Hari Ketiga Road To Bandung Writers Festival: Sepersekian Jaz dan Sastra Kritisisme

“Suatu pencerahan bisa datang dari hal yang remeh-temeh,” kata Herry Sutresna dalam sesi diskusinya, pada hari Minggu (23/02), hari terakhir acara Road To Bandung Writers Festival.

Road To Bandung Writers Festival, Lagi?

Ada yang berbeda dari Road To Bandung Writers Festival hari Minggu kemarin (23/02), kali ini mereka menggelar acara di 372 Kopi Dago Pakar, Jl. Pakar Kulon No.112.

Acara yang dihadirkan sedikit berbeda. Selain terdapat Pameran Kutipan Sastra dan diskusi terakhirnya bersama Herry Sutresno (Ucok) dengan judul materi “Sastra dan Kritisisme”. Road To Bandung Writers Festival mengadakan bedah karya kumpulan puisi Adhimas Prasetyo yang berjudul “Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung,” pembacaan puisi karya D. Zawawi Imron berjudul “Di Bawah Layar” oleh Yussak Anugrah, penampilan dari Bob Anwar yang membawakan musikalisasi puisi dari karya Faisal Syahreza yang berjudul “Tanpa Spasi” dan “Sebelum Sulastri Pergi (Lagi)” serta lagunya yang berjudul “Foto”. Penampilan terakhir sekaligus penutup acara dilakukan oleh Rasukma dengan membawakan beberapa lagu, di antaranya berjudul “Balada Sang Keju”, “Yang Berlalu Biar Berlalu”, “Untuk Palu, Sigi, Donggala”, “Kian Dalam”, “Aksi Kucing”, “Inti Bumi”, “Isi Hati” dan “Tolong! Kami Butuh Bantuan!”

Bagaimana dengan Bedah Karya Mas Adhimas?

Bedah karya dilakukan oleh moderator, Syarif Maulana, bersama dengan penulis buku kumpulan puisi “Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung,” Adhimas Prasetyo. Percakapannya kurang lebih seperti ini:

Di buku kumpulan puisi ini, dibagi menjadi dua bab. Pertama, Sepersekian Jaz. Kedua, Kota yang Murung. Bisa dijelaskan?

“Itu merupakan bentuk lain untuk bisa jujur. Sebenarnya judul buku tersebut saya ambil dari judul puisi saya yang berjudul Sepersekian Jaz di Kota yang Murung.”

Gaya bahasa yang ditampilkan itu kebanyakan alusi, yah?

“Iya, itu cara lain saya untuk bisa menyampaikan apa yang dirasakan.”

Kenapa musik jaz?

“Saya menikmati dulu musiknya. Yang saya rasakan dari jaz itu kemurungan. Dari sana, saya pikir cocok dengan representasi gagasan saya. Mengingat tubuh saya itu di kota, jadi ada korelasi antara jaz dan kota yang murung.”

Dalam buku kumpulan puisinya, terdapat puisi yang berjudul “Surat kepada Kafka Tamura.” Apa yang ingin kamu sampaikan dalam puisi ini? Apreasi atau respon kah?

“Itu dari novelnya Haruki Murakami yang berjudul Kafka on the Shore. Sebenernya saya itu orangnya—bisa dibilang pendiam dan pemalu. Jadi, saya tidak ingin menghadirkan banyak aku—diganti menjadi kau. Itu juga merupakan teknik gagasan. Dalam puisi tersebut saya berusaha menyuarakan perasaan tentang bunuh diri. Bahwa penderitaan itu kekal, kita hanya lupa saja akan hal itu.”

Di akhir sesi, Adhimas juga sempat mengatakan: Buku puisi ini merupakan proses, bukan sebuah hasil.

Kalau Sesi Diskusi Bersama Bang Ucok?

Sesi diskusi terakhir membahas “Sastra dan Kritisisme,” bersama Herry Sutresna atau biasa dipanggil Ucok dan dimoderatori oleh Syarif Maulana.

Mengenai sastra dan kritisisme, Bang Ucok menjelaskan bahwa sastra bisa masuk ke dalam kritisisme, tetapi ia bersembunyi di balik seni. Seperti halnya terjadi pada Pablo Neruda. Sastra dan kritisisme bisa ada hubungannya dan bisa juga tidak. Gerbang menuju kritisisme tiap orang berbeda-beda. Bentuk dari kritisisme melalui sastra misalnya melakukan perlawanan lewat media-media kesenian atau karya. Ia juga memperingati bahwa budaya popular harus diwaspadai karena bisa mengurangi transendensi penghayatan.

Baca juga: Hari Kedua Road To Bandung Writers Festival: Literasi Digital Anak dan Sastra Ruang Publik