(Adaptasi dari Puisi “Bulan Purnama untuk Malam Ini” Karya Choi, Jun)
Oleh: Yusra Arafah Araida
Suara klakson bersahutan sana-sini, pengemudi motor dengan nyali besar selap-selip di antara truk besar. Asap dari mobil-mobil besar cukup membuat napas sesak. Jakarta sore hari ramai oleh orang pulang kerja. Hari itu aku dan bapak ojek online sama-sama berjuang di tengah kemacetan. Bapak ojek online yang berjuang membawa penumpang melewati macetnya kota Jakarta dan aku berjuang menahan lapar yang sudah mulai bergejolak di perutku sejak pulang tadi.
Aku berulang kali melongokkan kepala untuk memastikan lampu lalu lintas yang tak kunjung hijau. Kata ibu-ibu yang suka bergosip di warungku, “Lampu merah tuh, ya, memang suka gitu. Udah lampu merahnya lama. Eh! Pas lampu hijau, cepet banget.” Setidaknya ibu-ibu itu benar.
Kemacetan ini yang akhirnya mengundang pengguna kendaraan pribadi memilih untuk lewat di jalur khusus Transjakarta. Walaupun sudah ada ketentuan hukum yang diberlakukan, masih saja ada orang yang melanggar. Entah siapa yang salah, warga yang melanggar aturan atau kebijakan yang tak bisa mengontrol. Jakarta pagi sampai sore selalu ramai. Apalagi di jam-jam orang pulang kerja dan sekolah. Kalau kata orang Betawi, Jakarte kagak ade matinye.
“Neng, mau lewat jalan tikus gak? Kalau lewat jalan besar, jam segini pasti macet seperti ini, Neng,” kata bapak ojek online.
“Iya, Pak. Boleh,” jawabku.
Motor ojek online-ku pun langsung berputar arah dan masuk ke gang kecil. Bapak ini sepertinya tinggal di sekitar sini. Dari cara bapak ini memilih jalan terlihat sangat mengetahui jalannya, seperti tak perlu melihat. Bapak ini tahu harus ke mana. Aku yang diam duduk dibonceng oleh bapak ini, sedikit merasa lega karena tidak harus melewati kemacetan yang padat merayap itu.
“Bapak orang sini ya, Pak?” tanyaku sedikit mengencangkan suara agar terdengar oleh bapak ojek online tersebut.
“Kenapa, Neng?” tanya si bapak yang ternyata masih belum mendengar. Suara angin yang kencang membuat suaraku teredam. Aku harus berusaha dua kali lipat agar terdengar oleh si bapak.
“Bapak orang sini?” tanyaku lagi. Kali ini aku lebih mengeraskan suara, berharap si bapak bisa mendengar suaraku.
Butuh beberapa waktu untuk bapak itu mencerna pertanyaanku. “Oh … iya, Neng. Bapak tinggal dekat sini. Biasanya order-an Bapak juga hanya sekitar sini, jadi Bapak sudah hafal jalannya,” jawab si bapak.
Baca juga: Pesan WA dari Seorang Teman untuk Bimbim – LITERAT
Perjalanan ini lumayan memakan waktu cukup lama. Memang jarak antara kampus dan rumahku cukup jauh. Walaupun pada akhirnya kami harus lewat jalan besar, setidaknya sudah tiga perempat perjalanan menuju rumahku. Hari sudah hampir memasuki waktu magrib. Langit pun sudah mulai terlihat gelap, matahari sudah terbenam sejak setengah jam yang lalu, dan aku baru saja sampai di rumah pukul 17.30.
“Terima kasih, Pak,” kataku. Bapak itu langsung pergi melesat dengan cepat. Aku hampir kaget karena motor ojek online yang aku naiki sudah hilang begitu saja, tetapi aku masih sempat melihat motor itu belok di ujung gang. Rumahku memang tak jauh dari mulut gang. Kamarku berada di lantai dua, dari sana, gang rumahku bisa terlihat jelas. Bahkan aku bisa melihat jalan raya dari jendela kamarku.
Aku masuk ke dalam rumah. Rumahku bertingkat bukan karena rumah orang kaya, tetapi karena lahan tanah kami yang tidak terlalu besar. Lantai pertama rumahku adalah toko tempat orang tuaku berjualan barang-barang grosiran, barang-barang kebutuhan pokok, dan beberapa alat-alat sekolah.
Aku segera membaringkan tubuhku di atas sofa ruang tamuku. Badanku pegal-pegal. Aku berangkat kuliah sejak pukul enam pagi. Hari itu aku ada kelas pagi. Jadi, aku harus berangkat lebih awal. Hari yang melelahkan itu membuatku ingin segera tidur. Namun, sialnya, di situasi melelahkan ini justru membuatku tak bisa tidur. Sebenarnya lelah atau tak lelah, aku tetap sulit tidur. Lagi pula jam tidur masih lama, sekarang masih magrib. Aku harus menunaikan salat Isya dulu sebelum tidur.
Hidupku memang membosankan. Hanya itu-itu saja yang kulakukan. Kuliah, pulang, dan mengerjakan tugas. Terus seperti itu sepanjang masa kuliahku selama ini. Aku pun terkadang bosan hanya mengulang-ulang aktivitas yang sama setiap harinya. Tak banyak peristiwa menarik yang terjadi dalam keseharianku. Namun, malam itu, malam di saat insomniaku tak dapat aku taklukkan, aku melihat seorang bocah berjalan masuk gang rumahku.
Kuperhatikan, tubuh bocah itu terlihat sangat kurus. Aku sering melihat bocah-bocah bertubuh seperti itu di kolong jembatan Kota Jakarta. Terkadang mereka mengamen dari mobil ke mobil demi uang gopean. Aku yang terbiasa melihat pemandangan ini, merasa aneh. Bocah itu tampak menarik untuk diperhatikan.
Aku dapat melihat dengan jelas bocah itu berdiri di sana. Tubuhnya kurus, sama seperti yang biasa aku lihat. Bahkan dari kamarku, aku bisa lihat tulang belikat bocah itu. Baju dan celananya yang kebesaran, membuat bocah itu terlihat semakin kurus. Dia menyeret plastik sampah di punggungnya. Dia berdiri di mulut gang yang hanya diterangi lampu 3 watt kecil berwarna kuning, seperti lampu pijar.
Pilu melihat kondisi bocah itu. Mungkin usianya di atas enam atau tujuh tahun. Tubuhnya yang jangkung menyelamatkan usianya. Kalau saja tubuh anak itu pendek, mungkin aku akan mengira ia umur 6 tahun. Namun, tetap saja bocah itu memprihatinkan. Aku mengecap rasa pahit dari yang kulihat. Betapa dia berusaha bertahan hidup semampunya.
Malam itu purnama. Indahnya bulan yang berbentuk bulat sempurna saat purnama. Aku bisa lihat bocah itu menatap langit, menatap bulan purnama. Bocah itu terus memegangi perutnya. Sesekali dia mengelap matanya dengan bajunya yang terlihat kusam. Bahkan dari kejauhan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya yang basah karena air mata.
Suara bajaj yang baru saja pulang setelah berkeliling kota, terdengar begitu nyaring dari kamarku. Anak itu masih berdiri di sana, menatap bulan. Lama ia menatap bulan. Dua orang dengan tas besar lewat tak ia hiraukan. Ia masih menatap bulan. Aku bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan oleh anak itu. Kemudian, aku ikut memandang bulan.
Terlintas di benakku, mungkin yang dipikirkan oleh anak itu: makanan. Cukup sebungkus roti saja, setidaknya untuk menenangkan perutnya yang meronta-ronta minta makan. Matanya penuh harap yang dalam. Hanya harapan yang menjadi makanan sehari-harinya. Seperti tersayat hatiku bersama bocah yang berdiri di mulut gang itu. Aku ikut membayangkan bulan sebagai roti yang bisa kutelan bulat-bulat. Mampukah bocah itu bertahan sampai esok hari? Entahlah, siapa yang tahu. Mana tahu harapannya yang disampaikan pada bulanlah yang membuatnya mampu bertahan sampai esok, lusa, dan seterusnya. Harapan yang sepertinya disampaikan bulan kepadaku.
Aku turun menuju toko di lantai satu. Aku turun dengan buru-buru sehingga menimbulkan kebisingan. Ibu melihatku mencari-cari makanan di toko. ”Nyari apa, Sa?” tanya ibu yang berdiri di depan pintu.
“Roti, Bu,” jawabku masih sibuk mencari-cari roti.
“Buat apa? Kamu lapar?” tanya ibu lagi yang tak mengerti tujuanku.
Akhirnya aku menemukan roti yang belum dikeluarkan dari kardusnya. Aku membuka kardusnya, kemudian meletakkannya di dalam plastik besar yang cukup untuk membawa banyak roti dan minuman. Aku tersenyum sambil menatap ibu yang masih berdiri di sana, menatapku bingung.
“Berbagi harapan, Bu,” jawabku sambil berjalan keluar.
-Selesai-
Baca juga: Sajak Serak
Penulis: Yusra Afrah Araida