Rabu, 22 Juni 2022, pementasan teater oleh kelas C program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang berjudul Kemat Jaran Goyang digelar di Celah-Celah Langit, Ledeng, Kota Bandung. Pementasan ini dimulai pukul 19.30 WIB dan dihadiri oleh berbagai kalangan seperti mahasiswa, masyarakat sekitar, maupun tamu undangan. Pementasan yang ditujukan untuk pemenuhan tugas Pagelaran Sastra ini mengadopsi cerita dari daerah Cirebon, Jawa Barat. Naskah yang dipentaskan merupakan karya oleh Mazeinda Albiruni S.S seorang pegiat teater di Celah-Celah Langit yang juga seorang alumni dari Universitas Pendidikan Indonesia.
Pementasan teater yang disutradarai oleh Canda Syakila dan pimpinan produksi oleh Putri Aulia, dibuka dengan pembacaan puisi-puisi lalu dilanjutkan pementasan yang diawali dengan adegan ibu-ibu sedang mondar-mondir sambil bergunjing dan mengeluh khas suasana pasar di desa, pasar tempat di mana Baridin bertemu Suratminah dan jatuh hati kepadanya. Ditutup dengan ucapan terima kasih oleh para lakon teater dan dibalas dengan tepuk tangan penonton, lalu sesi foto bersama.
Kemat Jaran Goyang menceritakan seorang pemuda miskin bernama Baridin yang jatuh hati pada perempuan kaya dan berpendidikan bernama Suratminah. Sayangnya, pinangan Baridin terhadap Suratminah ditolak mentah-mentah karena perbedaan kelas sosial. Di situlah Baridin mulai putus asa dan akhirnya meminta bantuan kepada makhluk halus dengan berbagai persyaratan yang justru berakhir tragis, Baridin menjadi gila.
Selain karena ceritanya yang menarik dan mengandung unsur tradisi, naskah Kemat Jaran Goyang juga dirasa paling cocok untuk pementasan kelas C dilihat dari segi kriteria dan sumber daya manusianya. “Persiapannya sekitar 3-4 bulan ya untuk teater ini,” tutur Nenden, salah satu tokoh dari pementasan. Nenden juga mengaku merasa pengalaman ini sangat berkesan karena merupakan pengalaman pertamanya.
Gusdian Palah seorang pegiat di Teater Lakon pun turut memberikan pendapatnya “Pagelaran ini tuh sangat bagus, meskipun in actually agak berbeda alirannya sama Lakon, ini itu bagusnya tuh kalo segi alur tuh padet gitu, kan kita biasanya kalau mau ganti artistik fade out ganti artistik, kalau ini mah satu artistik bisa multifungsi yang langsung bisa memadatkan, memeperlihatkan kalau pertunjukan ini tuh bisa langsung berjalan tanpa ada sekat-sekat.” Gusdian juga berharap semoga teater tetap bisa berkembang dan hidup di Indonesia.
Dari cerita yang diangkat dalam pementasan ini, kita bisa belajar bahwa cinta dan obsesi memiliki garis yang sangat tipis. Baridin rela melakukan apa saja untuk mendapatkan Suratminah, hingga ia mengorbankan dirinya sendiri. Cinta memang seringkali membutakan logika seseorang, jangan sampai kita menjadi Baridin yang selanjutnya.
Baca juga: Pameran Katakan Seni Rupa dengan Cinta: Bentuk Cinta Perupa Bandung untuk Seni Rupa
Penulis: Yasmin Afra Shafa S
Editor: Neni Dwi A.