Bersepeda Saat Pandemi Wabah: Rangsangan Panca Indera Pasar Ancol

Liburan setidaknya bagi beberapa orang memberikan peluang untuk melakukan sesuatu lebih banyak dan leluasa, bagi saya justru sebaliknya. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung kiranya sebulan lebih malah mendorong saya untuk kurang berminat melakukan berbagai aktifitas. Berolahraga khususnya, sepanjang pandemi, kebanyakan orang memiih aktifitas virtual sebagai agenda “a-z” hari-hari yang membosankan ini. saya sedikit samar mengingat kapan terakhir kali saya bangun pagi. Saya lebih sering menjumpai pagi tanpa harus dijaraki tidur, bergadang melebihi larut hingga mentari mencapai terbit. Menikmati fajar dengan kondisi seperti itu memiliki kesan dan cita rasa tersendiri. Pagi datang bukan sebagai pengganggu tidur yang menjengkelkan dengan dingin yang menjalari kaki, dan omelan ibu untuk segera bangun. Pagi menjadi lebih hening, lebih pelan, dan saya menanti ia hadir. Setelah ia datang apa kiranya kegiatan yang baiknya saya jemput? Berolahraga, suatu pagi itu yang saya pilih.

Tepat pukul 4.38 saya mengisi eco bottle -seperti hp, sekarang semua org memilikinya- dengan air setengah hangat sampai penuh, meminjam tas pinggang ala-ala tukang martabak mini atau kredit perabotan keliling kepada kakak saya yang belum sadar ketika saya tanyai untuk meminjami saya tas itu. Berbekal handuk kecil, beberapa  ribu uang, hp, dan masker di mulut saya siap melanglang buana kecamatan Regol dengan sepeda. Bersepeda di tengah pandemi Covid-19.

Pukul 4.58 saya mengawali kayuhan pertama dengan kaki kanan. Baiknya melengkapi bismillah dengan yang kanan-kanan. Langit masih gelap, hawa dingin sisa semalam masih terasa, dan bintang-bintang belum pulang. Rumah saya tepat di Jl. Srimahi II kelurahan Ancol. Tempat terdekat yang logis dikunjungi pertama kali sebelum jarambah ke beberapa jalan lainnya pikir saya adalah pasar. Tentu, mengisi perut dengan kopi hangat dan beberapa kue. Isi perutmu dengan makanan/minuman yang hangat sebelum berpergian, kebiasaan itu turun-temurun dibiasakan di beberapa keluarga etnik Sunda. Mengayuh sepeda dengan gigi dua adalah sedikit upaya saya untuk pemanasan. Merangsang sedikit demi sedikit kerja otot agar siap ketika digenjot dengan cepat di perjalanan nanti.

Baca juga: Angan-angan Acara Berkualitas di Tengah Kondisi yang Serba Terbatas

Sampai di perempatan ancol-moch.ramdan-pungkur-Unla, suara-suara aktifitas pasar mulai terdengar. Malam hari biasanya ditempati oleh penjual Martabak asin, dan manis Pak Wawan. Tapi pagi, sepanjang jalan itu diampari oleh pedagang sayur-mayur. Saya turun dari sepeda dan menuntunnya berjalan, melihat berpuluh-puluh ikat daun bawang dan selada yang masih menyisakan embun di setiap helai dan batangnya, kangkong-kangkung yang hijau bukan hanya bagian pucuknya, tomat-tomat gemuk yang merah mengkilap, ubi ungi, gendul paprika tiga warna, dan batang wortel yang gempal berwarna oranye. Tapi yang membuat saya begitu terpikat adalah aroma bumbu rempah, tercium aroma gulai atau kari india. Saya merasakan sensasi hentakan kejut di kepala saat mencoba menghirupnya lebih dalam. Pedagang bumbu memang tahu bagaimana strategi pemasaran yang ajib. Mereka mencari tempat yang sebisa mungkin dekat dengan pintu masuk pasar agar setiap orang yang mendekati pintu masuk -yang di luar maupun di dalam- mengalami pengalaman indrawi di hidung dan matanya dari berbagai warna gilingan cabai merah, kunyit atau bawang putih, bawang merah, dan bombay yang telah dihaluskan. Menggelar merica dan lada hitam agak jauh dari jahe dan cengkeh agar aromanya tak saling tabrak. Beberapa pedagang rempah yang memilih tidak menjual bumbu yang dihaluskan menata batang sereh, dan bunga lawang dengan teratur untuk memikat mata pembeli. Saya sempatkan bertanya dari mana pedagang Pasar Ancol mendapakan pasokan rempah-rempah ini. Satu pedagang enggan memberitahu mungkin menganggap saya (yang dengan sepeda dan stelan olahraga) kurang berpotensi membeli dagangannya sedangkan yang lain memberi saya jawaban yang berbeda-beda. Pangalengan, Lembang, Garut, dan Daratan Minang adalah beberapa tempat yang mereka sebutkan. Berjalan sedikit jauh hampir menuju ujung pasar mulai tercium bau amis. Penjual daging. Ayam potong, ayam utuh, daging sapi atau kambing yang digantung di kail besi berkarat. Beberapa jeroan sapi dan ayam digelar di kios yang terbuat dari keramik putih licin. Ciri khas tukang daging Pasar Ancol adalah mereka memasang satu kipas gantung yang bilahnya mereka potong beberapa lalu mengikatkan plastik hitam di pangkal bilah yang masih tegak. Ketika berputar akan terdengar bunyi [srek … srek .. srek] dan tiupan angin pelan yang “katanya” bisa mengusir lalat. Saya kadang penasaran kenapa tidak ada pedagang daging yang menjual daging sesuai standar potong. Memisahkan daging bagian dalam dan luar sirloin-tenderloin membersihkan urat-urat lemak yang menjadi biang lemak jahat, memotong daging sesuai bentuk T-bone steak ala-ala restoran western. Segumpal daging dipotong sekenanya saja dan ditimbang sesuai berat yang diinginkan pembeli. Kalo terlalu banyak potongan lemak gaji, beberapa pembeli akan protes dan minta ditukar dengan potongan daging yang lebih banyak. Padahal mungkin dengan menerapkan standar potong daging yang biasa dipakai resto-resto, macam daging yang dijual akan lebih variatif. Kelak, saya akan mencari tahu sendiri bagaimana seni memotong daging setiap hewan pangan. Salah satu yang telah saya ketahui dan tak sabar untuk dicoba adalah cara menguliti kelinci. Memberi sedikt sayatan dipunggungnya lalu menarik kulit yang tersayat seperti kita membuka buah durian. Sempat terbayang beberapa channel youtube “Almazan Kitchen” dan “taradarabros” yang kerap saya ikuti konten-kontennya.

Baca juga: Saya Sudah Bosan, Terus-Terusan Merasa Bosan!

Melamun memang membuat seseorang lupa waktu dan tempat. Saya telah sampai di ujung pasar. Beberapa langkah lagi saya akan mencapai jembatan, terbentang aliran sungai Cikapundung di bawahnya. Puas merangsang panca indera dengan aktifitas pasar, saya berbalik arah, kembali ke perempatan ancol-pungkur-moch.ramdan-UNLA dan segera menuju sudut jalan tepat di bawah lampu lalu lintas. Saya ingat, ada meja kopi yang menjual kue balok dengan tekstur tradisional “meleg”. Tekstur tradisiolan itu pasti sangat cocok jika dilumasi kopi dan sedikit hisapan Sampoerna Kretek …….~                                                                                                                                                                                                                                          bersambung…..

Penulis: Rendi Audriana Rahman
Editor: Riska Mutiara