Resep Meramu Kemelut Diri

APPETIZER

Usut punya usut menahun yang lalu saya tak bisa menerka bagaimana Alfaza Metini menulis asbak. Metini lantas membalasnya dengan esai yang menjelaskan bahwa kasarnya (yang saya dapat), ide datang padanya seperti waktu. Hadir di sekeliling dengan sadar dan tanpa ia sadari keberadaannya lalu lanjut menanyakan bagaimana proses saya dalam menulis. Sungguh tak ada alasan yang bisa menoleransi kemalasan, penyebab kenapa saya baru bisa membalas esai Metini saat ini. Selain itu, interaksi literal antara satu penulis dengan penulis lainnya adalah sebuah hal yang memang jarang lagi kita simak di geliat rubrik Literat. Maka ijinkan lagi saya berbagi (ceracau) tentang apa yang saya pribadi anggap sebagai proses meramu ide dan bentuk dari tulis-menulis.

Saya menempatkan menulis pada beberapa sekat dalam hidup. Menulis yang saya maksud adalah mencurahkan kemelut pikir dan rasa. Kemelut yang kerap kali berputar, melingkar, memanjang, dan menghantui saya selaku subjek di alam raya ini. Kemelut yang mungkin Ananda semua alami (sebut) sebagai mental illness, keterpukauan, kesengsem atau quarter life time crisis.

MAIN COARST

Tomboati

Obat bagi hati. Hei manusia, Ia ciptakan manusia itu berbeda-beda, agar-supaya kita saling mengenal daripadanya. Konteks “berbeda” tidak dibatasi pada  bentuk wajah, golongan darah, atau titisan rasnya saja. Manusia adalah subjek otonom yang jika nilai, norma dan aturan tidak membelenggunya, ia bisa melakukan apa saja yang ia inginkan: memikirkan apa saja, bertindak apa saja, berkata apa saja, merasai apa saja, meyakini apa saja. Akan tetapi, bahkan dengan temali nilai dan norma umum yang mengikatnya kita masih bisa melihat tindakan-tindakan di luar aturan norma itu. Setiap individu itu unik, berbeda isi kepala dan dadanya sehingga terkadang sulit menerka perasaan dan alam pikir seseorang. Di dalam kasus pribadi, bahkan tidak jarang saya tak mampu menerka perasaan saya sendiri. Aktivitas menulis hadir di dalam kemelut ini. Upaya membahasakan kemelut di dada dan kepala saya pakai sebagai metode memahami perasaan pribadi. Ekpresinya saya anggap sebagai wujud dari emosi-emosi yang diberi bentuk dan tenaga. Menyatakan walaupun tak sampai sebenar-benarnya tapi setidaknya itulah perasaan saya tentang suatu keadaan. Masalah bertebar dan kezoliman tiada usai. Kuliah belum selesai, susah cari pekerjaan, mahasiswa berebut kekuasaan, gembar-gembor isu pesanan pihak elit, kehabisan data kuota, kekasih merajuk, ban bocor, jemuran basah lagi karena hujan, dan berbagai pretelan lainnya yang membuat hidup jadi sulit kita syukuri. Dengan menulis, saya menemukan sedikitnya bentuk dari kepiluan ini, dan tidak jarang juga wajah dari kebahagiaan serta hikmah yang hadir daripadanya. Membaca sendiri setiap kata dari tulisan yang saya tulis kerap kali menjadi media penghenti stress. “Oh ini yang sedang berkecamuk, oh ini wujud hal baik dari peristiwa-peristiwa, oh ini sikapku terhadap sesuatu” dan menyadarinya adalah ketenangan bahwa saya masih punya sikap terhadap dinamika hidup. Obat bagi kesadaran dan daya juang. Bayangkan bagaimana hampanya hidup ini jika setiap detik dan harinya hanya lewat begitu saja. Tak ada apa untuk benar-benar diindera, tak ada apa untuk benar-benar dirasai.

Kepengen Relate

Saya berada dalam lingkaran sosial bahasa dan sastra Indonesia akademik maupun kemahasiswaan. Walaupun akhir-akhir ini lebih tertarik pada dunia kuliner. Akan tetapi, keinginan untuk masih bisa seiring dengan arus perkembangan kawan-kawan pekarya adalah egoisme yang tidak terhindarkan. Tulisan ini bahkan baru mulai diketik setelah menonton live Instagram antara akun @rafqiman dan @zulfanasr. Mereka bercakap tentang bahan tulisan yang ingin segera dipublikasikan. Gelora meronta, saya akui bahwa sisi pekarya dalam diri saya adalah “kepengen relate” ketika kawan lain punya karya baru. Kacamata yang saya pakai ketika melihat proses kreatif saya sendiri. Di dalam kacamata  lain, lingkungan berarti berpengaruh pada hasrat kita untuk menulis. Teman membuat diri kita semakin terasah, prinsip ini juga terbukti dan diakui oleh Sasuke yang akhirnya menerima bahwa Naruto menang di pertarungan lembah akhir. Sasuke melihat bagaimana upaya berdarah-airmatanya Naruto untuk bisa relate sama bakat Sasuke. Kuncinya adalah menjadikan teman sebagai sparing patner untuk memecut diri biar “relate”. Sungai akan membawa air sesuai lajur ke mana ia bermuara. Lingkungan bahasa dan sastra akan menglirkan kita pada muara sastra, lingkungan lain akan mengalirkan kita pada muara lain.

Baca juga : Ahmad Tohari dan Beberapa Hal yang Bisa Dicontoh Darinya

Momen Puitik

Umumnya saya harus begitu intim dulu dengan sesuatu yang ingin dituliskan atau begitu terinterupsi dengan emosi yang dirasakan. Intim berarti dekat dan mengenal betul tentang objek tulis dan terinterupsi berarti benar-benar emosi tentang sesuatu. Contohlah puisi untuk Toni, berawal dari dekatnya keseharian dan interaksi dengan beliau. Puisi tersebut berisi puncak emosi kesal dari keluhan dan sikap diamnya terhadap perjalanan romantika. Ketika saya berada di suatu puncak emosi, larik dan gaya bahasa lebih sering mengalir deras di meja penulisan. Entah emosi, sedih, kesal, putus asa, atau terpukau. Mereka adalah kekuatan yang menggerakan jemari saya untuk menekan setiap huruf pada keyboard laptop. Ada masa saat saya mencoba menulis karya tidak dalam mode puncak emosi, saya merasa karyanya kurang bernapas. Diksinya umum, isotopinya kurang khusus, dan maknanya permukaan saja (hal yang bisa diindera dan dirasakan dalam realitas walaupun tanpa puisi yang mengantarkannya).

Jika Metini mengasah empati dengan membayangkan hal yang dekat pada dirinya adalah subjek  hidup, saya kadang menganggap benda mati di sekeliling saya adalah bagian dari diri saya sendiri. Benda-benda itu tak terpisah keberadaannya dari diri saya sendiri, sebab mereka mati, sayalah yang memberikan unsur hidup padanya. Menggerakannya ke suatu tempat atau menaruh kisah khayali dari keberadaannya. Ada bagian atau unsur yang saya anggap diri sendiri di dalam benda-benda itu. Semisal pada puisi “Itisal Kopi Saring”, di mana saya merasakan bagian diri saya sendiri sebagai bubuk kopi, yang ketika tangan Tuhan menuangkan bentuk kasih-Nya, semenyakitkan apa pun itu, bahkan jika berwujud didihan air sekalipun. Rasa sakitnya mengepulkan ruap-ruap dosa saya ke udara hingga yang tersisa tinggal kebaikan dan cahaya. Saya baru menyadari betapa pentingnya kejujuran dari seorang penulis akan muatan yang ia sematkan pada tulisannya. Muatan yang menggambarkan bagaimana perjalanan hidup dan sikap-sikap tindak-tuturnya. Prinsip ini dilatarbelakangi oleh satu fenomena khusus di mana seorang penulis (harum ataupun tidak namanya) tidak bertindak dan bersikap layaknya tulisan yang ia lahirkan. Begitu ngeri saya dibuatnya, sebuah tamparan yang benar-benar memengaruhi proses kreatif saya dewasa ini.

DESSERT

Seperti kata M. Rauf Fauzy “Gitar kupetik, bass kubetot. Hei cantik, bassku betot” naon, sih? Respons itu munkin sekelibat terlintas pada masyarakat pembaca setia rubrik Literat. Tulisan demi tulisan yang terbit bisa saja lewat begitu saja, tanpa suatu apa untuk dilihat dan suatu apa untuk dirasai. Maka, biarkan kami-kami (Saya, Metini, Toni, Topan, dan Rafqi) saja yang haha-hihi dalam ruang ini, berceracau tentang alam khayali, puisi, atau demokrasi. Baik-baik saja sedang yang lain terpanggang hingga rangka kalo kata Chairil Anwar. Akan tetapi, sungguh menggetarkan jika penulis lain yang belum atau sering terbit tulisannya di Literat juga bersilaturahmi bersama kami di rubrik interupsi ini. Syukur-syukur kita diangkat jadi author Literat tanpa kaderisasi karena produktif nulis di berbagai rubriknya. Sebab meski sungai itu ada, tiada salah memperbesar dan menggalinya lebih dalam agar debit air yang mengalir lebih banyak. Air yang deras bisa bermanfaat dan berbahaya tergantung ke mana muaranya. Akan tetapi, jangan takut akan bahaya, jika kita cukup sadar untuk membuka seluruh indera dan nurani yang kita punya, tanda-tanda itu tersebar hampir di seluruh keberadaan di sekeliling kita.

Baca juga: Ketika Tepat Waktu Hanya Menjadi Utopia

Penulis: Rendi Audriana Rahman
Editor: Nenden Nur Intan