25 November ditetapkan sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP). HAKtP lahir sebagai penghormatan untuk Mirabal bersaudara yang dibunuh secara brutal pada tahun 1960 oleh pemerintah Republik Dominika.
Mirabal bersaudara merupakan simbol perlawanan terhadap pemerintahan Republik Dominika saat itu. Rejim Trujillo yang berkuasa sangat dibenci oleh warganya sendiri. Namun, tidak banyak yang berani bersuara dan menyerukan perlawanan kepada Trijullo sebab kediktatorannya. Segala kebebasan berpendapat dibungkam, perempuan-perempuan tidak dihormati, bahkan orang-orang yang melawan kepada keputusannya akan mendapatkan intimidasi serta tindakan tidak manusiawi lainnya.
Rejim Trijullo sangat ditakuti oleh rakyatnya pada masa itu. Namun, beberapa masyarakat yang tergabung dalam kelompok pergerakan 14 Juni dan Mirabal bersaudara termasuk di dalamnya melakukan aksi-aksi bawah tanah untuk menggulingkan Rejim Trijulllo.
Perlawanan demi perlawanan terus digaungkan. Tidak hanya Mirabal bersaudara, rakyat Dominika saat itu juga ikut serta dalam setiap pejuangan melawan Rejim Trujillo. Perlawanan-perlawanan mereka akhirnya membuat Rejim Trujillo memberikan perhatian lebih hingga mereka memutuskan untuk membunuh Mirabal bersaudara pada tanggal 25 November sebab perlawanan-perlawanannya.
Dari sanalah tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional. Ketetapan ini diputuskan pada tanggal 17 Desember 1999 oleh Majelis Umum PBB sebagai penghormatan kepada Mirabal bersaudara atas perjuangan-perjuangan mereka melawan ketidakadilan di negaranya.
Semangat Mirabal bersaudara menjamur ke seantero penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Semangat yang hadir mendorong beberapa gerakan anti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, seperti Perempuan Mahardika, Komnas Perempuan, dan Kartini Fonds. Bisa kita lihat dari dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 terjadi sebanyak 299.991 kasus. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama karena pencatatan dan pendokumentasian kasus KtP mengalami penurunan drastis. Penurunan ini disinyalir bersumber dari pengisian kuisioner dari beberapa lembaga yang mengurusi kasus KtP menurun. Banyaknya lembaga yang tidak mengembalikan kuisioner mengakibatkan data yang hadir terlihat cacat. padahal dari jumlah pengaduan kepada Komnas Perempuan sendiri mengalami peningkatan drastis selama masa pandemi ini, dari yang awalnya 1.413 kasus pada tahun 2019 menjadi 2.389 kasus pada tahun 2020.
Dari data-data yang dihadirkan, kita selaku masyarakat perlu memperhatikan kembali lingkungan sekitar kita. Lagi-lagi Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) ini masih sering terjadi. Jumlah kasus KtP tidak sedikit dan tentunya data-data ini belum termasuk data yang tidak dihimpun oleh Komnas Perempuan itu sendiri. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap?
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang banyak terjadi di lingkungan kita akhirnya mendapatkan respons dari pemerintah, khususnya soal kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi. Hadirnya Permendikbud soal PPKS menjadi angin segar bagi para akademisi dalam menjalankan rutinitasnya di lingkungan kampus karena mereka tidak perlu takut lagi dengan segala hal yang akhirnya menjadi ancaman hingga mereka berani untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Sejatinya, keberadaan Permendikbud ini menjadi payung hukum untuk mereka dari segala bentuk pelecehan.
Survei yang diadakan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makariem terhadap dosen menghasilkan 77% kekerasan seksual terjadi per tahun 2020. Itu baru survei di lingkungan dosen saja dan mirisnya lagi 63% dari survei yang dilakukan menghasilkan kekerasan seksual itu tidak dilaporkan kepada pihak terkait dengan dalih khawatir memberikan stigma negatif yang akan disematkan kepada penyitasnya.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan kampus tidak baik-baik saja sehingga penyelesaian yang bisa dihadirkan ialah segera mengesahkan Permendikbud PPKS itu sendiri. Tidak adanya regulasi yang mengatur soal kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadikan persoalan kekerasan seksual tidak terselsaikan. Dengan adanya peraturan tersebut, nantinya bisa menekan tindak kekerasan seksual di intansi pendidikan serendah mungkin hingga akhirnya saya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak mendukung Permendikbud soal PPKS karena pada akhirnya dengan permendikbud ini civitas akademika bisa merasa aman dan nyaman dalam aktivitasnya sehari-hari.
Baca juga : Antara Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa: Ada Fakta Apa di Baliknya?
Penulis: Rifki Zaenal Muttaqin
Editor : Nenden Nur Intan