Berkenalan dengan Burung Merak yang Berkicau untuk Keadilan, W.S. Rendra 

Sejak puluhan tahun lalu, nama W.S. Rendra telah melambung tinggi, dikenal luas,  terutama di dunia sastra Indonesia. Dirinya sukses melahirkan berbagai karya sastra fenomenal yang menggugah kesadaran sosial dan politik. Puisi, naskah drama, hingga esai sastranya banyak yang sudah dipublikasikan di media massa, seperti majalah Siasat, Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi. Hal itu menjadikan pria kelahiran 7 November 1935 ini sebagai salah satu pilar penting dalam dunia sastra Indonesia.

Minat juga bakat Rendra mulai tampak sejak masa remaja. Karya pertamanya yang dipentaskan adalah drama berjudul “Kaki Palsu” saat SMP. Lalu ketika SMA, ia melanjutkan kreativitasnya dengan menulis drama “Orang-orang di Tikungan Jalan”. Berkat karyanya itu, ia mendapatkan penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 1954. 

Tak mengherankan apabila kini ia menjadi sastrawan besar sebab dirinya tinggal dan berkembang dalam lingkungan yang sarat akan seni serta budaya. Ayahnya, R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, merupakan pengajar bahasa dan dramawan tradisional. Adapun ibunya, Raden Ayu Catharina Ismadillah, merupakan seorang penari keraton Surakarta. Lingkungan yang mendukung ini memberikan akses langsung untuk mengembangkan kreativitas dan kecintaannya terhadap seni.

Asal muasal julukan “Si Burung Merak”

Menurut sahabat dekatnya, Edi Haryono, Rendra mendapatkan julukan “Burung Merak” tatkala Rendra menjamu rekan dari Australia-nya di kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Saat berjalan-jalan di kebun binatang, mendadak mereka berhenti lama di kandang burung merak, kemudian temannya berseru, “itu Rendra!” saat melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya. Sejak peristiwa tersebut, julukan “Si Burung Merak” terus melekat, menggambarkan penampilannya yang memesona dan penuh perhatian bak seekor burung merak. Nama Rendra juga muncul di sejumlah koran dengan nama “Burung Merak”.

Baca juga: Lima Rekomendasi Puisi-Puisi Fenomenal W.S. Rendra yang Patut Dibaca
Karya Rendra dan Rezim Orde Baru

Sepanjang hidupnya, W.S. Rendra banyak melahirkan karya yang dengan tegas mengkritik rezim orde baru. Mahakaryanya berfungsi laksana senjata yang mewakili suara-suara nurani rakyat Indonesia, perjuangan, keresahan, juga harapan masyarakat yang tertindas. Seni baginya lebih dari sekadar hiburan semata, melainkan sebuah sarana perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Namun, masa itu karya-karyanya kerap dianggap mengganggu ketertiban oleh pemerintah Indonesia. Oleh karenanya, berbagai macam teror membahayakan pun dialami Rendra. Bahkan, kritik tajam dalam puisinya mengantarkan Rendra ke balik jeruji.

Pemerintah orde baru menerapkan sensor yang sangat ketat terhadap produk kesenian, khususnya sastra, yang dianggap bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah. Penangkapan, teror, juga ancaman, menjadi hal yang lumrah terjadi pada seniman dan sastrawan kala itu. Mereka yang berani menyuarakan pendapatnya lewat karya seni yang dianggap membahayakan stabilitas politik pemerintah, seringkali dihadapkan pada tekanan besar, baik dari segi fisik maupun psikologis.

Pada tahun 1978, W.S. Rendra mengalami peristiwa yang menunjukkan kerasnya ancaman pemerintahan orde baru kala itu. Ketika ia membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dirinya ditahan oleh Laksusda Jaya. Alasannya karena Rendra dianggap menggiring publik untuk melawan pemerintah. Selain itu, acara pembacaan puisi tersebut juga mendapatkan serangan berupa bom amonia yang menyebabkan tiga penonton pingsan. 

Baca juga: Peran Etnis Tionghoa terhadap Kesusastraan Indonesia: Fakta Tersembunyi yang Tidak Disadari

Pementasan teater Rendra melalui Bengkel Teater miliknya juga seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan izin dari pihak keamanan. Mereka beralasan bahwa acara pertunjukannya memiliki durasi yang sangat panjang hingga lebih dari empat jam. Selain itu, waktu pelaksanaannya sering diadakan hingga tengah malam. Ada juga pementasan teater yang dibatalkan berjudul “Mastodon dan Burung Kondor” yang didalamnya menceritakan tentang konflik segitiga antara militer, mahasiswa, dan seniman. Pementasan yang kontroversial ini dibatalkan karena dianggap terlalu berbahaya bagi stabilitas politik dan sosial pemerintah.

Pementasan berjudul “Oedipus Berpulang” yang diangkat dari karya Sophocles juga mengalami nasib yang serupa dengan karya Rendra yang lainnya. Drama ini, meskipun diadaptasi dari karya sastra besar, tidak mendapatkan izin dari kepolisian untuk dipentaskan. Adapun alasannya adalah naskah pementasannya dianggap tidak sesuai dengan terjemahan asli karya Sophocles. Selain itu, ada sejumlah pertimbangan lain yang dianggap tidak sejalan dengan norma-norma yang diinginkan oleh pemerintah saat itu.

Kini, meskipun W.S. Rendra telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi-puisi dan karya-karya sastranya akan terus abadi dan menginspirasi. Rendra mungkin telah tiada, tetapi suaranya akan tetap menggema. Kehadirannya terus hidup dalam pikiran dan hati setiap generasi yang mengagumi perjuangannya. Setiap karya yang diciptakan adalah warisan yang tak ternilai, yang tetap mengalir dan berbicara, memberi dorongan kepada mereka yang masih berjuang untuk kebebasan, kebenaran, dan keadilan.

Penulis: Helma

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Puisi “Manusia Berjenggot”