Sabtu (11/6), Maca kembali hadir setelah hampir dua tahun vakum. Langit yang mendung tak menghalangi antusiasiasme peserta untuk hadir di kegiatan. Terhitung hampir 35 orang memenuhi Haloa Cafe untuk membahas novel Mateo karya Mayesharieni. Pada pukul 16.00 WIB, kegiatan Maca yang ke-12 pun dimulai dengan mengusung tema ‘Memahami Cinta dan Batas-batasnya’.
Kegiatan ini diawali dengan dramatic reading oleh Sherly Maulani. Novel Mateo yang dibacakan oleh Sherly berhasil menghipnotis sekaligus memukau peserta yang hadir. Selepas kegiatan tersebut, sekitar pukul 16.30 WIB, kegiatan diskusi dimulai. Zulfa Nasrulloh menjadi pemandu diskusi kali ini. Zulfa Nasrulloh tentu tidak sendiri di atas panggung, beliau ditemani oleh Mayesharieni sebagai penulis novel Mateo dan dua orang pembahas. Kedua orang tersebut adalah Vina Mnlgs, pelukis sekaligus bagian dari Abandon Ink, dan Nitasya, President Girl Up Unpad 2020 serta aktivis kesetaraan gender. Sambil menyimak pemaparan diskusi dari ketiganya, peserta dapat membaca esai “Tubuh, Perempuan, dan Seksualitasnya” karya Nitasya dan lukisan “Seperti Rumah” karya Vina Mnlgs.
Hujan mengguyur Bandung tak melunturkan antusiasme peserta. Selama diskusi berlangsung, sejumlah pertanyaan muncul berkaitan dengan stigma masyarakat, feminisme, dan poliamori. Raihan Ahmil bertanya sekaligus menyampaikan argumentasi terkait penghapusan stigma patriarkal yang terjadi di masyarakat Indonesia. Kiki Amelia juga bertanya terkait kelanjutan gerakan feminisme apabila pola pikir patriarkal telah terhapus. Ada pula Bagus yang menyampaikan poliamori melalui sudut pandangnya.
Sekitar pukul 18.15 WIB, diskusi selesai. Selepas itu, Bagus & Wangsit Siliwangi tampil untuk menutup Maca kali ini. Laki-laki asal Majalaya tersebut menyanyikan 4 lagu untuk menghibur peserta. Meskipun lagu-lagunya masih terdengar asing di telinga, tetapi Bagus & Wangsit Siliwangi berhasil mengajak peserta untuk bernyanyi bersama. Di akhir penampilannya, Zulfa Nasrulloh diajak naik ke atas panggung untuk membacakan beberapa bagian novel Mateo sambil diiringi oleh Bagus & Wangsit Siliwangi.
Pada 19.00 WIB, seluruh rangkaian acara selesai dan kegiatan pun ditutup. Peserta terlihat puas dan berharap kegiatan ini dapat kembali untuk yang ketiga belas kalinya.
Maca merupakan program rutin yang menginisiasi ruang apresiasi dan kolaborasi antara sastra dan seni. Bentuk utama program ini adalah diskusi atau workshop dengan format pembahasan yang intim dan menarik. Selain itu, salah satu bentuk apresiasi yang menjadi konsentrasi Maca adalah alih wahana dari teks sastra (dalam hal ini buku) menjadi bentuk karya lain, seperti musik, performance art, film, desain, atau pameran seni rupa. Kali ini, Maca diselenggarakan oleh Manusa Project.
Baca juga : One Day with Journalistic : Menggebu di Gudang Berdebu
Mateo, Poliamori, dan Tubuh Perempuan
Mateo disebut-sebut sebagai novel kontroversial lantaran memuat konsep cinta yang tidak biasa dalam ceritanya. Novel dengan genre romantis ini dengan tegas menampilkan tema seputar asmara, seksualitas, dan realitas masyarakat urban yang disuguhkan oleh tokoh bernama Mateo dan Dia. Bersama Mateo, Dia menuju cinta diri, menemui beragam pengalaman bercinta yang dalam, bertubi-tubi, dan penuh keterbukaan yang liar.
Mateo adalah seorang profesor laki-laki berkebangsaan Spanyol yang datang ke Indonesia untuk mengajar di lembaga belajar bahasa Spanyol. Dia adalah murid dari Mateo. Sebetulnya, Dia sudah memiliki pasangan bernama Bayu. Namun, justru karena konflik itulah konsep hubungan poliamori muncul dalam novel ini.
Poliamori dapat diartikan sebagai jenis hubungan yang memperbolehkan pasangannya untuk menjalin hubungan dengan pasangan lainnya. Terdengar mirip dengan konsep poligami, hanya saja poliamori tidak mensyaratkan pernikahan sebagai ikatan. Ciri paling nampak dari hubungan ini adalah mengedepankan sifat saling terbuka satu sama lain.
Melalui konsep hubungan poliamori yang diajarkan Mateo, Dia dihadapkan dengan kegamangan batin. Hal tersebut terjadi lantaran Mateo mengajarkan Dia konsep cinta yang membebaskan, tidak terikat, dan bermakna universal. Dia diajak untuk mengeksplorasi identitasnya sebagai perempuan, khususnya perempuan yang tinggal di negara timur.
Nitasya, dalam esainya, menjelaskan bahwa menjadi perempuan adalah menjadi seseorang yang mesti memenuhi tuntutan masyarakat. Maksudnya, mematuhi seperangkat aturan dan norma yang dilekatkan oleh masyarakat kepada perempuan. Tujuannya tidak lain menjadi dewasa dan paripurna. Perempuan dituntut untuk memiliki sifat pasif, penurut, dan tertutup. Melalui aktivitas seksual, pertentangan atas wacana ini dibangun.
“… bahwa seks memiliki akar yang naluriah, seperti lapar atau haus. Sama seperti kita telah menciptakan pekerjaan dan pasar untuk mengendalikan rasa lapar dan haus, kita pun telah menciptakan keluarga dan ideologi cinta yang romantis untuk mengendalikan seks.” (Mayesharieni, Mateo, hlm. 131).
Menurut Nitasya, novel Mateo merupakan sebuah upaya melepaskan konsepsi hubungan yang menundukkan salah satu dalam dominasi, serta konstruksi terkait seksualitas dan gender. Melalui ketabuan tubuh perempuan yang dibangun oleh masyarakat, Mateo ingin menghancurkan ketabuan yang ada melalui ekspresi positif yang dialami oleh Dia.
Baca juga: Ahmad Tohari dan Beberapa Hal yang Bisa Dicontoh Darinya
Penulis: Tofan Aditya
Editor: Nenden Nur Intan