Kutukan Perempuan Kapak

Ketika ratusan surili menggelegar dari arah hutan. Asri, si perempuan kapak itu mengatakan satu hal padaku Andai saja aku mati dan terlahir kembali, jadi ikan atau ubur-ubur pun tak akan kutolak nasib itu. Ia baru saja diasingkan ke tengah hutan rawa karena beberapa jam lalu Asri melahirkan petaka bagi Kampung. Tempat ini menjelma neraka dalam hitungan detik yang tak pernah diperkirakan. Burung-burung gagak bermunculan mengelilingi kampungku seperti membentuk lubang hitam bagi jiwa-jiwa terkutuk. Lubang yang akan menghisap jiwa-jiwa durhaka.

Sudah banyak sekali hal yang kulalui selama 18 tahun ini. Mempunyai indra keenam adalah hal yang tidak aku inginkan. Aku tak bisa membedakan mereka yang berasal dari dunia nyata dengan mereka yang berasal dari ‘dunia lain’. Keduanya hampir sama hanya saja berbeda dari kepucatan, bola mata, dan tatapannya. Semakin bertambah umur, rasanya kemampuanku bertambah tinggi. Keresahanku semakin dipaksa melihat relawan jiwa-jiwa tak tenang.

Malam ketika neraka itu terbentuk, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Baru sepersekian menit membaringkan tubuhku, tapi rasa resah menggantung di langit-langit kamar. Aku memutuskan menemui Si Mbe. Namanya Kenanga. Tapi wajahnya sama sekali tidak seperti bunga. Ia lebih mirip kambing sambil menggerutu karena tiba-tiba aku mengajaknya pergi ke warung.

    “Apa lagi yang kau lihat malam ini? Sundel bolong? Kuntilanak pakai daster? Atau  tuyul yang lupa jalan pulang?” tanya Si Mbe menyelidik. Aku tak sempat menjawabnya, pandanganku buram. Aku hanya melihat cahaya runyam di depan. Aku merasakan hawa dingin tak mengenakkan, seolah punggungku diguyur air es. Tiba-tiba Si Mbe menepuk punggungku.

“Diamlah kau Mbe. Orang-orang mengira bahwa aku yang dikaruniai kemampuan untuk berkomunikasi dengan ‘dunia lain’ masih bisa menikmati hidupnya. Berbicara dengan orang yang sudah mati apa susahnya? Melihat kejadian masa depan bukankah hal yang menarik? Mengetahui pikiran lawan berbicara bukankah hal yang luar biasa? Kalau saja mereka tahu bahwa ‘dunia lain’ tak hanya sebatas itu. Mereka sudah kencing di celana tiap satu jam sekali.” setelah kutuntaskan kalimatku, Si Mbe terdiam.

Baca juga : One Day with Journalistic : Menggebu di Gudang Berdebu

Si Mbe memang salah satu dari sekian banyak orang yang tak percaya dengan ‘dunia lain’. Sudah banyak cerita yang kuceritakan padanya dan ia tetap menanggapinya dengan candaan yang kadang membuatku geram. Tapi, aku tak pernah menganggap itu perkara yang besar, karena aku yakin suatu saat ia akan mempercayaiku.

Kala itu, aku masih bolak-balik menumpang dari kamar mandi pemilik warung. Si Mbe sahabatku terpelongo melihat rumah di seberang gang. Ia melihat seorang perempuan berjalan gontai lalu tiba-tiba terpaku menatap ular yang dipegangnya. Ular itu berukuran besar seperti anaconda. Wanita itu juga membawa kapak dan sekompan bensin. Aku dan Mbe termenung, menduga-duga apa yang akan terjadi. Sedangkan jantungku berdetak seperti bom yang akan meledak, dan  aku tak habis pikir bagaimana cara mengatasi ini.

    “Akan kau apakan ular itu?” tanyaku.

   “Akan aku cincang badannya dan kubakar ular sialan ini,” wanita itu menjawab cepat.

   “Kau tak boleh melakukan itu. Ular yang kau pegang bukan sembarang ular, percayalah. Kau hanya perlu meletakkan dan membiarkannya pergi.”

   “Masa bodoh! ular ini hampir saja melilit tubuhku. Akan kutunjukkan siapa yang lebih buas di sini.”

         Wanita itu memotong ular menjadi tujuh  bagian, kemudian seolah tidak puas, ia menyemburkan bensin dan menyalakan api, ular itu terbakar dengan bagian tubuhnya yang terpotong. Aku dan Mbe saling bertatapan dan  hanya sangup mengucapkan  satu kata saja “Gila”.  

         Langit tiba-tiba menjadi hitam, seakan memberikan tanda bahwa ini tidak baik-baik saja, suara surili menggelegar. Kilat-kilat petir membekas pada ladang-ladang sawah yang terhampar. Membuat orang-orang kampung berlari ketakutan. Suasana menjadi amat mencekam. Yang terjadi hari itu, adalah awal petaka bagi wanita yang bernama Asri. Sudah kuingatkan bahwa ular itu bukanlah ular biasa. Selalu ada karma yang diterima  dari apa yang dilakukan. 

        Di tangannya yang masih memegang kapak berceceran darah, Asri tiba-tiba menjerit.  Jeritan itu terus berulang semakin keras, orang-orang berkumpul menyaksikannya. Kampung semakin ganjil. Perut Asri terus membesar dalam hitungan detik. Asri melahirkan tujuh ular. Ular-ular itu berlendir dan sangat menjijikan. Bau menyengat mengelilingi kami, seperti bau yang megeluarkan danur dari onggokan mayat. Asri menangis, matanya menatap kosong orang-orang kampung. Dari kelaminnya mengalir darah, ia meminta tolong dan tak ada satu pun yang berani mendekat. Semakin keras ia berteriak, semakin bau danur itu hadir.

     Di sisi lain, aku melihat manusia berekor ular sedang menjambak dan mencambuk dirinya. Matanya merah dengan pupil yang mengecil, badannya bersisik, lidahnya panjang, dan badannya berlendir. Sungguh pemandangan yang selalu ingin aku hindari. Mereka kembali menatapku, menyadari bahwa ada seseorang yang bisa hadir dalam ‘dunia miliknya’. Jantungku berdetak seperti putaran detik pada jam. Terus berdetak tak kian berhenti.

       Karma buruk dari membunuh ular itu bukan hanya dirasakan oleh Asri, tetapi dengan keluarganya yang tidak tahu menahu soal itu. Satu persatu keluargnya mati. Ular-ular itu seperti tahu kepada siapa membalaskan dendamnya. Keluarga Asri yang berjumlah tujuh orang pun mati karena dipatuk ular. Mulanya lukanya hanya luka kecil dan akan membaik setelah bisa beracun dari mulut ular dikeluarkan, tapi ternyata luka itu kian membusuk dan mengeluarkan nanah. Tak ada satupun yang berani untuk menolong keluarga Asri, semua orang takut ikut terkena karma buruknya.

       Asri diasingkan dan dipasung di suatu gubuk dalam hutan belantara. Hutan yang gelap dan dipenuhi tumbuhan-tumbuhan beracun. Hutan itu dibatasi oleh dinding-dinding raksasa yang digembok, dan dikelilingi rantai setebal kayu jati. Tak ada satupun manusia yang boleh masuk ke dalamnya. Hutan itu dihuni oleh ular-ular raksasa. Kabarnya, di perjalanan sebelum Asri diasingkan, Asri menjadi gila. Badannya meliuk-liuk melilit seperti ular, dan dalam hitungan detik lidanya akan menjulur keluar.

      Rumah keluarga asri dibakar dan dihancurkan oleh orang-orang kampung. Mereka tidak mau ada dosa-dosa dan karma yang masih melekat pada kampung mereka. Ular-ular  menjadi hal yang menakutkan di kampung. Aku merasa bahwa ‘dunia lain’ terasa begitu nyata. Ketika salah satu dari dunia nyata menganggu ‘dunia lain’ maka balasannya akan berkali-kali lipat. Bukan hanya satu atau dua orang yang selalu menanyakan hal bagaimana cara mematahkan kutukan Asri, tetapi hampir setiap hari kepalaku diisi oleh pertanyaan semacam itu.

       Sudah dua tahun dari kejadian Asri melahirkan anak-anak ular, hutan itu tetap menjadi bagian tergelap di kampung. Setiap malam, gagak-gagak hitam akan terus berputar tujuh kali mengelilingi kampung, seakan ada perjanjian tak tertulis di antara mereka.

      Aku selalu merasakan jeritan kesedihan Asri dalam kepalaku. Jeritan yang mendobrak ingin bebas dari penyesalan. Sejenak, kukuasai kembali debar jantungku. Aku merenungkan; hukuman di ‘dunia lain’ akankah sekejam itu?

Baca juga : 4x Berpikir Setelah Mendengarkan Lagu Anak

Penulis : Dinda Anjani