Ulasan pertunjukan "Epilog Kota" karya Dik 4-C yang menggugah kesadaran sosial melalui simbolisme dan isu-isu urban yang kerap terpinggirkan.

Bisikan-bisikan Kecil dalam Epilog Kota dari Mereka yang Terpinggirkan

Gemerlap kehidupan kota dan segala iming-imingnya sering kali menjadi impian bagi mereka yang ingin mengubah nasibnya. Dalam hal ini, kota diibaratkan sebagai arena bertaruh dari berbagai kalangan untuk mencapai apa yang diharapkan. Namun, apakah semua yang bertaruh akan mendapatkan apa yang mereka inginkan? Segelintir jawabannya mungkin dapat kita temukan dalam pertunjukkan drama bertajuk “Epilog Kota” yang dipersembahkan oleh Chandrahasa Katha atau kelas Dik 4-C di Gedung Amphiteater UPI (27/05).

Pertunjukkan drama ini, mencoba menggemakan bisikan-bisikan kecil dari mereka yang terpinggirkan. Berusaha membawa dan menampilkan sisi ironi sebuah kota yang barangkali tidak asing lagi bagi kita. Mungkin karena berlandas dari penulisan naskah yang dibuat secara kolaboratif antarpemain dan panitianya, sehingga apa yang disampaikan terasa lebih dekat dengan para penontonnya. Selain itu, “Epilog Kota” seolah kembali mengingatkan kita perihal kondisi negeri ini dengan mengangkat berbagai isu sosial, seperti feminisme, perebutan lahan, jual-beli jabatan, dan lain sebagainya.

Potret Kota dalam Sebuah Pertunjukkan

Pagelaran “Epilog Kota”, Selasa (27/05/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib)

Adegan pertunjukkan dimulai dengan latar panggung yang cukup menarik karena dibiarkan kosong tanpa set apa pun. Kemudian masuklah seorang pemeran wanita menyenandungkan “rek ayo rek” dengan nada yang cukup tegas, jauh dari nuansa bahagia yang biasa menyertainya. Setelahnya, cahaya meredup dan masuklah wanita berkebaya merah yang asik berjoget di sudut kiri panggung. Sedangkan di sudut kanan ada empat ibu-ibu bergunjing tentangnya.

Ada yang bergunjing perihal kemolekan tubuh, status pernikahannya, hingga pekerjaan wanita tersebut. Adegan ini menjadi interpretasi awal tentang bagaimana perempuan dalam ruang kota seringkali menjadi objek, bahkan sebelum dikenali siapa ia sebenarnya.

Selanjutnya, panggung diisi oleh empat pemeran yang membentuk barisan. Tiga di antaranya memegang dua bilah bambu panjang bersama-sama: satu di depan, satu di tengah, dan satu di belakang. Bambu panjang itu mereka genggam erat sambil berlari kecil, memvisualkan sebuah kendaraan di imajinasi penontonnya.

Pemeran di depan berlagak sebagai sopir angkot yang sedang berusaha mencari penumpang. Di tengah, ada kenek yang sibuk berteriak menawarkan tumpangan. Sementara di belakang, seorang pengendara motor tampak kesal karena angkot di depannya kerap “ngetem” sembarangan sehingga menyebabkan kemacetan. Adegan ini seolah menggambarkan kekacauan jalanan kota yang sering kita temui, sekaligus menyiratkan bagaimana ruang publik yang semrawut dijadikan arena kompetisi demi penghidupan.

Baca juga:Pergelaran ASASIASU: Ketika Asa Menggonggong

Konflik “Epilog Kota”

Konflik mulai memuncak ketika seorang tukang asongan naik ke dalam angkot tersebut. Ia mulai menjajakan dagangannya sambil mengeluh betapa sulitnya mencari nafkah di kota. Namun, si sopir tak mengacuhkannya dan justru mengusirnya keluar. Menunjukkan betapa kerasnya kota, bahkan sesama masyarakat kecil pun saling bersaing dan menyingkirkan satu sama lain sehingga empati tergerus oleh kebutuhan bertahan hidup.

Suasana panggung berubah menjadi lebih emosional ketika para pemeran berpakaian serba hitam masuk membawa empat batang bambu panjang dan satu di antara pemeran berlagak seperti simbol kekuasaan tak kasat mata. Mereka menampilkan pelelangan kekuasaan, seperti remisi penjara, obral kursi legislatif, hingga izin pembangunan diperjualbelikan kepada penawar tertinggi. Menyampaikan kritik secara tersirat terhadap manipulasi kekuasaan selama ini, diperkuat dengan kemunculan seorang perempuan berbaju putih yang ditarik paksa oleh empat sosok gelap. Dalam adegan ini, tubuhnya menjadi representasi perempuan yang dikontrol oleh sistem dan kekuasaan, menjadi objek tarik-menarik di antara berbagai kepentingan.

Pertunjukan berlanjut dengan beberapa pemeran masuk ke panggung membawa padi di tangan kanan dan kiri. Mereka membersihkan lantai panggung dengan padi yang seharusnya menyimbolkan kehidupan, tetapi kini digunakan untuk menyapu jejak kotor dari adegan pelelangan kekuasaan. Di pojok kiri panggung, mereka berkumpul dengan cahaya yang menyorot tubuh-tubuh mereka, digemakanlah bisikan-bisikan kecil. Bisikan ini berisi penggusuran, korupsi, kekerasan terhadap perempuan, pencemaran lingkungan, dan ketimpangan akses kehidupan yang masih harus terus digaungkan.

Cerita di Balik Layar

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pertanyaan yang muncul saat menonton pertunjukkan ini. Mungkin disebabkan pemilihan aliran surealis di baliknya. Menjadikan penonton dapat menginterpretasikan seluruh cerita dan simbol-simbolnya secara bebas sehingga terkesan abstrak dan imajinatif.

Rizki, selaku asisten sutradara, menjelaskan bahwa pemilihan aliran ini memang bertujuan agar penonton dapat berpikir dan mengimajinasikan pesan yang ingin disampaikan secara bebas. Ia juga menyampaikan bahwa naskah yang digunakan bersifat kolaboratif, dibuat bersama oleh seluruh anggota kelas. Menurutnya, cara penulisan ini sangat efektif karena menjadikan pertunjukkan terasa berbeda sehingga menimbulkan rasa penasaran.

Di sisi lain, Safina sebagai pimpinan produksi, menjelaskan alasan pemilihan tema kehidupan perkotaan dan kata “epilog” yang secara etimologis berarti akhir atau penutup. Ia mengatakan, pengangkatan tema didasarkan pada pengamatan mereka terhadap siklus perkotaan. Banyaknya urbanisasi yang berlomba mencapai kesejahteraan, tetapi pada akhirnya kesejahteraan itu belum tentu tercapai. Maka dari itu, konflik-konflik kehidupan kota, seperti perbedaan pandangan dan penormalisasian perilaku buruk dirangkum dalam “Epilog Kota.”

Baik Rizki maupun Safina sepakat memaknai kota sebagai pusat peradaban, kemajuan, dan kebaikan berkembang. Namun mereka juga mengingatkan bahwa jika tidak dikendalikan, kebaikan kota bisa berubah menjadi keburukan. Sebagai penutup, Rizki menyampaikan pesan kepada para penonton agar tidak melupakan jati diri masing-masing dan tetap memperbaiki yang keliru serta menjauhi yang salah. Hal-hal inilah yang pada akhirnya mendasari kelas Dik 4-C mencoba mengangkat pertunjukkan dengan isu kehidupan perkotaan.

Baca juga: Bahasa yang Hampir Punah, Akankah Berakhir Musnah?

Cerita dari Mereka yang Menyaksikan

Dalam setiap cerita yang disajikan, secara tidak langsung menimbulkan kesan dan pesan yang relevan bagi para penontonnya. Terlebih, Epilog Kota membebaskan para penontonnya untuk menafsirkan makna dan mengimajinasikannya masing-masing.

Salah satu penonton yang merupakan orang tua dari pemeran, yang akrab disapa Mama Dea, menyatakan memang benar banyak pesan yang bisa diambil dari pengangkatan isu yang sangat relevan ini. Selain itu, pertunjukkan ini juga sangat menghiburnya. Terlebih ini adalah kali pertamanya menonton sebuah pertunjukkan drama secara langsung.

“Sangat relevan dan membawa pesan yang dalam ya, tapi ada juga bagian yang terkadang bikin Mama bingung karena tadi juga dibilang bahwa memang imajinasi kita juga dipakai untuk memaknainya. Namun, semuanya oke dan Mama sangat terhibur apalagi pas bagian bambu yang bisa-bisanya jadi angkot”, ujar Mama Dea.

Penonton lain yang berasal dari Pendidikan Bahasa Arab, bernama Tarisya juga mengungkapkan bahwa ia tidak menyangka banyak pesan yang bisa diambil dari sisi lain sebuah kota. Walaupun banyak pesan dalam pertunjukkan ini yang disampaikan secara tersirat. Ia juga menambahkan, “tema dan isu yang diangkat sangat relevan karena memang benar terkadang kita membangun kota untuk kehidupan baru, tetapi tanpa sadar kita juga menggusur kehidupan yang sudah ada sebelumnya”, ujarnya.

Isu-isu yang digemakan

Memang benar bahwa pengangkatan isu perkotaan dengan balutan kritik sosial krusial untuk dibahas. Disebabkan isu-isu ini harus terus digemakan agar semua orang tersadar atau mungkin hanya sekadar mengingatnya kembali. Membantu mereka yang terpinggirkan dalam kehidupan kota sehingga suara-suaranya tidak lagi menjadi bisikan kecil yang menggelitik.

Pagelaran “Epilog Kota”, Selasa (27/05/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib)

Dedes dari UKSK UPI menyatakan bahwa memang benar ia melihat Dik 4-C berusaha menyampaikan kritik sosial yang berangkat dari realita melalui tema surealis dan simbolisnya. Di antaranya, ada isu perempuan yang disimbolkan dengan lampu pink dan tali-tali yang mencekik tokoh wanita berbaju putih. Menurutnya, simbol-simbol tersebut ingin menginterpretasikan perihal masih banyaknya wanita yang diberi standar ganda dan dipandang sebelah mata hingga saat ini.

“Selanjutnya, ada scene para pemeran yang memakai pakaian serba hitam dan membawa padi. Mereka menyampaikan bagaimana sulitnya ruang hidup, tanah mereka dirampas entah sama siapa dan kepentingan apa. Jadi menurut saya, Dik 4-C ini berhasil menyampaikan isu yang seharusnya diketahui khalayak ramai”, tambahnya.

Pada akhirnya, Epilog Kota bukan  hanya sekadar pertunjukkan, tetapi menjadi ruang untuk mengingat dan bercermin atas bisikan-bisikan kecil yang kerap terabaikan. Melalui pendekatan surealis dan simbolismenya, mengajak kita untuk kembali melihat wajah kota yang sering kali hanya diperlihatkan dalam kemewahan, kesejahteraan, dan kebahagiaan.

Penulis: Nabilah Novel Thalib

Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca juga: 3 Rekomendasi Karya Sastra Keagamaan Versi Dosen Sastra

Baca juga: Anak Sastra: Modal Halu, Kuliah Santai, Lulus Mau Jadi Apa?