Pulang: Tentang Kalangan yang Merangkak

Penyair Sejarah

Yu Kenanga sering mengutip bahwa pemilik sejarah adalah penggenggam kekuasaan.

Pulang (hal. 290)

Tentu kita semua tahu kalau sejarah ditulis oleh para pemenang. Para pemenang itu seolah menjadi seorang penyair yang andal yang dapat memelintir suatu peristiwa. Entah siapa yang benar siapa yang salah. Siapa pelaku dan siapa korban. Hanya abu-abu yang berkelebat di buku tebal sejarah. Di Indonesia terkait tahun 65, banyak sekali penyair sejarah yang mencoba mengulik atau menjadi bagian pada malam hari itu. Bagi Gramsci, sejarah terbentuk karena adanya suatu konflik dan kompromi yang akan memunculkan kaum fundamental yang mendominasi dan direktif, tidak hanya dalam batas ekonomik, namun mencapai batas moral pun intelektual.

Sedangkan, dalam upaya kelompok pemenang dari tragedi 65, pemerintah Orde baru juga berusaha menjadi kumpulan ‘penyair sejarah’ yang membuat cerita malam kelam itu dalam versinya sendiri. Di mana versi yang mereka perlihatkan menjadi sebuah film pada tahun 84. 

Film yang di mana menurut saya terlalu berlebih-lebihan dalam malam hari itu ketika ketujuh perwira dibunuh. Dalam film itu digambarkan secara detail bagaimana ketujuh perwira disiksa, dipotong kelaminnya, dan sebagainya. Gambaran penyiksaan perwira ini tidak hanya ada dalam film saja, di dekat rumah saya terdapat museum Lubang Buaya di mana di dalam museum tersebut memiliki patung diorama tentang penyiksaan perwira AD yang diculik. 

Menurut saya, sejarah yang dibentuk oleh Orba semakin kuat karena adanya museum yang ada di Lubang Buaya ini serta patung dioramanya yang seakan memvalidasi tentang apa yang terjadi pada malam naas tersebut. Patung-patung kecil itu seperti tengah memainkan sebuah lakon di balik kaca. Ada yang tertembak di sebuah ruang tamu. Ada yang disiksa di atas kursi. Berbagai kekejian itu dibentuk menjadi sebuah diorama panjang yang menjadi sejarah resmi negara ini selama 28 tahun (Pulang: 287). Memang apabila kita bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan pasti akan tercapai, begitu pula pemerintah Orba yang menjadi ‘penyair sejarah’ yang sukses dalam membentuk sebuah pandangan bagi masyarakat Indonesia dan membentuk sebuah hegemoni dalam pandangan paham komunisme. 

Sang Flâneur

“Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana? Seorang flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan tak ingin berlabuh?”

Dimas Suryo adalah salah satu tokoh utama dari Pulang. Ia merupakan seorang pengelana, entah dari masalah asmara sampai ke ranah perpolitikan. Di tahun 60an, perpolitikan Indonesia sedang bergejolaknya, pada saat itu dua ideologi besar antara paham kiri dan paham kanan saling bersenggolan, dan masyarakat kebanyakan menancapkan tempat di mana ia harus memihak. Namun, lain halnya pada Dimas Suryo. Ia lebih memilih menjadi seorang pengelana bebas tanpa memihak kepada siapapun. Tidak terikat pada kiri atau kanan, PKI atau Masjumi, Aidit atau Natsir, Hananto atau Amir. Dimas memilih untuk tidak berpihak kepada dua kutub berlawanan tersebut, melainkan dia lebih memilih untuk jiwanya bebas dan berkawan kepada kiri dan kanan, atau bisa dibilang Dimas berada di tengah-tengah pergolakan paham dan semacamnya.

Dalam pengertian pengelana, Dimas Suryo biasa menyebut dirinya sebagai seorang Flâneur. Sebuah padanan kata dari bahasa Prancis yang sebenarnya sudah dipakai sejak abad ke-16. Nyatanya, flâneur adalah semacam bentuk revolusioner: dalam suatu peradaban yang tiba-tiba ditandai oleh ideologi kemajuan, flâneur tidak ingin berpartisipasi, tetapi ingin mengamati. Bagi Charles Baudelaire, keramaian dalam perjalanan merupakan rumah bagi flâneur. Seorang flâneur akan terus mencari, dan membangun rumah di dalam aliran dan gerakan perpindahan. Seorang flâneur merasa telah meninggalkan rumah, namun mereka berhasil membangun rumah dalam perjalanannya.

Namun, malapetaka bagi Dimas datang dari ketidakberpihakannya. Ia didepak oleh pemerintah Indonesia saat sedang mengunjungi konferensi pers di luar negeri, dan pada saat itulah gerakan 30 September meletus. Dia tidak bisa kembali ke tanah airnya lagi bersama dengan beberapa kawannya karena dianggap partisipan kaum kiri. Sementara, kawan-kawannya di tanah air diburu habis-habisan oleh pemerintah yang mulai dikuasai oleh orde baru.

Pada saat itu, masyarakat yang berpihak kepada kiri atau paham komunis akan dieksekusi oleh pemerintah, pun masyarakat Indonesia. Momentum tersebut seakan membuka keran untuk pembantaian ribuan manusia yang di kepalanya tercap sebagai haluan kiri. Bukan hanya orang yang terlibat dalam politik kiri, tetapi sanak famili serta kerabat yang dekat dengan orang yang berhaluan kiri juga akan dieksekusi. Tercatat kurang lebih 500 ribu masyarakat, khususnya di pulau Jawa dan Bali dibasmi tanpa diadili. Sebuah kejahatan HAM yang besar yang tak terlihat dalam mata umum pada saat ini. Sampai-sampai digambarkan pada saat pembasmian masyarakat haluan kiri beserta partisipannya – pun kerabat – sungai Bengawan solo digambarkan airnya berubah hingga menjadi aliran darah dan berubah menjadi warna merah. Sungai Brantas di Jawa Timur dan Bengawan Solo di Jawa Tengah langsung berubah warna menjadi merah darah karena banyak mayat yang diceburkan ke sana (Pulang : 75)

Berbicara tentang ketidakberpihakan, saya teringat pada cerita dari salah satu Seven Deadly Sins yang bernama Belphegor. Saat terjadinya pembangkangan atau kudeta yang dilakukan oleh Lucifer, Belphegor -yang dulunya adalah malaikat- lebih memilih tidak memihak kepada pasukan Tuhan atau pasukan pembangkang Lucifer. Karena ketidakberpihakan inilah, Belphegor diusir oleh Tuhan dari surga dan dibuang ke dalam neraka. Jadi, apakah ketidakberpihakan merupakan sebuah kejahatan yang harus diadili? Atau memang menjadi risiko seorang yang tidak melempar jangkarnya untuk berlabuh di suatu tempat? Saya pikir Soeharto sebelum meletusnya Gestapu sudah mengetahui akan ada penculikan dewan jenderal, dan dia lebih memilih diam daripada bertindak. 

Saya melambangkan Soeharto sebagai sosok Belphegor, namun dengan keberuntungan dirinya yang berhasil selamat tanpa harus diadili. Tapi di lain sisi, saya juga melambangkan Soeharto atau pemerintah pada saat itu sebagai sosok Tuhan, dan orang yang tidak memihak ke suatu kutub layaknya Dimas seperti Belphegor yang malang. Di mana ia harus dicampakkan atas ketidakberpihakannya. 

Paranoia Berkelanjutan

Dia merasa tahu bahwa aku adalah anak seorang pecundang, seorang pengkhianat. Itulah sebutan yang ditiupkan orang tua Denny ke telinga anaknya saat menceritakan sejarah Indonesia versi Orde Baru. Pulang (hal.295)

Apa yang terjadi pada keluarga yang dianggap sebagai dari partisipan komunis pasca tragedi 65? Adalah luka yang panjang bagi mereka yang dicap sebagai keluarga partisipan komunis. Diskriminasi dan dikucilkan merupakan makanan sehari-hari bagi mereka. dalam identitasnya pun memiliki simbol khusus yang nantinya akan menyulitkan mereka. Mereka keluarga para partisipan komunis akan terus merangkak dalam bermasyarakat. Apalagi setelah pasca tragedi 65, pemerintah Orde baru melakukan kebijakan ‘bersih lingkungan’. Kebijakan ini merupakan sebuah bentuk pemerintahan Orde baru agar keluarga yang memiliki hubungan dengan PKI tidak bisa masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil atau menjadi pejabat negara. Dari contoh bersih lingkungan dan dampak atas kebijakan politik Orba tersebut, terlihat bahwa pemerintah mencoba untuk membentuk suatu dominasi kelas melalui sistem kekerasan dengan melibatkan aparatur negara seperti tentara, polisi, dan semacamnya untuk membentuk sebuah kebiasaan dalam pandangan masyarakat terhadap keluarga eks tapol 65.

Hal serupa tentang perbedaan mencolok dalam identitas keluarga eks tapol 65 juga saya temukan dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Di mana tokoh utama dalam novel tersebut dituduh sebagai partisipan komunis, padahal sama sekali ia bukan bagian dari paham komunis, tapi karena keberanian lantang melawan pemerintah Orba, akhirnya ia dicap sebagai bagian partisipan komunis. Atas kejadian ini, akhirnya kehidupan tokoh utama tersebut menjadi sengsara. ”Seperti PKI?” Aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat ciri di KTP-nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan bisa hidup enak. Selamanya bakal jadi kere (Entrok : 275).

Dalam Pulang, kita bisa melihat ketidakadilan yang didapatkan oleh keturunan atau kerabat yang memiliki ideologi kiri. Misalnya Alam anak dari mas Hananto dan Bimo anak dari mas Nugroho yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dalam pergaulannya semasa bersekolah di mana selalu dikucilkan oleh kawan-kawannya. Suatu hari Denny dan kelima hambanya mengepung kami berdua. Mereka menyebut kami putera pengkhianat negara (Pulang : 295). Mereka berdua bisa menjadi gambaran bagaimana pemerintah saat itu berhasil mendoktrinisasi masyarakat agar mengucilkan famili dari orang yang condong pada komunis. Alam dan Bimo tumbuh dan berkembang dalam ketidakadilan. Mereka seolah-olah menjadi aib masyarakat pada saat itu. Padahal, saat meletusnya Gestapu mereka sama sekali tidak memiliki peranan. Jadi bisa disebut mereka mewariskan kesialan yang diperbuat oleh ayahnya. 

Ada sebuah ketidaklogisan pemikiran mengapa orang-orang seperti Bimo dan alam dikucilkan dan didiskriminasi oleh masyarakat pada saat itu. Padahal yang melakukan dan memilih keputusan perpolitikan adalah orang tuanya, tapi malah keluarganya juga kena dampak dari diskriminasi tersebut. Apalagi, saat film G30S/PKI dibuat dan ditayangkan oleh pemerintah Orba setiap 30 September. Bahkan film ini ditayangkan dalam lingkungan akademis dan para muridnya diharuskan membuat resensi terhadap film tersebut.

Padahal, film tersebut hanya sebuah propaganda yang keabsahan dan keasliannya masih tanda tanya. Karena ketidaklogisan propaganda ini yang merugikan beberapa pihak, saya dapat memahami mengapa kebanyakan orang menganggap bahwa kedudukan merupakan kedudukan Tirani yang di mana pemimpinnya adalah seorang penjahat berdarah dingin. Soeharto. Hari berlalu. Namun, hingga saat ini doktrinasi tentang keluarga eks tapol masih saja berkembang dalam masyarakat sehari-hari. Hal ini yang membuat saya berpikir apa kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki gangguan mental paranoia tentang hal yang kemerahan dan kekirian? Bisa disimpulkan bahwa doktrinasi yang dilakukan oleh Orde barutentang keluarga tapol 65 sangat gemilang hingga pada saya menyelesaikan esai ini.

Saat membicarakan doktrin tentang komunisme di Indonesia, saya teringat pada lagunya Jason Ranti yang berjudul Bahaya Komunis. Padahal, lagu itu menyindir tentang bagaimana rakyat Indonesia terlalu takut terhadap hal berbau komunis. Tapi lucunya ia pernah diundang ke dalam suatu markas tentara dan menyanyikan lagu tersebut beramai-ramai. Apa para prajurit dan civitas Kodam tentara itu mengetahui makna di balik lagu Jason Ranti saat menyanyikan lagunya atau mereka hanya mengambil kesimpulan atas judulnya saja?

Kesimpulan 

Apa yang bisa kita petik dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A? Kutipan Rumi yang berceceran dalam novel Pulang ini seakan membuka pikiran saya kembali. Apa benar sejarah yang saya pelajari di sekolah sudah cukup untuk bisa mengerti kata Indonesia itu sendiri. Semakin bertambah usia saya semakin memahami kalau saya sebenarnya tinggal di sebuah negeri yang sebenarnya memiliki sejarah dan kemisteriusan yang kompleks. Bukan hanya tentang keindahan panorama serta cerita Mahabharata yang diduplikasi menjadi sebuah cerita di pewayangan. Melainkan ada hal yang menjijikkan dan kekejian yang melengkapi kata Indonesia itu sendiri.

Novel Pulang menurut saya menjadi sebuah buku sejarah yang menceritakan sisi lain dari kata Indonesia itu sendiri. Tentang ketakutan dan doktrinasi komunis yang masih terasa hingga sekarang, hingar bingar kekuatan tangan besi dari kelompok militerisme pada saat tahun Orde baru berkuasa. Tentang pemutusan intelektualitas yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, sehingga membuat masyarakat bangsa kita banyak yang tidak berani berpendapat pada pendapatnya sendiri. Mungkin dampak dari itu semua bisa ke ranah minimnya rasa pengetahuan akan suatu hal dalam masyarakat kita karena dalam pikirannya sudah ditumbuhkan doktrinasi Orba yang masih mengakar hingga saat ini. Belum lagi pembredelan dan penyitaan buku-buku ilmiah yang dilakukan oleh aparatur negara seakan telah mengambil salah satu jendela wawasan kita. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata kalau penyitaan buku adalah tindakan lancung, peradaban rendah. Dan sampai pada titik ini saya bisa menyimpulkan apa yang dilakukan aparat negara tersebut membuat peradaban kita masih rendah. Sekian.

Referensi

Chudori, Leila S. (2012). Pulang. PT Gramedia, Jakarta.

Madasari, Okky. (2010). Entrok. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tempo.co. (2012). Film Pengkhianatan G30S/PKI, Dicerca dan Dipuji. nasional.tempo.co, Jakarta.

Monaco, Emily. (2019). Flâner: Seni Keluyuran Tanpa Tujuan Ala Prancis. BBC News Indonesia.

Pour, Julius. (2010). Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan & Petualang. Kompas, Jakarta.

H.T, Faruk. (2016). Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernism. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Penulis: M. Rifan Prianto

Editor: Salsabila Izzati Alia

Baca Juga: Dari Dalam Kubur: Yang Terlupa dari Bulan Duka