Hidup ini seyogyanya adalah pilihan. Pilihan untuk hidup bebas dengan mengedepankan kata hati atau terkungkung oleh keinginan beberapa pihak. Pilihan yang dipilih pun kadang tak terasa, terjadi secara tiba-tiba. Sama halnya ketika kamu mendaftar mengikuti SNMPTN, SBMPTN atau SM masuk perguruan tinggi—dalam kasus ini misalnya UPI. Kamu tidak sadar memilih untuk menjadi mahasiswa ketimbang peternak lele seperti lelucon klasik siswa yang gagal ikut SBMPTN. Nyatanya, soal pilih-memilih tidak berhenti di situ. Sebagai mahasiswa, kamu dituntut pula untuk memilih jalan yang disediakan agar kamu cepat lulus: serius belajar atau leha-leha. Sayangnya, ketika kamu sudah serius belajar pun kamu masih harus memilih: cepat lulus atau ikut alur.
Terbukti kan kalau hidup ini pilihan?
Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk cepat lulus adalah dengan memperbanyak pemerolehan SKS di setiap semesternya. Memperbanyak perolehan SKS dapat dilakukan dengan cara mengontrak mata kuliah di semester atas atau mengikuti kegiatan yang tergabung dalam program “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” yang diinisiasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satu program yang cukup populer dan UPI banget adalah Kampus Mengajar.
Kampus Mengajar merupakan kegiatan dari Kemendikbud dalam rangka mewujudkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Sesuai namanya, merdeka belajar artinya mahasiswa diberi keleluasaan untuk bisa belajar melalui kegiatan apapun dan di mana pun sehingga mahasiswa bisa menjadi manusia seutuhnya: berhak menentukan jalannya sendiri sesuai dengan passion.
Kampus Mengajar adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki mutu pendidikan di tanah air, khususnya selama pandemi covid-19. Ya semacam kegiatan KKN di semester genap lalu: menjadi mitra guru di SD dan SMP selama satu semester. Bagi mahasiswa yang punya passion di dunia pendidikan, kegiatan ini tentunya mengundang hasrat yang begitu tinggi. Apalagi jika melihat benefit yang didapatkan dari kegiatan ini, antara lain pengakuan sampai dua puluh SKS, potongan UKT sampai Rp. 2.400.000,-, dan uang saku senilai Rp. 1.200.000,- selama tiga bulan atau tepatnya sepuluh minggu. Benefit ini tertera dalam laman kampusmerdeka.kemdikbud.go.id. Jika ternyata kenyataannya tak sesuai yang tertera di laman tersebut, harap maklum. Ini Indonesia. Segalanya bisa terjadi~
Baca juga : Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan
Bagi saya—dan mungkin mahasiswa lain—ketiga benefit di atas tentu ibarat oase di tengah perkuliahan yang cukup crowded, terlebih bagi mahasiswa akhir. Bagaimana tidak, dengan mengikuti kegiatan Kampus Mengajar—dan dibayar—kamu bisa auto lulus mata kuliah yang nilainya dapat dikonversi dari kegiatan itu. Tetapi lagi-lagi, harap maklum jikalau harapan tak sesuai dengan kenyataan. Melalui wawancara yang tak resmi dan santai, saya menanyakan perihal konversi SKS kegiatan Kampus Mengajar kepada mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Terkait konversi, saudara sekandung ini nyatanya punya perbedaan. Di program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, hanya KKN dan PPL yang dapat dikonversi dengan SKS Kampus Mengajar. Sementara di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, KKN, PPL, dan beberapa mata kuliah dapat dikonversi SKS-nya dengan SKS dari Kampus Mengajar.
Sabar ya, dik.
Tetapi bukan perbedaan itu yang disorot dalam tulisan ini, melainkan privilege yang didapat oleh mahasiswa yang mengikuti Kampus Mengajar. Selain materi, tentu benefit yang bikin iri—tapi semoga tidak menimbulkan rasa dengki—adalah bisa memilih untuk tidak mengikuti mata kuliah yang saat ini dijalani. Tidak mengikuti mata kuliah tersebut tentu didasarkan kepemilikan SKS hasil Kampus Mengajar yang selanjutnya dapat dikonversikan ke dalam beberapa mata kuliah yang dirasa setara—atau bahkan bebas.
Kondisi ini tentu menimbulkan rasa iri di antara mahasiswa lain. Di saat mahasiswa lain kelimpungan dengan tugas individu, tugas kelompok, UTS, dan UAS, mahasiswa yang mengikuti Kampus Mengajar tak perlu repot memikirkan tentang mata kuliah yang dikonversi.
Gak ikut kuliah tapi nilai aman, enak banget~
Tetapi saya percaya bahwa kondisi iri yang tercipta ini tak akan menimbulkan rasa dengki di antara mahasiswa. Rangkaian acara ospek jurusan, MPA, PAB, dan segudang kegiatan bersama lainnya, tidak mungkin membuat hubungan selek gara-gara konversi mata kuliah.
Sebagai mahasiswa yang tak terlalu ambisius, saya pun sekali waktu pernah merasa iri dengan beberapa teman yang tidak mengikuti beberapa mata kuliah karena alasan konversi.
Enak banget, ya, gak perlu repot-repot mikirin tugas…
Begitulah beberapa kali isi hati saya. Tetapi ya, dibawa bercanda saja. Lagipula—seperti yang saya kemukakan di awal—hidup itu sejatinya adalah pilihan, bukan?
Di balik rasa iri yang pernah tumbuh di hati, ada sesuatu yang dapat saya banggakan juga terhadap teman-teman yang melakukan konversi ke dalam beberapa matkul: pengetahuan. Yap, secara logika, mahasiswa yang mengikuti perkuliahan mata kuliah A tentu akan mendapatkan pengetahuan komprehensif daripada mahasiswa yang tidak mengkuti perkuliahan mata kuliah A. Pengetahuan ini menurut saya mahal, karena diberikan langsung oleh ahlinya (baca: dosen) sehingga layak untuk dibanggakan. Beda halnya dengan mahasiswa yang walaupun sudah melakukan konversi tetapi tetap mengikuti mata kuliah yang sudah dikonversi dengan alasan ingin menambah pengetahuan. Kamu memang terbaik!
Walaupun tak bisa dihindari, kondisi di atas jarang terjadi karena rata-rata mahasiswa yang melakukan konversi ke beberapa mata kuliah tersebut sibuk dengan aktivitas di luar perkuliahan atau boleh jadi diam-diam sedang menyusun skripsi. Ini pun sama baiknya. Seperti yang saya kemukakan (lagi), bahwa hidup sejatinya adalah pilihan.
Akhirnya, di masa kini, kondisi perkuliahan di kelas semakin sepi, apalagi menginjak semester akhir. Seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya. Kini, ada beberapa alasan perkuliahan menjadi tidak seperti biasanya: cuti, pandemi, dan konversi.
Baca juga : Semoga, tidak lagi sekadar harapan, ya!
Penulis: Daffa Imam Naufal
Editor: Algina Shofiyatul Husna