Hati, Kau Kubuang Saja

    AKU menutup telinga. Memejamkan mataku erat. Bukannya takut. Aku hanya merasa bosan mendengar teriakan dan suara benda jatuh. Percayalah itu adalah makanan sehari-hariku sepanjang aku mampu belajar mengingat.

    “Kamu tidak becus mengurus anak!” disusul suara pecahan kaca. Ah, pasti kaca lemari ruang tengah bolong lagi satu. Padahal itu lemari paling bagus di rumah ini. Dan aku yakin harganya lumayan mahal. Padahal setiap pagi selalu kubersihkan kacanya hingga mengkilap. Tetapi kini mungkin bagiannya hanya akan jadi rongsokan lagi di belakang rumah, atau lebih parah terkadang pecahan kecilnya melukai kakiku. Merepotkan.

    Teriakan itu sudah berhenti. Aku membuka mata dan menurunkan tangan. Kulihat Ibu terduduk di kursi, terisak menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Pecahan kaca bertebaran di bawah kakinya. Tapi untunglah kaki ibu tak berdarah. Ayah sudah pergi setelah puas berteriak dan memecahkan kaca. Dan tentu saja telah membuat ibu terlihat semenyedihkan itu. Aku hanya duduk diam memperhatikan dari sudut kamar yang pintunya terbuka lebar.

    Ayah selalu begitu, pulang ke rumah hanya untuk mengamuk pada ibu. Apalagi ketika kenakalan salah satu anaknya sudah begitu membuatnya geram. Yah, Abangku satu-satunya itu memang biang kerok sejati. Dia tak hentinya membuat ulah. Berkelahi, mencuri peliharaan tetangga, dan jarang sekali pulang ke rumah. Aku terkadang heran, orangnya tidak ada, tetapi dia begitu banyak mengirimkan masalah. Dan kata ayah, itu semua adalah salah ibu.

    Aku mulai menghampiri ibu. Memungut serpihan kaca dalam diam. Berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara. Aku memang telah lama tak saling berbicara dengan ibu. Bahkan saling sapa dalam seminggu pun dapat dihitung dengan jari. Hubungan kami memang sedingin itu. Aku hanya merasa malas. Semenjak intensitas pertengkaran mereka makin meningkat, yang ibu perhatikan hanyalah bagaimana caranya agar ayah tetap tinggal. Ibu hanya memaksa bertahan dalam keadaan yang kian kacau. Padahal ibu bisa memilih untuk tidak peduli sepertiku, atau ayah bisa bersikap lebih manis pada ibu. Oh ayolah, ibu adalah perempuan yang cantik. Tidak seharusnya ia diperlakukan sedemikian bejatnya begitu, pun tidak seharusnya ibu merendahkan dirinya dengan terlihat sangat menyedihkan.

    Pecahan kaca selesai kubersihkan, dan ibu masih terisak pilu. Aku hanya kembali diam. Katakanlah aku anak durhaka atau apa pun itu. Tetapi perasaan iba dalam diriku telah kusingkirkan sejak beberapa waktu lalu. Aku telah membunuh beberapa bagian rasa dalam diriku. Semenjak ayah dan ibu hanya sibuk bertengkar. Semenjak Abang memutuskan untuk pergi dari rumah. Semenjak orang-orang sekitar memandangku dengan sinis hanya karena pada usia semuda ini aku pernah mendekam di Rumah Sakit Jiwa sebulan lamanya. Padahal Aku tidak gila. Aku hanya pernah mengamuk karena rasa sakit yang tak bisa kutahan akibat dari kekacauan ini. Dan sekarang aku tak peduli itu.

***

    SORE ini sepulang kerja kulihat ayah duduk di kursi beranda rumah. Menopang sebelah kakinya pada kaki yang lain sambil membaca koran. Ayah memang dikenal sebagai orang yang pandai. Senang membaca dan pandai bercakap dengan orang lain dengan menyenangkan. Tapi sayang, untuk beberapa tahun ini ayah tak begitu pandai membuat rumah terasa menyenangkan. Aku hanya mengucap salam dengan pelan lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

    Semenjak sore itu ayah berhari-hari terlihat di rumah. Ibu terlihat senang. Dan Abang tak terdengar mengirimkan masalah. Aku dapat sedikit menghela napas. Terlepas dari kesesakan yang setiap saat selalu menghimpit dadaku. Jika dipikir rasanya aku ingin jadi batu saja, atau jadi gorden rumah yang selalu bergoyang riang, atau jadi angin saja yang sekedar lewat dari rumah ke rumah, dari satu tempat ke tempat lain, mengudara dengan bebas. Aku terkekeh pelan atas pemikiranku sendiri. Merasa konyol. Bagaimana mungkin manusia hidup sepertiku bisa menjadi benda mati. Kecuali memang takdir matiku sudah tiba. Yang bisa kulakukan hanyalah menyingkirkan dan membunuh perasaan-perasaan yang mengganggu. Ya. Iba, kepedulian, kasih sayang, telah kutiadakan.

Baca juga: RASISME: PETAKA UNTUK CLARA

***

    AKU tersenyum kecil melihat ibu yang begitu semangat menyiapkan makan malam untuk ayah. Sepertinya malam ini ayah akan pulang setelah seharian pergi entah kemana. Mungkin bekerja. Aku tak begitu tahu ayah bekerja apa. Aku hanya memutuskan tak ingin tahu.

    Kembali kulihat ibu yang begitu cantik malam ini. Kulihat matanya yang jernih persis mataku. Dan rambut lurusnya persis rambut sebahuku. Satu hal yang kusyukuri dari ibu adalah mata dan rambut indahnya yang ia turunkan padaku. Sesekali nyanyian lirih terdengar dari bibir ibu yang malam ini dilapisi lipstik merah muda. Kulitnya cerah. Jelas ibu berdandan. Pastinya ingin menyambut dan menyenangkan ayah yang beberapa hari telah kembali betah di rumah. Rumah kembali hangat. Aku hanya berharap ketenangan kembali utuh pada rumah kami yang selalu dingin mencekam.

    Kudengar ketukan pada pintu depan rumah. Belum sempat aku beranjak, ibu telah dengan semangatnya berlari ke arah pintu, menyambut kekasih hatinya. Aku hanya kembali duduk, memejamkan mata dengan santai. Mulai merangkai hal apa saja yang akan kuobrolkan nanti dengan ayah dan ibu di tengah makan malam kami yang hangat. Mulai menyusun harapan-harapan sederhana sebelum aku tersentak. Mendengar teriakan ibu di depan rumah. Ada apa?

    Aku beranjak, penarasan menghampiri. Kudengar isakan ibu. Dan gumaman ayah yang meminta maaf. Maaf untuk apa? Dan mengapa ibu menangis? Bukankah malam ini kami akan makan malam dengan hangat dan nikmat?

    Menuntaskan rasa penasaranku, aku mulai berjalan pelan ke arah pintu. Kulihat ibu terisak dengan bahu bergetar hebat. Ayah berdiri kaku. Matanya memerah. Tetapi dagunya terangkat pongah. Yang mengherankan adalah kehadiran dua orang asing. Seorang perempuan lebih muda dari ibu dan gadis kecil di sampingnya. Dan rasa penasaranku terjawab ketika kudengar ayah berkata dengan tegas “ini istri dan anakku. Mereka akan tinggal di sini mulai sekarang”.

    Segalanya terasa cepat. Kehangatan itu luntur seketika. Ketenangan itu melesat pergi secepat pesawat tempur. Harapan-harapan yang mulai kurangkai remuk tak bersisa. Suara tangis ibu bagai nyanyian pilu malam itu. Diiringi hujan yang mulai turun dengan pasrah. Turut menangisi kehidupan keluargaku yang kembali diterjang badai. Segalanya terasa cepat. Dengan ayah yang merangkul perempuan yang katanya istrinya itu, membawanya masuk. Dan ibu pergi entah kemana menembus hujan dan gelapnya malam. Teriakan mereka sebelum ibu pergi tak lagi kuhiraukan. Aku hanya diam. Berdiri di tengah-tengah kamarku yang temaram. Dan air mata sialan itu kembali luruh setelah sekian lama kuusahakan beku.

    Ah. Rasanya sesakit ini.

    Hati. Hanya perasaan sakit hati ini yang sulit untuk kusingkirkan hingga sekarang.

***

    KESAKITAN itu masih betah bersarang dalam dadaku. Bahkan setelah beberapa hari. Setiap pagi kubuka mataku dari tidur malam yang kian tak nyenyak, aku selalu berharap bahwa hatiku hilang seketika. Tetapi dengan rasa sakitnya yang masih mendekam, nyatanya hatiku masih ada sebagai salah satu organ dalam tubuhku. Perempuan yang katanya istri ayah ternyata nyata, dan gadis kecil itu juga nyata. Dan kepergian ibu juga nyata. Aku hanya memilih tak peduli. Aku hanya butuh tidur dan makan. Bahkan sudah beberapa hari kutinggalkan pekerjaanku sebagai pelayan di restoran. Aku tak peduli.

    Aku hanya mulai berpikir, bagaimana caranya menghilangkan rasa sakit itu. Rasa menyesakkan itu sangat tidak menyenangkan. Membuatku menangis berhari-hari. Menjadi perempuan lemah dan menyedihkan seperti ibu. Aku tak ingin itu.

    Maka dengan itu aku mulai mencari cara untuk menghilangkan rasa sakitku. Aku mulai membaca berbagai artikel di internet dengan segala langkah-langkahnya yang telah kucoba satu-persatu namun tak satu pun membuahkan hasil. Hatiku tetap saja sakit.

    Hingga akhirnya aku menemukan pemikiran paling cerdas dalam kepalaku. Sebuah ide yang mungkin dapat menyingkirkan rasa sakitku hingga ke akarnya. Aku mulai mencari dokter. Ya. Aku akan berkonsultasi pada seorang dokter yang katanya ahli dalam mengatasi rasa sakit manusia termasuk urusan sakit hati. Dan kuputuskan untuk pergi menemui dokter yang jadi pilihanku hari itu juga.

***

    “Nama”

    “Nina”

    “Usia”

    “18 tahun”

    “Keluhan”

    “Sakit hati”

    “Liver?” aku menggeleng. Tidak tahu.

    “Lalu?” tanya dokter perempuan itu mengerutkan kening. Sedikit memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot. Namanya dokter Hilda. Seorang dokter penyakit dalam yang kubaca tadi di atas daun pintu di depan ruangan ini.

    “Sakit hati. Di sini” jawabku menunjuk dada sebelah kiriku dengan mantap.

    “Kamu ingin diobati seperti apa?” tanyanya bingung.

    “Saya ingin membuang hati saya”

    “Didonorkan?” apa itu? Aku kembali menggeleng.

    “Mem-bu-ang. Dokter tahu arti membuang? Tolong bedah dada kiri saya, ambil hati saya, dan buang saja ke tong sampah. Saya hanya ingin sembuh total, Dok.” Jelasku tenang dan dokter itu hanya menatapku ngeri. Memangnya apa yang salah?

Baca juga: RIMBA RUBRIK INTERUPSIPENGINTERUPSI DAN YANG TERINTERUPSI

Penulis: Desti Pratiwi