari magang ini.
Dikutip dari Kompas.com perusahaan yang mensyaratkan pengalaman kerja untuk posisi magang telah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Beberapa perusahaan menetapkan kriteria tinggi, seperti pengalaman kerja dan keahlian khusus, untuk calon peserta magang. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai esensi dari program magang itu sendiri, yang seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa dan lulusan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja pertama mereka.
Banyak perusahaan kini menetapkan standar tinggi bagi calon pemagang, seperti:
1. Pengalaman Minimal di Bidang Terkait
Sejumlah perusahaan besar menetapkan syarat pengalaman kerja meskipun posisi yang dibuka hanya untuk magang. Misalnya, perusahaan konsultan manajemen, perusahaan teknologi, perusahaan multinasional, bank dan lembaga keuangan, dan masih banyak lagi.
2. Kemampuan Teknis yang Komplek
Beberapa perusahaan meminta pemagang menguasai berbagai perangkat lunak dan keahlian yang biasanya hanya diperoleh melalui pengalaman kerja profesional.
3.Tanggung Jawab Setara dengan Karyawan Tetap
Tidak jarang, pemagang diberikan beban kerja yang hampir sama dengan pegawai penuh waktu, tetapi dengan kompensasi yang jauh lebih rendah atau bahkan tanpa bayaran sama sekali.
Persyaratan ini justru menciptakan hambatan bagi mahasiswa yang belum pernah bekerja. Mereka yang benar-benar ingin belajar dan mendapatkan pengalaman malah tersingkir sejak awal karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan.
Paradoks Pengalaman untuk Magang
Secara logika, magang seharusnya menjadi wadah bagi mahasiswa yang belum memiliki pengalaman kerja agar bisa belajar dan berkembang. Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik: magang kini seperti ajang seleksi bagi tenaga kerja yang sudah “jadi”.
Alasan utama di balik fenomena ini kemungkinan besar adalah efisiensi. Perusahaan lebih memilih tenaga yang siap pakai agar tidak perlu menghabiskan waktu dan biaya untuk pelatihan. Dalam perspektif bisnis, hal ini masuk akal—tetapi dalam perspektif pendidikan dan pembelajaran, tentu saja hal ini menjadi masalah serius.
Mari kita kembali ke kisah Jamal Juminten. Karena tidak memiliki pengalaman kerja, ia kesulitan mendapatkan tempat magang. Ia mencoba mencari cara lain, seperti mengikuti kursus online dan mengerjakan proyek pribadi, tetapi tetap saja, banyak perusahaan lebih memilih kandidat yang sudah memiliki pengalaman langsung di lapangan. Akhirnya, Jamal Juminten terpaksa menerima posisi magang yang tidak sesuai dengan bidangnya, hanya agar bisa mendapatkan sesuatu untuk dicantumkan dalam CV-nya.
Situasi ini menciptakan dilema bagi mahasiswa: Bagaimana mereka bisa mendapatkan pengalaman pertama jika semua tempat magang meminta pengalaman terlebih dahulu?
Baca Juga: Sering Disepelekan, Mampukah Mahasiswa Satrasia Bersaing di MSIB?
Dampak Kebijakan Bagi Mahasiswa
Fenomena magang yang mensyaratkan pengalaman kerja memiliki dampak nyata bagi mahasiswa dan dunia pendidikan secara keseluruhan.
1. Membatasi Kesempatan Belajar
Magang seharusnya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman pertama, tetapi kebijakan perusahaan yang menuntut pengalaman sebelumnya justru membuat mereka kehilangan kesempatan belajar langsung di dunia kerja. Akibatnya, mahasiswa harus mencari cara lain, seperti pekerjaan lepas (freelance) atau proyek mandiri, yang tidak selalu memberikan pengalaman yang sama dengan magang formal.
2. Meningkatkan Kesenjangan antara Dunia Akademik dan Profesional
Banyak lulusan perguruan tinggi yang merasa kurang siap memasuki dunia kerja karena tidak memiliki pengalaman magang. Hal ini memperburuk kesenjangan antara teori yang diajarkan di kampus dan praktik yang dibutuhkan di dunia industri. Akibatnya, ketika akhirnya diterima bekerja, banyak lulusan yang masih harus belajar dari awal karena kurangnya pengalaman nyata selama kuliah.
3. Tekanan untuk Mencari Alternatif di Luar Magang Formal
Mahasiswa yang tidak bisa mendapatkan magang akhirnya terpaksa mencari pengalaman di luar jalur formal. Beberapa mungkin mengambil pekerjaan paruh waktu yang tidak sesuai dengan bidang studinya, sementara yang lain mencoba membangun portofolio sendiri melalui proyek-proyek mandiri. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan hal ini sehingga ada yang tertinggal dalam persaingan di dunia kerja.
Rekrutmen Terselubung! Solusinya Apa?
Fenomena magang yang mensyaratkan pengalaman kerja menunjukkan adanya pergeseran makna dari program magang itu sendiri. Alih-alih menjadi tempat belajar, magang kini lebih menyerupai program rekrutmen tenaga kerja murah bagi perusahaan. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan awal magang yang seharusnya memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman pertama di dunia kerja.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini?
1. Perusahaan Perlu Meninjau Ulang Kebijakan Magang
Perusahaan sebaiknya lebih terbuka terhadap mahasiswa tanpa pengalaman. Alih-alih mencari tenaga kerja yang sudah “jadi”, mereka bisa fokus pada memberikan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dengan begitu, mereka juga berkontribusi dalam mencetak sumber daya manusia yang lebih siap kerja di masa depan.
2. Kampus dan Industri Harus Lebih Kolaboratif
Kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri sangat penting. Kerja sama ini dapat menciptakan program magang yang lebih inklusif dan sesuai dengan kebutuhan industri. Misalnya, Universitas Indonesia yang menjalin kerja sama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) untuk menyediakan program magang dan penelitian bagi mahasiswa di bidang ekonomi, bisnis, dan kesehatan masyarakat.
Kolaborasi semacam ini membantu mahasiswa mendapatkan pengalaman kerja yang relevan dan mempersiapkan mereka memasuki dunia profesional.
3. Meningkatkan Kesadaran tentang Tujuan Magang
Baik mahasiswa maupun perusahaan perlu memahami bahwa magang bukan sekadar pekerjaan sementara, tetapi bagian dari proses pembelajaran. Jika semua pihak memiliki pemahaman yang sama, maka magang dapat kembali ke esensinya sebagai sarana bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman pertama mereka di dunia kerja.
4. Evaluasi Kompetensi Dasar
Alih-alih meminta pengalaman kerja, perusahaan bisa mengevaluasi kompetensi mahasiswa berdasarkan tugas akademik atau proyek pribadi mereka.
Pada akhirnya, dunia kerja seharusnya memberi kesempatan bagi generasi muda untuk berkembang, bukan malah mempersulit langkah pertama mereka. Jika magang saja sudah memerlukan pengalaman, jangan heran jika semakin banyak lulusan yang kebingungan harus mulai dari mana. Jangan sampai kita terus-menerus menertawakan ironi ini seperti Jamal Juminten, yang akhirnya hanya bisa pulang dengan CV-nya yang tetap kosong di bagian “pengalaman kerja”.
Penulis: Azila Fitria Ramadhani
Editor: Auliya Nur Affifah
Baca Juga: Sosialisasi MBKM: Peluang dan Tantangan Mahasiswa Semester 6