Sekali atau dua kali setidaknya kita pernah melakukan kebohongan, entah karena ingin menghindari masalah atau karena hanya ingin bergurau dengan teman-teman. Namun, bagaimana jika kebohongan tersebut dilakukan secara terus menerus, tanpa tujuan jelas dan sampai kita sendiri tidak sadar bahwa sedang berbohong? Kedengarannya sedikit janggal memang. Bagaimana mungkin, seseorang bisa berbohong tanpa tujuan yang jelas? Begitulah yang disebut sebagai mitomania.
Mitomania? Apaan Itu?
Mitomania merupakan gangguan psikologis yang ditandai adanya kecenderungan kompulsif kronis yang membuat seseorang terus berbohong dan melebih-lebihkan sesuatu tanpa manfaat yang jelas. Seseorang yang mengidap mitomania disebut mitomaniak, yakni seseorang yang sering membuat cerita dengan memadukan antara fantasi dan kenyataan, bahkan pengidapnya sendiri bisa mempercayai rekayasa buatannya. Maka dari itu, seorang mitomaniak seringkali tidak bisa membedakan kebohongan dan kenyataan karena kebiasaannya berbohong.
Biasanya, kebiasaan berbohong seorang mitomaniak dimulai dengan kebohongan sederhana yang dilakukan setiap hari secara berkelanjutan dan berubah menjadi kronis seiring waktu. Sebagian besar dari mereka, tidak masalah sama sekali dengan apa yang dilakukannya. Mereka pun dapat melanjutkan perilaku berbohong mereka tanpa mengalami masalah serius dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah berbohong bukanlah hal yang salah dan akan menimbulkan dampak negatif baginya.
Baca juga: Alegori Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Novel “Animal Farm” Karya George Orwell
Kasus Mitomania, Ada dari Indonesia?!
Salah seorang mitomaniak yang terkenal adalah Dwi Hartanto. Ia sempat disebut sebagai penerus B.J. Habibie oleh media. Dwi mengklaim bahwa ia meneliti teknologi satelit dan pengembangan roket di European Space Agency (ESA). Selain itu, Dwi juga menyebut dirinya sebagai asisten profesor pos-doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft. Karena klaim itu, Dwi pun diundang ke berbagai acara televisi di Indonesia, termasuk wawancara eksklusif dengan Najwa Shihab.
Pada akhirnya, kebohongannya pun terbongkar saat kegiatan Visiting World Class Professor pada Desember 2016 yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kegiatan ini diikuti puluhan peneliti diaspora Indonesia, termasuk Dwi. Dalam kegiatan tersebut, Dwi menyampaikan paparan yang menimbulkan kecurigaan. Sejumlah peneliti lalu memverifikasi latar belakang Dwi ke TU Delft dan ESA. Hasilnya, Dwi ternyata hanya mahasiswa doktoral biasa, bukan asisten profesor. ESA juga menyatakan tak pernah bekerja sama dengannya. Akhirnya, Dwi mengakui kebohongannya dan meminta maaf secara terbuka melalui Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft pada Oktober 2017. Kasus ini menunjukkan dampak negatif mitomania, yakni merusak reputasi pribadi dan komunitas ilmiah, serta menipu masyarakat luas.
Kasus Mitomania Enric Marco, Pendistorsi Sejarah Kamp Konsentrasi Nazi
Selain Dwi Hartanto, kasus mitomania terkenal lainnya datang dari Enric Marco, seorang warga negara Spanyol. Selama hampir tiga dekade, Enric mengaku sebagai penyintas kamp konsentrasi Nazi. Ia mengklaim pernah ditahan di kamp Flossenbürg, Jerman. Kisahnya itu ia sampaikan dalam berbagai forum, termasuk pidato emosionalnya di hadapan parlemen Spanyol saat Hari Peringatan Holocaust tahun 2005. Enric bahkan pernah menjabat sebagai presiden Amical de Mauthausen, sebuah asosiasi korban Nazisme di Spanyol. Ia juga sempat menerima penghargaan Creu de Sant Jordi dari pemerintah Catalonia.
Kebohongan Enric terbongkar pada tahun 2005 oleh seorang sejarawan bernama Benito Bermejo. Bermejo menemukan dokumen yang membuktikan bahwa Enric tak pernah dipenjara di kamp konsentrasi Nazi. Sebaliknya, ia justru secara sukarela pergi ke Jerman pada tahun 1941 untuk bekerja di industri perang Nazi, bukan sebagai tahanan. Setelah dikonfrontasi, Enric mengakui bahwa kisahnya palsu. Namun, ia tetap membela diri dengan alasan ingin menjaga ingatan kolektif korban rezim Nazi di Spanyol.
Baca juga: Laut Bercerita: Jeritan Sunyi para Aktivis ‘98?
Mitomania, Tidaklah “Mantap” Dampaknya
Kedua kasus tersebut menunjukkan dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh pengidap mitomania, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Pengidap mitomania bisa menghancurkan reputasi pribadi dan menyebabkan hilangnya kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya. Seandainya Dwi Hartanto tidak memulai kebohongannya, barangkali ia tidak akan kehilangan reputasi sebagai mahasiswa doktoral berprestasi di luar negeri. Dwi memang berprestasi, tetapi tidak seprestisius seperti yang ia klaim di berbagai media. Akhirnya, ia justru dikenal sebagai pembohong yang mencoreng citra ilmuwan muda Indonesia. Demikian pula dengan Enric Marco yang kebohongannya bahkan lebih parah. Ia mengaburkan sejarah sebenarnya dari para korban kamp konsentrasi, merusak ingatan kolektif, dan melukai perasaan mereka yang benar-benar mengalami penderitaan di masa Nazi. Intinya, keduanya mempermainkan persepsi publik tentang kebenaran.
Lebih jauh, mitomania dapat menciptakan ketidakadilan yang nyata. Saat seorang mitomaniak mengklaim pencapaian yang tak pernah diraihnya, ia tak hanya menipu diri, tetapi juga mencuri pengakuan dari mereka yang benar-benar bekerja keras. Dalam dunia akademik, kebohongan semacam ini menciptakan ketimpangan kompetitif. Sebab, mahasiswa dan peneliti bisa saja tersingkir oleh sosok yang membangun prestasi dari ilusi. Mitomania tak hanya mengancam pengidapnya secara pribadi, tetapi juga merusak integritas akademik dan kepercayaan sosial.
Baca juga: Potret Patriarki dalam Dua Sisi: When Life Gives You Tangerines dan Kartini
Gejala dan Penyebab Seseorang Mengidap Mitomania, Salah Satunya Ada Insecure!
Berlandaskan dua kasus tersebut, maka dapat diketahui sejumlah gejala dan penyebab dari mitomania. Adapun gejala mitomania menurut İlayda Cebeciler, seorang psikolog yang menulis artikel tentang mitomania, beberapa di antaranya sebagai berikut.
- Sering melakukan kebohongan kompulsif dalam berbagai konteks
- Cerita rinci dan masuk akal, tetapi tidak sesuai fakta
- Cenderung menempatkan diri dalam peran positif atau heroik dalam cerita yang dibuat-buat
- Tidak merasa bersalah terkait dengan perilaku berbohong yang dilakukan, bahkan setelah kebohongannya terbongkar
Masih dari sumber yang sama, terdapat pula beberapa penyebab seseorang menjadi mitomaniak.
- Memiliki harga diri yang rendah dan insecure pada diri sendiri
- Keinginan untuk mendapatkan perhatian, rasa kagum, dan penerimaan di lingkungan sekitarnya
- Pengalaman masa kecil yang buruk
Pengidap Mitomania Mesti Ditolong, Jangan Diabaikan Apalagi Dipermalukan!
Oleh karena itu, mitomania perlu dipahami sebagai masalah kesehatan mental yang membutuhkan penanganan serius. Terapi psikologis, seperti terapi kognitif-perilaku (CBT), dapat membantu pengidap mitomania mengidentifikasi penyebab kebohongan mereka. Terapi juga dianjurkan agar mereka bisa belajar untuk berkomunikasi dengan jujur tanpa harus merasa rendah diri atau takut diabaikan.
Dukungan dari keluarga dan lingkungan juga sangat penting bagi pengidap mitomania. Tentunya, dukungan itu harus berupa pemahaman dan dorongan mencari bantuan profesional, bukan dengan mengabaikan apalagi mempermalukan mereka. Dengan penanganan yang tepat, pengidap mitomania dapat melepaskan diri dari lingkaran kebohongan. Pada akhirnya, mereka pun dapat membangun kehidupan yang lebih jujur dan autentik.
Penulis: Rihan Athsari
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra
Baca juga: Calling for All Writers: Tips n Trick Naskahmu Di-publish Gramedia!