Ketika internet menjadi kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan satu realitas lain, yaitu realitas virtual. Manusia mengaktualisasikan dirinya di ruang itu. Menambahkan identitasnya, berjejaring dengan manusia lainnya dengan mengurangi intensitas pertemuan fisik. Namun bukan berarti serta merta manusia bisa melepaskan intensitas pertemuan fisik tersebut, realitas virtual didefinisikan hanya sebagai media mempermudah telekomunikasi dari teknologi yang sudah ditemukan sebelumnya: telepon, pesan singkat, surat, kartu ucapan atau yang lainnya.
Yang sebelumnya konferensi, kemudian menjadi forum internet. Yang sebelumnya mesti menyebarkan undangan lewat iklan di media cetak, sekarang tinggal buat undangan di media sosial dan orang akan mengetahuinya lewat algoritma media sosial atau mesin pencari. Namun tetap saja, pertemuan fisik tetap jadi hal yang penting, pertemuan fisik adalah pencapaian ketika yang daring sudah terjadi.
Namun, ketika virus korona menjadi masalah besar di tahun kemarin, kita mengalami keterkungkungan fisik yang nyata, sehingga ruang virtual itu menjadi satu-satunya jalan supaya bisa berinteraksi dengan aman. Interaksi virtual ini jadi berbagai macam sesuai format yang sudah dikenal dan sudah dijalankan di internet, misalkan video conference meeting, podcast, pesan singkat dan panggilan video. Hal itu sudah ada sebelumnya, tentu, tetapi kemudian hal ini menjadi tiang utama komunikasi dan percengkramaan manusia kiranya setahun kemarin.
Baca juga: Selamat Beristirahat
Pada masa keterbatasan fisik tersebut, manusia benar terpaku di rumah. Sebahagian memang ada yang keluar, tapi bahaya tetap mengintai di mana-mana. Ini yang kemudian menjadi konsekuensi logis atas perpindahan realitas: di mana asalnya realitas daring adalah penunjang realitas fisik, nah sekarang posisi daring menjadi yang utama dari realitas fisik. Manusia lebih dekat dengan rumah, waktu berjalan begitu saja, hari berganti hari, kecemasan selalu ada, sampai pada beberapa konklusi: wah waktu berjalan begitu cepat, sudah malam hari lagi rupanya! Atau oh, tidak, waktu melambat, kita harus membunuh waktu bagaimanapun caranya!
Masalah-masalah membunuh waktu, masalah-masalah kecemasan dan keterkungkungan itu direkam ciamik oleh pementasan Time It Is My Friend oleh mainteater yang digawangi oleh Sandra-Fiona Long dan Faisal Syahreza. Adegan-adegan yang disaksikan dalam pementasan live streaming itu benar-benar menggambarkan kejenuhan, kebebalan dan renungan atas waktu-waktu yang lewat di masa pandemi ini: olahraga, bekerja dari rumah, menemani anak belajar, bercocok tanam, sampai ke melihat dokumentasi-dokumentasi masa silam yang sering terabaikan di hari-hari biasa.
Menariknya, pementasan ini dilakukan lintas negara, Indonesia-Australia. Ini juga menjelaskan bahwa masalah-masalah waktu di masa pandemi itu tak mengenal teritori. Semua orang merasakan kejenuhan dan keterkungkungan itu. Terlebih satu yang diaktualisasi benar-benar dalam pementasan ini adalah bagaimana seniman berhadapan dengan waktu. Ini yang kemudian menjadi konsep panggung yang fleksibel dan membuka kemungkinan-kemungkinan lain.
Panggung ialah sudut pandang. dalam beberapa set kita disuguhkan: sebuah ruangan yang penuh rajutan, dapur dengan robot, dapur dengan perabotnya yang menjadi instumen musik, ruang kerja, kamar, halaman dan ruang makan. Set-set ini menunjukan bahwa panggung dalam pertunjukan ini adalah rumah. Aktualisasi waktu dan rumah adalah simbol tepat untuk apa yang terjadi selama pandemi: stayathome atau dirumahaja
Realitas virtual-lah yang menggabungkan peristiwa-peristiwa antar aktor (yang sudah tentu beda-beda tempat pengambilan gambar), sedang realitas fisik yang sangat terbatas itulah narasinya. Kegiatan-kegiatan sehari-harilah yang menjadi lakon, yang menjadi titik utama dari berjalannya waktu selama pandemi. Itulah kira-kira lakon yang dihadirkan oleh Time It Is My Friend. Satu hal yang berbeda dari pementasan teater di mana kita bisa menemukan protagonis, antagonis dan yang lain-lain.
Ketika membayangkan sebuah pementasan teater daring, ada 3 bentuk teater yang saya bayangkan: pertama, pementasan itu merupakan tapping atau syuting di satu set yang sama dengan berbagai upaya penyuntingan setelahnya (seperti film). Kedua, yaitu pementasan box-to-box seperti yang film Host atau seperti pertemuan video conference pada umumnya tetapi ada naskah. Atau ketiga, sebuah pementasan live streaming, di mana ada panggung dan kamera yang aktif merekam apa-apa saja yang terjadi di dalam panggung.
Nah, dalam pementasan ini kita diberi satu bentuk lain, yaitu: campuran. Tapping ada, yang live streaming-pun ada. Tentu hal seperti ini perlu kerja ekstra mengingat bagaimana interkoneksi harus berjalan mulus tanpa halangan demi kepuasan penonton. Terdapat beberapa kendala video khususnya di bagian live streaming dan ketika ada dua audio bertemu (audio Indonesia, Inggris ataupun Jepang).
Sebenarnya itu adalah gambaran nyata bagaimana interkoneksi kita berjalan sehari-hari, dengan berbagai hambatan dan tak selalu mulus. Namun, sudah barang tentu kendala barusan juga jadi masalah bagi kepuasan menonton. Kita sudah disuguhkan dengan berbagai kemulusan tontonan setiap hari, inilah yang mesti diperhatikan di pementasan-pementasan lain: kualitas visual. Di atas itu semua saya senang sekali sudah bisa menyaksikan pertunjukan ini, selain konsepnya lain daripada yang lain, deretan aktor-aktor all-star mainteater yang bermain di pementasan ini. Berharap di kemudian hari pementasan ini bisa dinikmati kembali dengan paket-paket tertentu.
Baca juga: 4 Bagian Sekitar Rumah
Penulis: Rafqi Sadikin