Pada Selasa (17/10), Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan UPI (UKSK UPI) bersama Hima Departemen Bahasa Perancis FPBS UPI (AEDF FPBS UPI) mengadakan kolaborasi dalam diskusi rutin Selasaan. Diskusi yang diadakan di gedung Geugeut Windah UPI tersebut membahas isu kebebasan berekspresi mahasiswa. Tajuk yang diangkat ialah “Ruang Terhadap Kebebasan Berekspresi Mahasiswa Bahasa dan Sastra: Tidak Bebas atau Terlalu Bebas.”
Pemantik diskusi, Alwidyasyah berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tidak memiliki sekat maupun batasan dalam pengaplikasiannya. Namun, meski bebas berekspresi, akan tetapi jangan sampai merugikan orang lain. Para peserta juga setuju bahwa pengekspresian diri tetap harus dibarengi dengan etika dan moralitas.
Alwidyasyah, yang merupakan aktivis kebenaran juga berpendapat bahwa apabila kebebasan berekspresi dipersempit, maka akan menghambat para individu –pada konteks ini mahasiswa– dalam mengembangkan jati dirinya.
“Kalau kebebasan berekspresi mahasiswa dipersempit, akan makin sulit buat mahasiswa untuk mengembangkan dirinya di akademik apalagi sosial, sebab kebebasan berekspresi adalah prasyarat bagi berkembangnya diri mahasiswa. Baik secara akademis maupun sosial,” tutur Alwidyasyah dengan semangat membara di tiap ucapannya.
Adanya diskusi ini juga menjadi ruang bertukar pikir guna menjaga nalar kritis para mahasiswa yang hadir. Estella, Ketua Umum Hima Departemen Bahasa Perancis periode 2023-2024 mengatakan bahwa, “Pada dasarnya, sebagai mahasiswa kita harus menjaga nalar kritis dalam berpikir dan menjaga ruang diskusi, pun sejatinya mahasiswa seperti itu.”
Baskara –Ketua Pelaksana Kegiatan dari AEDF FPBS UPI– mengatakan bahwa kebebasan berekspresi ini sangat relate dengan kehidupan mahasiswa. Hal ini menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas bersama-sama karena kebebasan berekspresi juga berhubungan dengan hak tiap individu manusia.
Baca juga: Sikapi Pelanggaran HAM, Mahasiswa Gelar Aksi September Hitam
Diskusi ini dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Salah satunya adalah Rian, mahasiswa jurusan Bahasa Perancis. Menurut Rian, topik diskusi ini amat menarik untuk diperbincangkan, “Seru, sih. Diskusinya juga oke. Tapi saya merasa waktunya kurang, soalnya masin ingin berpendapat, tapi acaranya terbatas waktu. Cuma, biar waktu aja yang terbatas, kebebasan berekspresi jangan,” jelasnya dengan nada sedikit kecewa.
Rian juga berharap setelah adanya diskusi ini, birokrat universitas dapat mendengarkan mahasiswa, “Saya berharap birokrat lebih mendengarkan kita kedepannya. Di sini kita membicarakan kebebasan berekspresi dan tentu ada keresahan di aspek tersebut, dan pastinya keresahan tersebut harus disampaikan kepada birokrat. Tapi, sayangnya masih jarang direalisasikan (aspirasi para mahasiswa),” tuturnya.
Meski bahasan diskusi sedikit melebar ke permasalahan lain, namun animo para peserta sangat tinggi dalam diskusi kolaborasi UKSK UPI dan AEDF FPBS UPI ini. Alwidyasyah di akhir diskusi juga mengingatkan kepada mahasiswa agar belajar lebih banyak lagi, baik secara teoritis, maupun secara praktik dengan melihat kondisi objektif masyarakat. Supaya kebebasan berekspresi mahasiswa dapat berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga kebebasan berekspresi tidak lagi mendapat pandangan negatif.
Penulis: Muhammad Rifan Prianto
Editor: Afifah Dwi Mufidah