100 Tahun Utuy Tatang Sontani: Diskusi Teroka bersama Zen Hae dan Zulkifli Songyanan

Rabu, (13/5) saya mendapatkan video tentang diskusi yang disiarkan langsung di youtube mengenai Sastrawan Indonesia yang jika dihitung dari hari kelahirannya akan genap seratus tahun pada bulan Mei 2020 ini. Memperingati hal tersebut, kawan-kawan dari Teroka, salah satu toko buku alternatif yang menyediakan buku tentang sosial, politik, dan humaniora mengadakan diskusi tentang Utuy Tatang Sontani. Diskusi ini dipandu oleh seorang moderator dan dua orang pembicara. Moderator diskusi kali ini adalah Esha Tegar seorang penyair asal kota Padang, sedangkan dua orang pembicaranya adalah Zen Hae dan Zulkifli Songyanan. Zen Hae adalah seorang kritikus, dia juga menulis puisi, prosa, dan esai. Sedangkan, Zulkifli Songyanan adalah seorang penulis puisi, dan esai yang pada akhir tahun 2019 kemarin pergi ke Moskow untuk menghadiri residensi penulis sekaligus meneliti jejak-jejak Utuy Tatang Sontani di Rusia.

Moderator menuturkan bahwa bahwa momen 100 tahun Utuy Tatang Sontani adalah momen yang tepat untuk memberikan tempat kepada sosok yang pernah disebut Pramudya sebagai Raksasa Dramaturgi di masanya. Prestasi Utuy Tatang Sontani di masa itu tampak pada upayanya mengeksplorasi bentuk drama Indonesia. Menurut Sapardi, Utuy adalah penjembatan antara teater tradisional, dan teater modern Indonesia. Utuy Tatang Sontani adalah seorang eksil, yaitu orang-orang yang bisa dibilang diasingkan. Hal itu terjadi ketika Utuy Tatang Sontani berangkat ke Peking (sekarang Beijing), untuk berobat karena penyakit yang dialaminya. Utuy berangkat ke Peking tanggal 27 September 1965, tiga hari sebelum peristiwa G30S terjadi. Peristiwa itu membuat Utuy tidak dapat pulang ke Indonesia yang membuatnya harus tinggal disana dari tahun 1965 s.d. tahun 1973. Pada tahun 1973 itu, Utuy keluar dari Tiongkok menuju Belanda dengan alasan untuk berobat. Namun Utuy tidak pernah sampai ke Belanda, dia memilih berhenti di Uni Soviet menghabiskan sisa hidupnya disana.

Menurut diskusi yang dilakukan bersama Zen Hae, dan Zulkifli Songyanan tersebut, untuk mengetahui Utuy Tatang Sontani di kesusastraan Indonesia perlu dibahas kondisi kesusastraan pada tahun 1950-an, yang mana Utuy Tatang Sontani merupakan bagian dari masa kesusastraan tersebut. Selain itu, di dalam diskusi ini juga akan dibahas mengenai jejak-jejak Utuy Tatang Sontani selama menghabiskan hidupnya di Uni Soviet.

Penuturan mengenai kondisi kesusastraan Indonesia pada tahun 1950-an disampaikan oleh Zen Hae. Kesusastraan periode tahun 1950-an merupakan periode kesusastraan setelah angkatan Chairil Anwar. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, periode kesusastraan ini mengalami krisis di mana tidak ada karya sastra yang mengandung vitalitas seperti sajak-sajak Chairil Anwar, yaitu sajak Aku, atau sajak Diponegoro, serta roman, atau prosa yang dengan penuh gaya cemooh seperti yang dikerjakan Oleh Idrus. Oleh karena itu, karya sastra pada periode 1950-an ini mengolah kembali kenyataan, kondisi sosial politik yang dekat dengan mereka. Hal itu yang menjadi pencapaian, atau prestasi kesusastraan periode 1950-an.

Utuy Tatang Sontani yang merupakan bagian dari generasi setelah angkatan Chairil Anwar. Menulis dalam gaya realisme dinilai cocok untuk masa itu, meski pada masa itu ada juga yang menulis karya dengan gaya surealis yaitu Riyano Pratikto sebagai siasat lain dalam menulis agar terlepas, atau keluar dari kemapanan realisme. Kecemerlangan Utuy pada masa itu adalah dia mengarang Bunga Rumah Makan, dan Awal dan Mira yang menghadirkan konfrontasi antara orang kaya dan orang miskin. Bentuk naskah drama dari Bunga Rumah Makan, dan Awal dan Mira pun berbeda dengan naskah drama biasanya di mana tidak ada petunjuk dramatik. Naskah drama ini mirip dengan prosa yang membuat naskah ini enak dibaca. Lalu, penggambaran latar yang simple seperti rumah makan, dan warung kopi membuat naskah Utuy Tatang Sontani mudah digarap di atas panggung, dan watak tokoh yang dihadirkan Utuy pun juga simple yaitu kepalsuan orang-orang kaya dan kejujuran orang-orang seperti gembel. Sehingga, karya Utuy yang kontekstual ini enak untuk dinikmati.

Zulkifli Songyanan juga menjadi pembicara, menuturkan tentang jejak-jejak Utuy Tatang Sontani selama berada di Rusia yang waktu itu masih Uni Soviet.  Penuturan di awali dengan persentuhannya terhadap karya-karya Utuy Tatang Sontani, di mana Zulkifli Songyanan tidak terlalu akrab dengan karya Utuy karena dulunya dia masih terpengaruh dengan paradigma bahwa karya penulis Lekra itu jelek. Tahun 2017 dia bergabung dengan tim penyusun Ensiklopedi Jawa Barat di mana tugas dari Zulkifli adalah menulis entri tentang penulis Jawa Barat yang telah meninggal diantaranya Utuy Tatang Sontani, Ramadhan KH, dan Achdiat Kartamihardja.

Pembacaan terhadap Utuy Tatang Sontani di awali Zulkifli dengan membaca otobiografinya yaitu Di Bawah Langit Tak Berbintang. Zulkifli juga melakukan persiapan-persiapan lainnya sebelum berangkat ke Rusia untuk meneliti Utuy seperti mengunjungi keluarga Utuy di Cianjur, mendatangi Ajip Rosidi dan seorang mantan murid Utuy selama di Rusia yang kini tinggal di Jakarta untuk mencocokkan teks-teks yang dibaca mengenai Utuy sebelumnya. Menurut Zulkifli, salah satu teks yang paling komprehensif mengenai Utuy adalah teks yang ditulis Alex Supartono, berjudul Rajawali Tak Bisa Pulang, terbitan Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta. Menurut pembicara Utuy sudah tinggal di Jakarta dari tahun 1950. Pada masa itu Utuy hanya sesekali mengunjungi keluarga di Cianjur. Keluarga Utuy di Cianjur saat ini hampir tidak mengenali siapa Utuy, yang tahu hanya sepupunya saja, dari sepupunya itu diceritakan bahwa Utuy memiliki kebiasaan melamun saat makan dan selalu dibiarkan karena hal itu dianggap bahwa Utuy sedang mendapat wahyu atau Inspirasi.

Baca juga: DISKUSI BERKELAS

Diskusi berlanjut ke sesi tanya jawab setelah pembicara selesai menyampaikan pembicaraannya. Muncul beberapa pertanyaan salah satunya mengenai hubungan karya Utuy dengan Lekra ketika dia masuk ke organisasi tersebut. pertanyaan ini dijawab oleh Zen Hae, dia menuturkan bahwa karya Utuy Tatang Sontani tidak mengalami banyak perubahan ketika masuk ke Lekra. Hal yang menarik adalah Utuy masuk ke Lekra ketika namanya sudah besar dan ini merupakan hal yang penting bagi Lekra karena dapat menarik pengarang-pengarang lain yang masih pikir-pikir untuk masuk ke Lekra. Karya-karya Utuy jika dibaca merupakan karya-karya realis yang tokoh-tokohnya memiliki sifat individualistis, tidak ada hasrat perjuangan kelas, namun di dalam karyanya tetap menceritakan tentang pertentangan kelas. Salah satu karya Utuy yang dicontohkan pembicara adalah Bunga Rumah Makan yang menceritakan tentang pemuda bernama Iskandar, seorang gembel yang jiwanya merdeka. Iskandar di sana bersitegang dengan pengunjung rumah makan yang kebanyakan adalah kaum borjuis yang baginya adalah orang-orang yang suka membual. Ani seorang pelayan di rumah makan itu, si Bunga Rumah Makan, bersimpati dan jatuh cinta kepada Iskandar. Ani memilih pergi dengan Iskandar dan meninggalkan tentara yang telah dipilihkan untuknya. Menurut penuturan Zen Hae, tokoh tentara di sana sengaja dimasukan karena pada masa itu berpacaran atau berpasangan dengan tentara dapat meningkatkan gengsi untuk perempuan dan keluarganya.

Perbedaan karya Utuy Tatang Sontani ketika telah masuk Lekra adalah adanya unsur propaganda. Platform organisasi dimasukan ke dalam karyanya yang berarti mesti ada subjek, atau musuh yang diganyang yaitu kaum borjuis atau pemuka agama sebagai kolaborator dari kaum borjuis. Dalam cerita Si Sapar yang terbit tahun 1964, ketika Sapar menarik dua orang penumpangnya yaitu seorang pelacur, dan yang menyewanya, Sapar menabrakkan becaknya ke kereta api sehingga penumpangnya meninggal. Penumpang dari Sapar itu diduga adalah salah satu dari Tujuh Setan Desa yang menjadi musuh warga desa. Karya Utuy sebelumnya pun sebenarnya sudah bersifat kiri, namun saat masuk ke Lekra, bentuk pengimplementasian dari jargon, atau ideologi organisasi mesti dimasukkan ke dalam karya, sehingga segi propagandanya terlihat. Meski demikian, Zen Hae lebih menikmati karya Utuy sebelum masuk ke Lekra karena karya sebelumnya tidak terbebani oleh ideolgi organisasi sehingga lebih rileks dan enak dibaca sebagai karya sastra.

Pertanyaan yang lain berkaitan dengan temuan Zulkilfi Songyanan terhadap isi karya Utuy yang ada di Moskow. Menurut Zulkifli karya-karya selama di Moskow kalah bagus dengan karya-karya yang sebelumnya pernah dia tulis selama di Indonesia, seperti Bunga Rumah Makan, atau Awal dan Mira. Awalnya, Utuy menulis tentang Indonesia yang hasilnya diluar harapan. Utuy Tatang Sontani dinilai tidak dapat menulis sesuatu yang tidak dapat dilihat atau dialami olehnya. Oleh karena itu, Utuy kembali menulis sesuai dengan apa yang dia lihat dan dia rasakan, sehingga karya-karya Utuy selama di Soviet banyak menceritakan tentang kesepian. Salah satu karya yang menceritakan tentang kesepiannya selama di Soviet adalah Lelaki Tua di Negeri Baru yang menceritakan seorang lelaki yang menerima surat dari istrinya bahwa dia tidak dapat ikut menyusul ke Soviet. Si lelaki membalas dengan meminta pengertian dari istrinya untuk mencari perempuan atau pasangan lain di Soviet. Cerita yang ditulis Utuy itu adalah peristiwa yang dialami oleh Utuy sendiri selama di Soviet.

Diskusi ini ditutup dengan closing statement dari para pembicara bahwa Utuy Tatang Sontani harus dianggap sebagai Sastrawan yang penting pada masanya. Buku Di Bawah Langit Tak Berbintang merupakan episode kelam dari kehidupan Utuy karena dia hidup di bawah tekanan. Meski demikian, Utuy tetap teguh terhadap pendiriannya sebagai pengarang.

Baca juga: Pada Puisi

Penulis: Toni Tazkia Perdana