Membaca Musik Jaz Melalui Bait Puisi
Judul Buku : Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung
Penulis : Adhimas Prasetyo
Penerbit : buruan & Co. (2020)
Tebal Buku : 73 Halaman + iv
…
seketika garis-garis gerimis turun
menyamping di genting kamar.
…
Suatu Malam Vaughan Menyanyikan Nina Bobo Untuk Kita, hlm.8
Layaknya genting kamar yang selalu ada bagi girimis yang turun, kemudian ia menggenapkan kesedihan orang di bawah genting kamar itu. Begitulah layaknya sebuah pertemanan tercipta, selalu ada dan melengkapi. Pertemanan yang baik adalah pertemanan yang dapat melengkapi satu dengan lainnya. Hal seperti itu dapat dilihat dari hubungan yang terjalin baik antara sastra dengan musik. Adhimas Prasetyo telah berhasil membawa hubungan pertemanan sastra—dalam hal ini puisi dengan musik jaz ke level yang berbeda. “Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung”adalah karya debut dari Adhimas Prasetyo yang diluncurkan pada Januari 2020. Meskipun terbilang debut, Adhimas sudah aktif dalam dunia sastra sejak menimba Ilmu di UPI, dia aktif menulis cerpen, puisi, dan esai. Tulisannya pernah dimuat di beberapa media seperti Tempo, Pikiran Rakyat, Indopos, dan Media Indonesia. Maka, tidak heran jika dalam karya debutnya ini tidak tampak kekakuan dalam setiap puisi-puisinya.
Buku debut Adhimas Prasetyo ini bercerita tentang pengalaman melalui panca indranya, terutama pengalaman ia ketika mendengar musik jaz, membaca novel, menonton film, dan menapaki sudut-sudut kota. Secara konsep, buku ini terdiri atas dua bagian, bagian pertama dengan judul “Sepersekian Jaz”; bagian kedua dengan judul “Kota yang Murung”.
Pada bagian pertama, pembaca dibawa menjelajahi musik jaz. Atmosfer yang ditimbulkan jaz tertuang dari setiap diksi yang ia rangkai, seperti penggalan puisi berikut:
…
di tempat ini kau pungut denting piano yang berserak
lalu menyusunnya menjadi bunyi gerimis dalam dadamu.
gerimis yang jatuh terpatah-patah. kau tak pernah tahu, swing
trompet yang merengek adalah suaramu sendiri.
Sebelum Jaz Berakhir, hlm. 3
Dari bait puisi di atas terdapat alat musik yang identik dengan jaz, yaitu piano dan terompet. Kemudian diperjelas dengan swing yang merupakan bagian dari genre dalam jaz. Atmosfer musik jaz tersebut semakin kuat terasa seiring dibukanya setiap halaman dari buku ini. Kita akan mengenal tokoh-tokoh dalam jaz seperti Miles David, Ella Fitzgerald, Sarah Vaughan, Chet Baker, dan Bill Evans. Tak jarang juga ia menulis penggalan lirik lagu dalam puisinya. Terlihat dari buku ini kecintaan penulis akan musik jaz, bukan sekadar hiburan, tetapi sudah menjadi bagian dari seorang Adhimas Prasetyo.
Hal yang membuat saya yakin bahwa jaz sudah menjadi bagian dari kehidupan penulisnya adalah terlihat dari beberapa puisinya seperti penggalan puisi berikut:
…
sepagi itu rintih trompet mengiringi bunyi hujan yang jatuh
pada bangunan. Hampir biru, katamu. terompet itu kau
letakan pada pangkuan, mengalir liur bercampur kokain di
bibirnya.
hampir pukul tiga dini hari. Kau selalu memikirkan koda yang
tepat untuk dirimu.
Meskipun di kota ini, setiap hari adalah hari yang baik untuk
bunuh diri.
Koda untuk Chet Baker, hlm. 13
Setelah melakukan penelusuran lebih jauh untuk memahami puisi di atas, diketahui bahwa Chet Baker adalah seorang trompeter pengguna kokain yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari kamar hotelnya di lantai dua. Pembawaan Adhimas yang menempatkan dirinya seolah dekat dengan Chet Baker membuktikan bahwa jaz telah menjadi bagian dalam hidupnya.
Jika puisi-puisi di bagian pertama banyak dibumbui dengan istilah musik dan banyak penyanyi jaz, di bagian kedua kita disuguhkan dengan keintiman Adhimas dengan semua tokoh dalam novel dan film. Pada bagian “Kota yang Murung”, Adhimas mengikat kedekatan dengan beberapa tokoh novel karya Haruki Murakami. Kafka Tamura adalah salah satunya, ada satu puisi yang berjudul “Surat Kepada Kafka Tamura”. Puisi dengan judul “Mari Kuceritakan tentang Max dan Makhluk-Makhluk Liar” juga diambil dari seorang tokoh dalam film “Where The Wild Things Are” yang bernama Max.
Baca juga : Analogi Kehidupan dari Segelas Kopi
Selain kecintaannya terhadap menulis, Adhimas pun gemar untuk menuangkan pengalamannya dalam sebuah tulisan—puisi. Seperti Max yang ia bawa ke dalam buku, ada juga puisi dengan judul “Kucing, Kucing”. Di sana tertulis “setelah lukisan Popo Iskandar”, membuktikan bahwa tidak hanya hal besar saja yang ia tuliskan, tetapi pengalaman setelah melihat lukisan pun ia tuangkan dalam puisi.
Terlepas dari setiap pengalaman yang dituangkan penulisnya, “Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung” adalah antologi puisi yang memancarkan kesedihan dan kesepian dari setiap puisinya. Kesedihannya dikonkretkan dengan larik berbahasa Inggris. Seperti larik dari puisi “Suatu Malam Vaughan Menyanyikan Ninabobo Untuk Kita” yang berbunyi that’s how I’d cry on my pillow, if you should tell me farewell and goodbye. Selain itu, Adhimas juga menggunakan kata ‘gerimis’ dalam Gerimis Untuk Bill Evans, Suatu Malam Vaughan Menyanyikan Ninabobo Untuk Kita, dan Beginilah Hari-Hari Gerimis Itu.Saat gerimis memang diidentikan dengan kesedihan. Sudah banyak juga yang menggambarkan kesedihannya melalui gerimis, seperti dalam novel, film, dan lagu.
“Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung” adalah buku antologi puisi unik yang pernah saya baca. Perpaduan antara sastra dengan musik pasti akan berakhir indah. Tetapi, ada satu pembeda dalam buku ini, yaitu bentuk lazim dari kolaborasi sastra—dalam hal ini puisi biasanya berupa lagu yang liriknya puitis, dan musikalisasi puisi. Adhimas Prasetyo berhasil membalikkan keduanya, ia membawa musik ke dalam tulisan, tanpa menghilangkan ciri khas dari musik itu sendiri.
Sebagai orang yang tidak terlalu menikmati musik jaz, pesan dan pengalaman penulis dapat tetap sampai pada pembaca, meski harus menggunakan mesin pencarian google untuk mengetahui beberapa hal tentang jaz, judul lagu, film, dan tokoh fiksi. Ini memberi pengalaman lebih lagi karena menambah pengetahuan. Diksi yang digunakan juga bukanlah diksi yang sulit dan perlu membaca berkali-kali untuk memahami maknanya.
Secara visual pun tidak mengganggu, terutama ilustrasi halaman buku yang memunculkan kesan coretan tembok-tembok di pinggiran kota. Kesan tersebut diperkuat dengan adanya tekstur dari tembok yang catnya sudah mengelupas.
Dari banyaknya pengalaman yang tertuang, ada satu penggalan puisi yang menjadi relevan dengan saya dan menjadi moment of realization:
…
kau tahu,
penderitaan adalah dalih
palig masuk akal
untuk menghancurkan segala hal.
…
Larung Kegelisahan, hlm. 44
***(Karen Begaratri)
Baca juga: RESENSI BUKU PENGANTAR SOSIOLOGI SASTRA
Penulis : Karen Begaratri