Rekomendasi Karya astra keagamaan

3 Rekomendasi Karya Sastra Keagamaan Versi Dosen Sastra

Apa itu Sastra Keagamaan?

Menurut Goenawan Muhammad dalam artikelnya yang berjudul “Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”, Sastra Keagamaan ialah genre sastra yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap situasi sosial dengan perspektif religius. Sastra keagamaan tidak sekadar menyampaikan ajaran agama, tetapi juga membantu pembaca dalam memahami dan menyelesaikan persoalan hidupnya melalui refleksi spiritual.

Memen Durachman, Selaku dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, melihat sastra keagamaan sebagai bentuk sastra yang membahas hakikat spiritualitas hingga ke ranah sufisme. Dalam perspektif sufistik, agama tidak hanya menyajikan ibadah mahdah, tetapi menggali esensi terdalam dari iman, seperti rasa syukur serta prinsip amar ma’ruf nahi munkar—mendorong kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Dua pandangan tersebut menunjukkan bahwa sastra keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai media dakwah, tetapi juga sebagai alat refleksi yang memperdalam makna kehidupan dan membentuk kesadaran spiritual yang lebih luas.

Rekomendasi Karya Sastra Keagamaan

1. Novel “Perjalanan Pembuktian Cinta” karya Nusaibah Azzahra

Kisah ini bermula dari perjalanan hidup Fathia, seorang wanita yang harus menghadapi takdir yang tak pernah ia bayangkan. Sebagai seorang yang mendalami ajaran agama, ia selalu percaya bahwa cinta sejati adalah anugerah yang datang dengan ketulusan dan keikhlasan. Namun, kehidupannya berubah ketika ia dipaksa menikah dengan Satya, seorang pria yang sudah beristri. Di balik keputusan yang bukan pilihannya, Fathia berusaha menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran. Namun, di dalam hatinya, tersimpan harapan dan perasaan yang sulit diabaikan. Raehan, pria yang pernah hadir dalam hidupnya dengan segala kehangatan dan kebersahajaan. Perasaan itu membawanya dalam pergulatan batin antara menerima takdir atau memperjuangkan cintanya.

Yostiani Noor Asmi Harini, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan perspektif yang menarik tentang “Perjalanan Pembuktian Cinta”, baik sebagai novel, film, maupun kisah hidup nyata yang menginspirasi. Ia menyoroti bagaimana cerita ini membuka ruang refleksi tentang definisi agama, terutama karena tokoh utamanya adalah seorang hafidzoh. Dengan latar pesantren, novel ini mengungkap fenomena sosial di mana agama kerap dijadikan alat untuk kepentingan individu. Konsep pernikahan sebagai ibadah dan kerja sama menuju surga sering kali berbenturan dengan kenyataan. Sering kali ada saja pihak yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, novel “Perjalanan Pembuktian Cinta” tidak hanya menyajikan kisah emosional, tetapi juga menggambarkan bagaimana agama dan cinta terkadang terselimuti oleh kepentingan manusiawi.

Dengan ketiga bentuknya, yaitu novel, film, dan wawancara dokumenter, cerita ini memberikan kesempatan bagi pembaca dan penonton untuk merenungi nilai-nilai yang lebih dalam tentang cinta, keimanan, serta dilema moral yang menyertainya. Pandangan Yosti, kisah ini bukan hanya sekadar drama, namun sebuah refleksi tentang bagaimana agama dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan.

Baca juga: Anak Sastra: Modal Halu, Kuliah Santai, Lulus Mau Jadi Apa? – Literat

2. Puisi “Laut” karya Abdul Hadi W.M.

Puisi “Laut” karya Abdul Hadi W.M., memiliki makna yang mendalam dan bernuansa sufistik. Laut dalam puisi ini menjadi simbol perjalanan spiritual, ketidakterbatasan, dan pencarian makna hidup. Abdul Hadi W.M., yang dikenal sebagai penyair beraliran sufistik, menggunakan laut sebagai metafora untuk menggambarkan perubahan, ketidakabadian, dan hubungan manusia dengan alam serta Tuhan.

“Puisi Laut karya Abdul Hadi itu menggunakan Laut sebagai metafora tuhan,”
Ujar Memen Durachman, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia.

Selain itu, puisi ini juga menggambarkan dialog antara manusia dan alam, di mana laut menjadi pendengar setia yang tidak pernah bertanya, tetapi selalu hadir dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Interaksi antara penyair dan laut dalam puisi ini menciptakan suasana reflektif. Seolah-olah laut adalah cerminan dari hati manusia yang luas dan dalam.

3. Cerpen “Geus Surup Bulan Purnama” karya Yous Hamdan

Cerpen “Geus Surup Bulan Purnama” karya Yous Hamdan adalah cerpen berbahasa Sunda yang menggambarkan suasana duka setelah wafatnya Rasulullah. Banyak orang yang sulit menerima kenyataan tersebut, seolah-olah tidak percaya bahwa Rasulullah telah meninggal.

Kesedihan itu diwakili oleh Bilal, muazin yang selama ini selalu mengumandangkan azan bagi Rasulullah. Ketika Rasulullah wafat, Bilal dengan penuh kepedihan mengatakan, “Saya tidak mau adzan lagi, adzan saya hanya untuk Rasulullah.” Kalimat ini menunjukkan betapa besarnya cinta dan kesetiaan Bilal, serta bagaimana wafatnya Rasulullah meninggalkan kehampaan bagi para sahabat dan umat Islam.

Sebagai cerpen Sunda, “Geus Surup Bulan Purnama” menggunakan bahasa dan nuansa yang khas. Cerita ini menghadirkan refleksi spiritual yang mendalam serta mengajak pembaca untuk merasakan kehilangan yang begitu besar. Dengan bahasa yang indah dan penuh makna, Yous Hamdan membawa pembaca ke dalam perenungan tentang kesetiaan, kepemimpinan, dan makna keberadaan dalam kehidupan umat Islam.



Penulis: Fatiyyah Azzahrah
Editor: Suci Maharani