Suasana mencekam terjadi di kawasan Dago pada Senin malam pukul 21.45 hingga pukul 3 dini hari. Kericuhan terjadi akibat adanya represifitas aparat kepolisian yang mencoba membubarkan warga Dago Elos yang memblokade jalan.
Pasalnya, pembubaran tersebut dilakukan dengan gas air mata yang ditembakan ke arah warga dan pemukiman sekitar Dago Elos. Selain itu, saat tengah malam, aparat bersenjata lengkap ramai-ramai memaksa masuk ke dalam rumah warga dengan mendobrak pintu dan berteriak.
Kericuhan ini berawal ketika warga Dago Elos berbondong-bondong menuju Polrestabes Bandung pada Senin siang untuk melaporkan adanya tindak penipuan sengketa lahan yang dilakukan oleh keluarga Muller.
Setelah menunggu sampai malam, warga menerima kabar bahwa laporan mereka ditolak oleh kepolisian. Penolakan ini didasari karena pihak yang melapor tidak memiliki sertifikat tanah. Warga yang kecewa kemudian memblokir akses jalan Dago sebagai bentuk protes agar tuntutan atas laporan mereka diterima.
Beberapa saat setelah melakukan blokade, warga mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak kepolisian yang meminta untuk membuka blokade. Namun, setelahnya kepolisian mulai menembakkan gas air mata ke arah warga dari utara Dago atau tepat dari belakang barisan warga.
Warga yang membela diri mereka memaksa polisi menambah personil bersenjata lengkap dan melakukan penyisiran secara acak ke rumah warga hingga dini hari. Atas kejadian tersebut, banyak rumah yang terkena muntahan gas air mata dan aktivitas pasar sekitar terminal Dago pun berhenti sementara.
Ketua Forum Dago Melawan, Angga, mengatakan bahwa polisi tidak hanya melemparkan gas air mata, namun juga memukul dan mendobrak rumah warga. “Orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri dikejar sampai depan rumah sampai masuk ke pemukiman,” Ujar Angga saat kegiatan konsolidasi (15/7).
Aparat polisi memasuki pemukiman warga dan melakukan pendobrakan secara acak, salah satunya dialami oleh warga Dago Elos bernama Handika. Handika mengatakan bahwa malam itu ia melihat polisi berada di sekitaran rumahnya, mereka memecahkan kaca mobil angkotnya dan mengetuk pintu rumah berkali-kali.
“Mobil angkot saya kacanya dipecahin. Mungkin pas dia wara-wiri di depan gang saya, di depan rumah saya itu banyak sepatu. Nah, dia pikir massa terminal Dago itu sebagian ada yang ngumpet di dalam rumah ini,” Dilansir dari Detikjabar.
Pintu rumahnya juga turut didobrak dan salah satu polisi masuk ke rumahnya dan mengecek orang-orang yang dicari oleh pihak kepolisian. Menurut penuturan Handika, polisi tersebut memasuki kamar-kamar di rumahnya lalu pulang saat tidak menemukan orang yang mereka cari.
Atas tindakan represif pihak kepolisian, perwakilan LBH Bandung, Heri Pramono mengatakan bahwa seharusnya polisi bisa menerima reaksi kekecewaan mereka atas hasil diskusi pihak kepolisian dan pendamping advokat. “Warga kecewa dengan yang dilakukan kepolisian, sebenernya polisi juga harus menerima hal tersebut. Bukan dengan brutalitas dan penangkapan,” Ujar Heri dalam Konferensi Pers PBHI Jawa Barat.
Penggunaan gas air mata untuk memaksa mundur warga Dago Elos juga dirasa kurang tepat, sebab berkontradiksi dengan Perkapolri 2 tahun 2019 tentang PHH (Penindakan Huru Hara). Di mana gas air mata hanya digunakan pada situasi merah, yaitu saat massa tak terkendali atau menggunakan senjata berat yang mengancam keselamatan dan menyebabkan luka berat.
“Seharusnya polisi ketika melakukan pengamanan, mereka seharusnya menggunakan pendekatan persuasif, di mana mereka berdialog,” Ujar Annisa.
Terkait tindakan represif, pihak polrestabes Bandung juga memberikan pernyataan dalam akun twitternya (@RESTABES_BDG). Pihak Polrestabes Bandung menyatakan bahwa alasan dari tindakan represi tersebut adalah tindakan warga anarkis yang melempari anggotanya dengan kembang api hingga batu. Selain itu, Kapolrestabes Bandung membantah bahwa gas air mata yang ditembakan berasal dari jajarannya.
Penulis: Kahfi
Editor: Redaksi