Hari Kedua Road To Bandung Writers Festival: Literasi Digital Anak dan Sastra Ruang Publik

“Kunci digital parenting adalah parenting-nya, bukan digitalnya. Kunci smart digital school adalah pada school-nya, bukan digitalnya,” tutup Santi Indra Astuti selaku pemateri sesi diskusi ketiga di hari kedua Road To Bandung Writers Festival.

Apa-Apa Saja di Hari Kedua Road To Bandung Writers Festival?

Sabtu kemarin (22/02), Road To Bandung Writers Festival menggelar acara hari keduanya di Galeri Merak lantai 2. Mereka kembali menghadirkan Pameran Kutipan Sastra dan sesi Diskusi Literasi. Tentunya dengan dua persoalan yang berbeda dari hari pertamanya. Sesi diskusi pertama dipantik oleh Santi Indra Astuti dengan judul diskusi “Dunia Digital: Kabar Gembira bagi Literasi Anak?” dan sesi diskusi kedua dipantik oleh Rosihan Fahmi dengan judul diskusi “Sastra dan Ruang Publik”. Keduanya dimoderatori oleh Tofan Rachmat Zaky.

Diskusi Pertama

Di sesi diskusinya, Santi menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai haknya masing-masing yang sudah ditetapkan secara kovensi dan hukum. Tertera pada Konvensi Hak-Hak Anak PBB Tahun 1989 dan Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Umur setiap anak dari waktu ke waktu tumbuh kembangnya kian berkembang. Pada umur 1-3 tahun, ia sudah mengenali perbedaan dan belajar akan sesuatu. Umur 4-6, ia belajar keterampilan dan bisa membedakan fakta dan fantasi.

Dunia digital sudah tidak bisa dihindarkan lagi, khususnya bagi anak. Ia seharusnya menjadi media fun & entertaining, sumber belajar, sumber relasi dan sumber keuangan bagi anak-anak di masa sekarang. Santi juga memberitahu bahwa teknologi tak selamanya positif, ia “selalu bermata dua”. Efek negatif pun ada pada teknologi digital, misalnya cyberbullying, online predator, pencurian informasi, pornografi, radikalisme, dan lain-lain.

Menurut Santi, di tahun 2015, Indonesia sudah memiliki penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum dirasa sangat penting di antaranya Literasi Baca Tulis, Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Finansial, Literasi Digital dan Literasi Budaya dan Kewargaan.

Literasi anak harus menjadi jembatan menuju literasi dewasa. Dikutip dari Overview of Cell Early Literacy Learning Model, siapa-siapa saja yang berperan dan bertanggung jawab pada literasi anak di antaranya orang tua, sekolah, komunitas dan lingkungan negara. Cara menyiapkan literasi anak di ruang digital berbeda-beda. Di lingkungan keluarga, orang tua harus menyediakan dan memfasilitasi digital parenting bagi anak. Di sekolah menjadi ramah akan digital. Di komunitas harus peduli akan pengaruh digital pada literasi anak. Dan negara sepatutnya turut hadir dalam literasi anak, official dan unofficial karena Literacy Digital for All.

Yang paling penting dalam closing statement Santi, “tetap memiliki diri kita sendiri dan selalu mempunyai kesadaran, agar kita bisa fokus dan tidak pernah terpecah-pecah.”

Baca juga: Apa itu Bandung Writers Festival?

Diskusi Kedua

“Ruang Publik bukan hanya semata untuk menanti, tetapi bisa menjadi sebuah edukasi dan komunikasi,” kata Rosihan Fahmi dalam sesi diskusi kedua di hari kedua.

Rosihan Fahmi, akrab dipanggil Kang Ami adalah salah satu pelopor Gerakan Rindu Menanti. Sebuah kegiatan radikalisme yang menebar virus literasi di ruang-ruang publik, seperti salah satunya adalah halte. Ia berkolaborasi dengan Seni Bandung untuk membuat proyek bernama Halte Sastra. Proyek tersebut adalah salah satu cara untuk mengenalkan sastra di ruang publik.

Bermula dari sebuah halte yang tidak berpenghuni dan kotor. Kang Ami dan kawan-kawannya biasa nongkrong di sana, membawa sapu atau alat kebersihan dan buku-buku di sana untuk dibaca orang yang sedang menunggu halte. Tak hanya buku yang disediakan, kutipan-kutipan dari para penulis sastra pun ditempel di belakang haltenya.

Walaupun buku-buku yang selalu disediakan sering dicuri, hal itu tidak membuat Kang Ami berhenti dan kecewa—dan malah alhamdulillah. Proyek-proyek lainnya dibuat seperti halnya Halte Sastra di antaranya Angkot Pintar untuk para pengguna dan supir angkot agar mendapat akses membaca, Warung Pintar sebagai alat edukasi, kontemplasi dan komunikasi untuk para pengunjung dan penjual warung, Halte Inspirasi sebagai apresiasi dari semangat asia afrika, dan CCTV Puisi untuk menyuarakan sastra—lewat rekaman musikalisasi puisi sekitar 1 menit—di lampu merah.

Hematnya, Kang Ami bersama Gerakan Rindu Menanti berusaha membuat sastra bisa ditampilkan ke ruang publik lewat proyek-proyeknya. Mereka merasa bahwa ruang baca buku saat ini masih terasa eklusif dan komersil. Banyak yang tidak bisa mendapat akses untuk mendapatkan buku atau bahkan membacanya saja.

Baca juga: Tantangan Pergelaran Sastra 2020