Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.
Waktu begitu cepat berlalu. Meninggalkan jejak-jejak yang telah terukir melewati kerasnya hari. Dua puluh empat jam setiap hari, tiada berkurang barang satu jam pun. Lantas mengapa waktu terasa begitu cepat bergulir? Bisa jadi, karena kita menjadi pribadi yang lebih produktif mengerjakan hal-hal yang memakan waktu. Tak heran, orang Sunda selalu berkata “waktos tèh asa nyèrèlèk ayeuna mah”. Bahkan mungkin saja kita sudah acuh terhadap tanggal di kalender yang setiap hari berganti hari, bulan, bahkan tahun.
Waktu yang cepat berlalu mengantarkan kita kepada hari di mana salah seorang sastrawan, budayawan, dosen, penulis, pendiri, redaktur beberapa penerbit di Indonesia, dan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancagé, Ajip Rosidi, pergi menghadap Sang Khalik. Sepuluh hari sebelumnya, seorang sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono, juga pergi meninggalkan dunia fana ini. Kepergian kedua sosok hebat ini mengguncang dunia sastra Indonesia. Kesedihan penyair Indonesia bukan lagi perihal putus cinta, tetapi kenyataan pahit ditinggal dua maestro dalam dunia sastra. “Esa hilang dua terbilang” adalah bentuk penguatan bagi orang-orang yang menaruh hati di dunia sastra Indonesia.
Ajip Rosidi sendiri lahir di Majalengka, 21 Januari 1938. Ia aktif menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar. Produktifnya Ajip Rosidi membuatnya dicap menjadi seorang pengarang sajak dan cerita pendek paling produktif selama hidupnya dengan membuat 326 judul karya yang dimuat dalam 22 majalah. Hanya kurang 39 karya untuk membuat jumlah karya yang dihasilkan sama dengan jumlah hari dalam satu tahun. 326 judul karya yang dihasilkan kiranya dapat menjadi gambaran umum bagaimana proses kreatif dan ketekunan Ajip Rosidi dalam membuat karya.
Ajip Rosidi menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah Rakyat pada tahun 1950. Setelah lulus Sekolah Rakyat, ia mendaftar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 8 Jakarta pada tahun 1953. Taman Siswa Jakarta menjadi pendidikan terakhirnya pada tahun 1956. Ajip Rosidi tak pernah berhenti memperkaya wawasannya dengan membaca buku dan menulis karya-karya sastra. Karya-karyanya yang terkenal, yaitu “Jeram (Tiga Kumpulan Sajak)”, “Nama dan Makna”, “Mengenal Kesusasteraan Sunda”, “Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari”, dan “Pantun Anak Ayam”.
Ajip Rosidi bukanlah sastrawan yang lahir dan berkembang di atas tempaan dunia pendidikan. Bahkan ia tak pernah lulus SMA. Ia memperkaya diri sendiri dengan membaca buku dari berbagai genre. Pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki mampu menjadikan dirinya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Padjajaran pada tahun 1967–1970.
Sekilas, mirip kisah Rocky Gerung di masa kini, yang sering memberikan kuliah dua sks di acara debat televisi. Ajip Rosidi dan Rocky Gerung adalah dua orang yang memiliki pesan sama, yaitu pendidikan tinggi bukanlah penentu kesuksesan seseorang. Meminjam kalimat Rocky Gerung, ijazah hanyalah sebuah tanda bahwa seorang manusia pernah bersekolah, bukan tanda bahwa ia pernah berpikir. Kisah Ajip Rosidi dan Rocky Gerung dapat dijadikan perenungan bagi diri sendiri.
Peran aktif Ajip Rosidi dalam bidang sastra dan kebudayaan sungguh luar biasa. Ia diangkat sebagai Guru Besar Tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka). Sejak saat itu pula, ia mengajar di Tenri Daigaku (1982–1994) dan Kyotu Sangyo Daigaku (1982–1996).
Baca juga : Ramai-Ramai Bakar Sate Saat Iduladha, Apakah Sudah Tahu Kisah Tentang Sate?
Cerita hidup Ajip Rosidi hanya tinggal kenangan, terkubur bersama jasadnya di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sebagian besar mungkin juga melekat di hati orang-orang yang menaruh perhatian atas sumbangsihnya dalam dunia sastra Indonesia maupun kebudayaan Sunda. Satu hal yang dapat terus mengingatkan kita kepada Ajip Rosidi adalah Perpustakaan Ajip Rosidi.
Perpustakaan Ajip Rosidi berlokasi di Jalan Garut No. 2, Batununggal, Kota Bandung. Perpustakaan yang dibangun hasil dari menjual lukisan miliknya seharga Rp. 3 miliar ditambah bantuan dana dari Arifin Panigoro dan Deddy Mizwar, perpustakaan ini bisa berdiri tegak pada 15 Agustus 2015. Perpustakaan yang terdiri dari tiga lantai ini menyimpan lebih dari 40 ribu buku. Sebagian besar buku di perpustakaan ini hibah dari beberapa tokoh, seperti alm. Prof. Dr. H. Ayatrohaedi, alm. Prof. Dr. H. Edi Ekadjati, dan H. Nani Wijaya—yang kemudian dipersunting oleh Ajip Rosidi—yang berasal dari suaminya, alm. Misbach J. Biran.
Perpustakaan ini dibangun atas dasar keprihatinan Ajip Rosidi terhadap orang Sunda yang jarang sekali membaca buku, sehingga dipandang rendah oleh orang lain. Maka, ia mendirikan Perpustakaan Ajip Rosidi guna menyediakan buku bacaan yang memadai untuk dibaca oleh siapapun, khususnya orang Sunda. Ajip Rosidi memiliki mimpi yang mulia untuk tetap menjadi lilin di tengah gelap gulita melalui perpustakaan yang ia dirikan. Ia berpesan kepada orang Sunda untuk meneruskan apa yang ia kerjakan (menulis).
“Hasil pekerjaan yang cuma tertimbun dalam almari, niscaya tidak dapat mendorong semangat untuk bekerja terus, bahkan tak mustahil mematikan semangat yang tadinya berkobar-kobar.” Begitulah penggalan kata-kata Ajip Rosidi dalam diktat “Bagbagan Puisi Pupujian Sunda” karya Prof. Dr. H. Yus Rusyana, tahun 1971.
Baca juga : Unfolding Time in Time It Is My Friend
Penulis : Daffa Imam Naufal
Editor : Neni Dwi Astuti