Dominasi media online yang mencoba untuk bertahan dengan mengabarkan hal viral, mengejar sensasi, dan mengesampingkan verifikasi fakta membuat media yang mampu berperan sebagai watchdog untuk memantau kekuasaan secara kritis semakin jarang ditemui.
Jurnalis pun sering kali terjebak dalam kepentingan pasar yang mendikte alur kerja mereka. Tuntutan untuk memenuhi deadline yang tidak masuk akal, dengan jumlah produksi konten mencapai 5—30 per hari, membuat mereka tak sempat mendalami isu dengan baik, hanya sekadar buat tulisan saja. Proses verifikasi, yang sejatinya menjadi elemen vital dalam kerja jurnalistik pun kerap terabaikan. Bahkan mereka bisa saja tak memiliki waktu untuk meningkatkan kemampuan yang berkaitan dengan kerja jurnalistik.
Baca Juga: Mempertanyakan Kebebasan Pers di Hari Pers Nasional
Bukan hanya volume produksi yang membebani, jurnalis saat ini juga dituntut untuk multitasking. Mereka harus mampu menulis, mengambil foto, mengedit konten, bahkan mencari pendanaan secara mandiri. Sayangnya, dengan beban kerja yang tinggi, upah yang diterima oleh banyak jurnalis sering kali tidak sebanding. Padahal, ancaman kekerasan hingga bahaya yang mengancam nyawa kerap kali hadir.
Di tengah semua tantangan ini, jurnalis tetap harus memegang teguh etika dan nilai-nilai profesional. Bagi saya, jurnalis adalah profesi yang mulia karena mereka berperan sebagai watchdog yang memantau kekuasaan. Selain itu, jurnalis memiliki tanggung jawab untuk menjadi penghubung antara kelompok yang terpinggirkan dengan publik. Mereka harus membawa isu-isu penting, terutama isu yang jarang diperhatikan publik karena media saat ini dipenuhi oleh konten sensasional.
Sorotan dalam Kode Etik AJI
Ruh dari pers adalah verifikasi fakta yang rajin dan menyeluruh. Setiap informasi yang diterima harus diuji kebenarannya secara objektif. Memunculkan rasa skeptis sangat diperlukan, terutama jika informasi berupa rumor atau diawali dengan “katanya”. Info tersebut harus diverifikasi secara berlapis, mulai dari narasumber, dokumen, dan data. Mereka yang mampu melalui proses verifikasi ini dengan baik baru bisa layak disebut sebagai jurnalis.
Sekaitan dengan hal di atas, kerja jurnalis yang penuh tantangan ini dijaga oleh kode etik jurnalistik. Kode etik berfungsi sebagai pedoman untuk menjaga profesionalisme dan memastikan jurnalis memegang teguh nilai-nilai yang benar. Selain itu, kode etik juga berperan sebagai indikator dalam menilai kinerja seorang jurnalis.
Baca Juga: RUU Penyiaran: Merdeka untuk Siapa?
Terdapat berbagai organisasi jurnalis di bawah naungan Dewan Pers cukup banyak di Indonesia, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, dll. Tiap organisasi pasti memiliki nilai yang dipegang dan hal demikian memberikan adanya sebuah perbedaan, terutama dalam menyepakati kode etik. Kali ini saya akan membahas perihal kode etik yang disepakati oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Kongres XII 2024.
AJI memberikan 20 poin kode etik yang ditentukan berlandaskan kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi adalah Hak Asasi Manusia. Secara umum, pedoman tersebut memiliki motif agar jurnalis dapat menjadi individu yang independen dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Dalam acara Pengajian AJI Bandung #1: Kode Etik yang diadakan secara virtual pada Jumat (18/10), Tri Joko Her Riadi, Ketua AJI Bandung periode 2021-2024, menekankan beberapa poin penting dalam kode etik tersebut:
- Menghormati hak publik
- Menguji informasi, hanya melaporkan fakta
- Memberi tempat pada mereka yang tidak mampu bersuara
- Mempertahankan prinsip-prinsip independensi
- Menolak suap, konflik kepentingan, praktik menjiplak
- Memprioritaskan keamanan narasumber
Akhirnya, kualitas kerja seorang jurnalis sangat bergantung pada hati nurani mereka. Kode etik menjadi penjamin, tetapi hati nurani yang akan membimbing praktik jurnalisme bermutu. Oleh karena itu, penting untuk memilih media yang memiliki keselarasan nilai dengan kita agar tidak terjadi pergolakan batin antara keinginan menjalankan kode etik dan tuntutan media yang bertentangan.
Penulis: Labibah
Editor: Nabilla Putri Nurafifah