‘tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan’.
Ya, kutipan pedas tersebut keluar dari pendapat seorang sastrawan yang dikenal sebagai presiden “Penyair Indonesia” pada masanya, yaitu Sutarji Coulzoum Bachri (dalam Efendi, 2004:90). Pernyataan tersebut lahir berkaitan dengan cover yang hadir pada buku antalogi sastra cyber, yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga buku itu tidak layak untuk dijual pada masanya. Dan ini menjadi satu dari sekian banyak contoh ketidaksetujuan beberapa sastrawan senior atas lahirnya sastra cyber.
Kembali ke awal, berbicara mengenai karya sastra, rasanya kita tidak akan menemukan ujung dari perbincangan tersebut, ini dikarenakan di setiap waktunya karya sastra selalu berkembang mengikuti zaman dan eranya, sehingga akan sangat banyak bahasan yang kita bicarakan di dalamnya. Karya sastra tergolong dengan statusnya sebagai kekayaan budaya semua era perkembangan manusia, mulai dari era di mana sebuah cerita dan mitos disampaikan secara lisan, lalu masuk ke dalam era tulisan serta tradisi percetakan. Begitupun dengan era teknologi digital yang mana semakin ke sini semakin canggih saja, dan karya sastra tetap bisa menyesuaikan diri berkembang mengikuti zamannya, sehingga muncullah jenis sastra baru bertemakan Sastra Cyber.
Kemunculan Sastra Cyber di Indonesia terjadi beberapa tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 2000an, ditandai dengan peluncuran buku antologi puisi cyber berjudul Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001 di Puri Jaya, Hotel Sahid, Jakarta yang digawangi oleh Sutan Ikwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
Hadirnya sastra cyber sendiri di ranah kesusastraan Indonesia banyak diakui dan disikapi dengan berbagai cara. Bahkan, kehadiran itu pada akhirnya menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Beberapa orang mengambilnya secara positif, dan beberapa orang mengambilnya secara negatif. Sebagian pihak menyambut ini semua dengan positif karena sastra cyber dapat diakses dengan mudah, cepat, dan tentunya lebih luas. Sedangkan sebagian pihak menyambutnya dengan negatif karena mereka menganggap sastra cyber ini tidak lebih dari sekadar upaya yang tidak serius. Dikatakan pula bahwa sastra ini begitu kurang dalam hal kualitas dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam perkembangan kesusasteraan di Indonesia.
Meskipun kehadirannya menuai pro dan kontra, akan tetapi peran sastra cyber dalam khazanah sastra Indonesia tidak boleh dianggap remeh. Karena dengan lahirnya sastra cyber, melahirkan pula peranan serta ciri lain sebagai media penerbitan dan sarana kreatif yang dapat menghasilkan karya yang selaras dengan perubahan masyarakat pada saat itu. Sastra cyber hadir tanpa aturan yang ribet dan mengekang.
Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat dapat memublikasikan karya-karyanya secara leluasa dan bebas untuk dinikmati oleh siapa saja dari seluruh penjuru dunia mana pun tanpa memandang apakah dia seorang yang sudah “memiliki nama” atau seseorang yang namanya belum dikenal.
Baca juga : Puan, Si Kelas Dua
Kondisi ini tentu saja menimbulkan suatu masalah bagi sebagian sastrawan yang sudah senior dan mapan. Dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran Republika) dalam artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul ”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”. Dalam artikel tersebut, Ahmadun mengatakan bahwa sastra yang dituangkan melalui media siber cenderung hanyalah sebagai ”tong sampah.” Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan sekumpulan karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001).
Namun, menurut Medy Loekito, seorang penyair yang sekaligus presiden Yayasan Muktimedia Sastra (dalam Efendi, 2004:278), mengatakan bahwa perdebatan mengenai sastra koran melawan sastra cyber adalah sesuatu yang tidak perlu. Dia mempertanyakan bagaimana sastra koran merasa atau didudukan sebagai dewa sastra, dan bagaimana sastra cyber dianggap sebagai sastra sampah? Adalah suatu perbincangan yang mengada-ada, kecuali apabila perbincangan antara kedua mazhab tersebut lebih diarahkan pada riset, studi perbandingan, dan analisis, guna mencari jalan untuk pencapaian yang maksimal.
Dengan adanya beberapa komentar atas hadirnya sastra cyber ini, dapat dilihat bahwasanya kehadiran sastra cyber ini tidak sebaik saat sastra media cetak hadir. Mengapa bisa seperti ini? Hal ini dikarenakan kehadiran sastra cyber tidak serta merta diterima dengan baik oleh beberapa pihak, khususnya pihak dari para pelaku sastra. Bahkan, kehadirannya telah menimbulkan sebuah polemik yang cukup menyita perhatian pada masanya, contohnya saat mencermati pendapat Ahmadun, tampak bahwa ia kurang simpatik dan tidak terlalu menghargai terhadap kehadiran sastra cyber.
Menelusuri sejarah sastra Indonesia, kita dapat melihat bahwa selalu ada pemberontakan terhadap pendiriannya. Sebagai contoh, Chairil Anwar adalah seorang revolusioner. Dia memberontak terhadap pembentukan bentuk dan isi puisi sebelumnya. Namun, akibat dari pemberontakan tersebut pada akhirnya ia dikenal karena aksinya tersebut sehingga ia terus dikenang hingga sekarang. Bahkan, hari lahirnya selalu dirayakan dengan berbagai acara sastra.
Sangatlah bijak bagi beberapa pelaku sastra lainnya yang mengatakan bahwa tidak perlu memperdebatkan istilah yang berkaitan dengan sastra koran, sastra majalah, dan sastra cyber. Bagi mereka istilah-istilah itu sekadar “politik identitas” dalam dunia sastra. Maka dari itu tidak perlu muncul sebuah penilaian yang sifatnya sangat subjektif. Karya sastra tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan pembacanya. Maka dari itu, sedari dulu kita tidak perlu permasalahkan lagi soal sastra dari segi media karena hal tersebut justru akan menjadi suatu hal yang tidak patut dilakukan alias membuang-buang waktu. Sastra cyber sudah telanjur lahir dan tentunya kehadirannya harus disambut dengan positif.
Sampai di penghujung perbincangan, pesan yang bisa dipetik dari secuil bahasan kita di atas, yaitu sastra harus diperlakukan sama oleh pengamat sastra maupun masyarakat yang baru terjun ke dunia sastra, terlepas dari apapun media yang digunakan. Tidak perlu “mengutuk” maupun menyisihkan sebuah karya sastra, karena akan menimbulkan kontroversi yang tiada habisnya. Tindakan yang harus dilakukan saat ini ialah memperlakukan semua jenis karya sastra secara adil dan juga bijaksana. Tidak perlu membedakannya lagi dengan sastra lainnya. Semua jenis sastra tersebut pada prinsipnya dapat tetap berada dalam sejarah sastra dengan ketentuan yang berlaku.
Baca juga : Ketika Tepat Waktu Hanya Menjadi Utopia
Penulis: Fryan Septiansyah
Editor: Neni Dwi Astuti