Alegori Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Novel “Animal Farm” Karya George Orwell

Melihat laman berita, koran, bahkan tayangan TV sekarang ini selalu meliput tentang korupsi dalam lingkup nasional hingga internasional. Kondisi ini menjadi masalah umum di semua negara, tetapi tidak juga ditemukan solusinya. Tidak perlu jauh-jauh ke negeri seberang atau daerah barat, di Indonesia pun tidak jauh berbeda keadaannya. Malah kasus ini semakin menjamur tidak tahu malu. Coba saja lihat berita dari TV yang kamu tonton, berita korupsi terbaru hari ini pasti muncul. Masalah ini terus saja tertanam hingga menjadi hal yang “biasa”.

Pernah dengar karya sastra Inggris terkenal milik George Orwell yang berjudul “Animal Farm”? Karya ini sangat populer. Karya ini menjadi salah satu bentuk alegori isu korupsi yang mendunia. Lewat karya ini, George Orwell tidak hanya menciptakan kisah yang menarik dengan menggunakan hewan sebagai tokoh penggerak cerita ini, tetapi juga menyindir dinamika kekuasaan dalam pemerintah yang bobrok. Berlatarkan peternakan kecil di Inggris, para tokoh mencerminkan sistem politik otoriter pasca-Revolusi Rusia. Walau dengan konsep sederhana, cerita ini mampu memberikan pesan tentang penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di banyak negara. Melalui simbolisasi hewan dan struktur kekuasaan di peternakan, George Orwell berhasil dalam menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa menggerus idealisme dan memunculkan ketimpangan yang semakin dalam.

Baca Juga: Bocoran Anggaran Kemenkeu 2026: Pendidikan dan Kesehatan Bukan Lagi Prioritas Pemerintah, Warganet Protes

Dari Revolusi ke Penindasan

Buku ini dibuka dengan semangat para hewan tentang revolusi yang dimimpikan oleh salah satu hewan bernama Mayor. Adanya pembacaan mimpi ini, banyak hewan mendambakan perubahan yang lebih baik di peternakan milik Pak Jones. Para binatang pun melakukan pemberontakan kepada manusia untuk menciptakan dunia yang adil dan setara. Sayang seribu sayang, ada saja yang melenceng dari ideologi awal. Segelintir babi malah haus kekuasaan, salah satunya bernama Napoleon. Napoleon telah meruntuhkan semua cita-cita awal para hewan di peternakan itu.

Fenomena yang digambarkan para hewan ini dapat menggambarkan masyarakat Indonesia di awal reformasi baru. Indonesia di era pasca-Reformasi 1998 menjadi masa yang sangat demokratis, bersih, dan bebas korupsi karena terbebas dari belenggu pemerintahan Soeharto. Namun, apa yang ada sekarang? Sekarang ada saja manusia yang egois dengan keinginannya sendiri, misalnya, muncul manusia-manusia rakus kekuasaan dan fasilitas negara. Semua perubahan baik yang kita mimpikan dahulu tergantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Propaganda dan Manipulasi sebagai Alat Kekuasaan

Dalam cerita ini, tokoh bernama Squealer digambarkan sebagai babi pembicara ulung, lihai memutarbalikan fakta, dan memanipulasi para hewan demi menjaga citra milik Napoleon. Ia menggunakan retorika, ancaman, dan manipulasi untuk membenarkan setiap kebijakan yang dihadirkan Napoleon. Agar para hewan percaya dan melakukan kebijakan tersebut, Squearel menciptakan argumennya sendiri. Hal ini menunjukkan cara kerja propaganda di dunia nyata.

Di Indonesia, praktik ini sering terjadi. Manipulasi informasi bukan hal yang asing lagi. Contohnya adalah buzzer politik yang menjadi gambaran tokoh Squearel dalam dunia nyata. Buzzer politik banyak menyebar narasi tandingan untuk melemahkan kritik publik. Kasus korup besar pun bisa ‘dibingkai ulang’ menjadi sebuah konspirasi atau kriminalisasi lawan politik. Akibatnya, banyak masyarakat yang sulit membedakan fakta dan opini.

Baca Juga: Memulai Karir: Pentingnya Membangun Kepercayaan Diri dengan Public Speaking

Kesetaraan yang Semu

Salah satu kutipan yang terkenal dalam buku ini adalah “Semua binatang setara, tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lainnya”. Jika semua setara, kenapa hadir sebuah kesenjangan? Bukankah ini ironi? Ada kesenjangan berarti tidak ada kesetaraan. Dalam peternakan ini, semua hewan disebut-sebut setara, tetapi pada nyatanya, hidup tokoh para babi dan anjing itu lebih sejahtera daripada hewan lainnya, inilah bukti kesenjangan itu. 

Tidak ada bedanya dengan kondisi di Indonesia. Kita jelas sekali menggaungkan kesetaraan, tetapi nyatanya hanya semu belaka. Rakyat kecil mencuri demi makan kemudian dihukum berat. Sementara itu, koruptor yang merugikan negara sebesar miliaran rupiah bisa dijatuhi 6 tahun saja karena memiliki adab yang baik. Bukankah ini bukti dari kesenjangan itu? Artinya, kita tidak setara. Lebih mirisnya lagi, para koruptor itu malah hidup lebih layak dibandingkan penjahat dari jenis kejahatan lain. Beberapa kasus bahkan menunjukkan hukuman ringan, remisi yang janggal, hingga fasilitas mewah dalam tahanan. 

Perlawanan yang Mandul dan Harapan yang Tersisa

Para hewan di peternakan itu akhirnya sadar bahwa ada yang salah dengan kebijakan Napoleon yang carut marut. Sayangnya, mereka sudah kehilangan semangat revolusi yang dulu banyak digaungkan tokoh Snowball. Para hewan kebingungan, takut, dan tidak berdaya. Hal itu membuat mereka pasrah dengan kondisi suram itu. Ini juga menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang sering kali merasa tak berdaya menghadapi sistem yang korup.

Namun, kita tidak bisa membiarkan akhir cerita negara Indonesia sama dengan akhir kisah “Animal Farm” ini. Kita tidak bisa membiarkan masalah ini terus menjamur tidak tahu diri. Gerakan masyarakat sipil, jurnalis investigasi, dan aktivis antikorupsi di Indonesia harus terus diperjuangkan. Gerakan itu menunjukkan upaya kita untuk memberantas masalah korupsi ini. 

Perilaku Kita Selanjutnya

Cerita karya George Orwell ini bukan hanya menjadi kisah fiksi tentang hewan, tetapi juga peringatan tentang kekuasaan yang tidak diawasi bisa merusak segalanya. Melalui satir ini, Orwell mengingatkan kita bahwa korupsi tidak hanya berbentuk soal pencurian uang, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan dan nilai-nilai bersama. Indonesia harus terus menjadi negara demokratis. Kita perlu mengevaluasi diri agar tidak terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang menindas.

Akhirnya, muncullah pertanyaan: apakah kita hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan kekuasaan yang menyimpang ini? Atau akan ikut menjaga idealisme awal bangsa ini agar tidak kembali dikhianati?

Baca Juga: Laut Bercerita: Jeritan Sunyi para Aktivis ‘98?

Penulis: Fitria Humairoh Hanaan
Editor: Laksita Gati Widadi