Ragam Bahasa Anak Muda: Dari Bahasa Campur Aduk hingga Populernya TBL

“Eh, bulan ini kita healing ke Bali, yuk!”
“Harus! Wajib! Biar kita gak kalah sama sirkelnya Onang.  Tuh, mereka baru aja ke Bali.”
“Iya nih, sekalian self reward, soalnya sebulan ini hectic banget kan kerjaan.”
“Hm, nanti aja gak, sih? Sekarang kan kasus Omicron lagi tinggi, bun.”
“TBL TBL TBL, Takut Banget Loh!”

Mungkin kawan-kawan sudah tidak asing lagi dengan berbagai istilah tersebut. Terutama dengan istilah healing yang saat ini sering digunakan setiap kali pergi liburan. Padahal jika kita telusuri, arti healing bukanlah liburan, melainkan penyembuhan. Walaupun, memang perasaan yang kita rasakan saat liburan bisa disamakan dengan proses penyembuhan diri (yang bersifat sementara).

Terdapat juga istilah berawalan self-, untuk menandakan sebuah aktivitas yang dilakukan untuk diri sendiri. Di antaranya, ada self-love, yaitu usaha untuk menerima kelebihan dan kekurangan diri, selfcare adalah kegiatan memanjakan diri sendiri, dan terakhir ada self reward, yang berupa apresiasi terhadap diri sendiri. Self reward biasanya diikuti dengan agenda belanja barang yang sudah menahun lamanya berada di wishlist.

Belum lagi, mengenai adanya fenomena penggantian istilah yang sebenarnya ada dalam bahasa Indonesia, tetapi diganti dengan versi bahasa Inggris. Contohnya, orang yang supel diganti dengan istilah friendly, kata suasana atau aura diganti dengan istilah vibes, bersantai-santai diganti dengan istilah chill, orang yang tidak sombong disebut humble, dan masih banyak lagi.

Fenomena bahasa lain yang masih hangat-hangat kuku, yaitu viralnya singkatan TBL (Takut Banget Loh) yang dicetuskan oleh seorang kreator konten di Tiktok yang bernama Bondol. Nada khas pengucapan TBL membuat orang-orang ikut menggunakan singkatan tersebut, sepaket dengan pengucapan dan ekspresi wajah yang khas.

Begitu besar pengaruh TBL hingga melahirkan beberapa singkatan lain yang diciptakan oleh warganet. Ada CBL, KBL, DBL, dan singkatan berakhiran BL lainnya yang disesuaikan dengan konteks pembicaraan. Misal, ada perempuan cantik yang lewat di beranda Instagram, maka kolom komentar akan penuh dengan “CBL CBL CBL, Cakep Banget Lohhh”. Lalu jika ada yang membuat kesal di Twitter, maka warganet akan menulis “KBL KBL KBL, Kesel Banget Loh!”.

Baca juga : Pameran Katakan Seni Rupa dengan Cinta: Bentuk Cinta Perupa Bandung untuk Seni Rupa

Viralnya bahasa Jakarta Selatan (Jaksel) dan penggunaan massal singkatan TBL, termasuk ke dalam fenomena bahasa. Fenomena bahasa terjadi sebagai bentuk ciri bahasa yang produktif. Memang sudah hakikatnya bahwa sebuah bahasa terus mengalami perkembangan, entah itu dari bertambahnya kosakata, penggantian kosakata karena makna yang tidak relevan, penggantian istilah, hingga munculnya bahasa gaul.

Di awal keberadaan fenomena bahasa tersebut, terutama saat bahasa Jaksel sedang berada di puncak kejayaannya, muncul tanggapan yang beragam dari masyarakat. Beberapa ikut meniru menggunakannya, tetapi ada pula yang justru menyayangkan adanya fenomena bahasa tersebut. Bukan karena fenomena bahasanya, melainkan karena “campur aduk bahasa”nya.

Dikutip dari artikel tirto.id, Ivan Lanin berpendapat bahwa fenomena campur aduk bahasa merupakan bentuk ketidakmampuan dalam menyusun kalimat, memilih kosakata, serta ketidakaturan dalam berpikir.

Namun, ada pula yang menganggap percampuran kosakata dari dua bahasa adalah hal yang wajar dan sangat lazim. Di Singapura, misalnya, ada istilah Singlish, yaitu percampuran antara bahasa Singapur dan Inggris. Hampir sama seperti keluarga campuran Spanyol yang tinggal di Amerika. Bagi mereka, menggabungkan beberapa istilah dalam bahasa Spanyol dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari bukanlah hal yang tabu.

Selama penggunaan bahasa “campur aduk” sesuai pada tempat dan konteksnya, tidak masalah untuk digunakan. Toh, cara berkomunikasi seperti itu hanya dilakukan dalam kelompok dan pada situasi tertentu saja.

Ragam bahasa yang muncul di kalangan anak muda, mulai dari varian terbaru bahasa Jaksel, TBL, dan mungkin fenomena bahasa lain yang tidak sempat saya bahas, bagi saya hanyalah sebuah cara lain dalam berekspresi melalui bahasa. Lagi pula, jika dilihat dari zaman dahulu, kemunculan ragam bahasa memang sering terjadi, bahkan di hampir setiap generasi. Terlebih lagi, ada beberapa ragam bahasa gaul di generasi sebelumnya yang masih digunakan hingga sekarang.

Selama kita bisa memosisikan diri saat berkomunikasi, paham konteks, dan memperhatikan kepada siapa kita berbicara, seharusnya kehadiran ragam bahasa seperti itu tidak mengganggu. Tentu saja, pemahaman akan cara menggunakan bahasa Indonesia yang benar harus tetap dilakukan. Sebab bagaimana pun, tidak selamanya kita berada pada situasi di mana orang dapat memahami ragam bahasa yang kita gunakan.

Namun, bukankah akan lebih keren lagi, jika kita bisa memperkenalkan beragam istilah dalam bahasa Indonesia yang sudah jarang digunakan untuk kembali dikenal di kalangan anak muda? Bagaimana?

Baca Juga : Menyoal Pentingnya Pelestarian Bahasa Ibu sebagai Pembentuk Nilai Kebaikan

Penulis : Salsabila Izzati Alia
Editor : Fazya Anindha Srizaky