Rebel Ride: Gerakan XR untuk Bumi yang Lebih Baik

Bandung, 25 April 2025 — Ada yang berbeda di jalanan Bandung, Jumat pagi. Sekelompok orang bersepeda menyusuri kota, bukan sekadar olahraga atau hobi, tapi membawa pesan penting: bumi sedang tidak baik-baik saja.

Aksi bertajuk Rebel Ride ini digagas oleh Extinction Rebellion (XR) Bandung, sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Bumi. Meskipun, Hari Bumi sudah terlewat (22 April), semangatnya tentu belum padam. Justru, Rebel Ride menjadi pembuka dari tiga agenda lingkungan yang akan berjalan hingga awal Mei nanti.

“Ini bukan sekadar bersepeda. Ini bentuk ekspresi, bentuk protes damai atas krisis iklim yang semakin nyata,” ujar Farrel Reyhan Gunawan, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus koordinator kegiatan Hari Bumi XR Bandung. Ia menjelaskan bahwa XR adalah gerakan global yang lahir di Inggris dan kini sudah tersebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan jaringan di Bandung, Karawang, Garut, hingga Sukabumi.

Yang menarik, XR tidak punya struktur organisasi yang kaku. “Di XR, siapa pun bisa terlibat, tidak ada hierarki. Selama punya kesadaran terhadap isu lingkungan, kamu bisa jadi bagian dari gerakan ini,” tambah Farrel.

Tiga Rangkaian, Satu Semangat

Setelah Rebel Ride, XR Bandung masih punya dua kegiatan lanjutan, yaitu:

  • Kemah Iklim (26–27 April) yang akan diisi diskusi soal krisis iklim, penanaman pohon, pengenalan tanaman endemik, tracking, dan panglayadan atau menjenguk kembali pohon yang sudah ditanam.
  • Sapu Bumi (3 Mei), aksi bersih-bersih dan kampanye terbuka di Alun-Alun Kota Bandung.

Target peserta meningkat di setiap kegiatannya, mulai dari 20 orang untuk kegiatan Rebel Ride, 30 untuk Kemah Iklim, dan 50 orang pada aksi Sapu Bumi nanti.

“Harapannya sih peserta yang ikut hari ini bisa lanjut ke kegiatan-kegiatan selanjutnya. Supaya suaranya nggak cuma hari ini aja, tapi berlanjut dan membesar,” ujar Farrel.

XR Bandung menargetkan output dari kegiatan ini bukan hanya acara yang selesai begitu saja. Tapi keterlibatan jangka panjang: terbentuknya jaringan, simpul baru, bahkan inisiatif yang lahir dari peserta. “Kami ingin tiap orang yang ikut, bisa bawa pulang kesadaran baru dan kalau bisa, bersuara juga lewat media sosial atau komunitas masing-masing,” katanya.

Baca juga: Potret Patriarki dalam Dua Sisi: When Life Gives You Tangerines dan Kartini

Suara-suara dari Para Peserta

Di antara peserta Rebel Ride, banyak yang datang dengan keresahan yang sama. Muhammad Azka Nur Fahmi, misalnya, ia merasa gerakan ini sejalan dengan aktivitasnya di lingkungan kampus dan komunitas pecinta alam. “Saya memang sudah cukup concern soal isu lingkungan. Kegiatan seperti ini penting banget, apalagi dilakukan di ruang publik,” katanya.

Sementara itu, Mutiara Kasih, peserta lainnya, menyoroti bagaimana narasi cinta alam di kalangan anak muda masih sangat dangkal. “Banyak yang merasa mencintai alam hanya karena menikmati pemandangan. Tapi nggak tahu cara merawatnya. Kita pengen ubah mindset itu lewat aksi-aksi seperti ini, kita mulai dengan gerakan kecil, bergerak ke arah konservasi dan iklim itu sendiri, jadi bukan hanya menikmati alam, tapi juga tahu cara merawatnya.” tuturnya.

Ada juga Ari Ahmad yang mengapresiasi konsep Rebel Ride ini. “Menarik banget, dibungkus dengan bersepeda keliling kota Bandung dengan diiringi tema isu lingkungan, semoganya dengan pergerakan kita bersepeda lalu dengan menyuarakan pergerakan di depan Gedung Sate ini, semua yang menyaksikan bisa tergerak untuk bumi yang lebih baik.” katanya.

Dari Kayuhan ke Kesadaran

Dengan semangat bersepeda sambil menyuarakan keresahan, XR Bandung ingin menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil, asalkan dilakukan bersama. Tak harus menunggu jadi ahli atau memiliki sumber daya yang besar.

“Kadang kita terlalu fokus pada narasi ‘alam menjaga kita, kita jaga alam’. Tapi itu narasi yang menurut saya egois. Seolah kita berkuasa atas alam. Padahal yang perlu kita lakukan adalah berhenti merusak,” tutup Farrel.

Rebel Ride hari ini mungkin hanya satu dari banyak aksi kecil yang dilakukan di berbagai tempat. Tapi bagi XR, suara kecil yang lantang lebih baik daripada diam di tengah krisis dan siapa tahu, dari pedal yang dikayuh hari ini, akan lahir perubahan besar di masa depan.

Penulis: Masropah Humaya Saefi

Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca juga: Anak Sastra: Modal Halu, Kuliah Santai, Lulus Mau Jadi Apa?

Baca juga: Zine Lawan dan Diskusi Publik: Mengulas Kegagalan Reformasi Hari Ini