Pada setiap 21 April, kita memperingati Hari Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia dalam meraih pendidikan dan kesetaraan. Namun, dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa perjuangan perempuan tidak hanya terbatas pada pencarian kesetaraan dengan laki-laki, tetapi lebih kepada bagaimana perempuan dapat menjalankan perannya secara optimal sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini, tanpa melampaui batasan yang ada. Dalam pandangan ini, penting untuk mengurai miskonsepsi tentang patriarki yang seringkali salah kaprah, terutama ketika kita membahas peran perempuan dalam Islam.
Miskonsepsi Patriarki dan Peran Perempuan dalam Islam
Patriarki sering kali dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai figur dominan, terutama dalam konteks kekuasaan, pekerjaan, dan keluarga. Masyarakat yang mengadopsi sistem patriarki seringkali memandang perempuan sebagai subordinat yang hanya memiliki peran domestik, terbatas di dalam rumah, dan tidak diberi ruang untuk berkembang. Pandangan ini tentu keliru jika dikaitkan dengan Islam.
Islam memberikan hak-hak yang jelas bagi perempuan, hak atas pendidikan, kepemilikan, pekerjaan, serta perlindungan dan kehormatan. Bahkan, Islam memberikan ruang luas bagi perempuan untuk berkontribusi di berbagai aspek kehidupan, asalkan tetap mengikuti batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam ajaran-Nya. Dalam hal ini, Islam memandang perempuan sebagai individu yang mulia, bukan sebagai entitas yang terbatas pada peran domestik semata.
Namun, dalam masyarakat modern, banyak yang keliru dalam memahami peran perempuan. Miskonsepsi ini sering menganggap bahwa perempuan hanya bisa berperan ketika mereka “setara” dengan laki-laki dalam segala hal. Padahal, ajaran Islam justru memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya. Sejarah mencatat bagaimana tokoh-tokoh seperti Khadijah binti Khuwaylid, Aisyah binti Abu Bakar, Nusaybah binti Ka’ab, dan Rufaidah al-Aslamiyah memberikan kontribusi besar dalam dakwah, keilmuan, dan jihad, meskipun mereka juga menjalankan peran sebagai ibu, istri, dan anggota keluarga yang mulia.
Islam dan Penghormatan Terhadap Perempuan
Islam hadir dengan perspektif yang jauh lebih dalam mengenai peran perempuan. Dalam Islam, perempuan tidak hanya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tetapi juga dilindungi hak-haknya sebagai individu yang mulia. Mereka tidak dibebani kewajiban nafkah seperti laki-laki, namun dihargai perannya sebagai ibu, pendidik pertama, dan penjaga generasi. Bahkan, surga dikatakan terletak di bawah telapak kaki ibu, yang menggambarkan betapa tingginya penghormatan terhadap ibu dalam ajaran Islam.
R.A. Kartini, dalam surat-suratnya, menekankan bahwa pendidikan bagi perempuan bukanlah untuk menjadikannya pesaing laki-laki, tetapi untuk memberinya kemampuan agar bisa melaksanakan tugasnya sebagai ibu dan pendidik yang cerdas. Hal ini selaras dengan prinsip Islam yang memandang pendidikan sebagai jalan menuju kebaikan, kemuliaan, dan keberkahan dalam hidup.
Baca Juga: Laut Bercerita: Jeritan Sunyi para Aktivis ‘98?
Pentingnya Aturan dalam Kehidupan
Salah satu miskonsepsi besar yang perlu diluruskan adalah pemahaman tentang aturan dalam kehidupan. Banyak orang yang beranggapan bahwa kebebasan mutlak adalah jalan menuju kesetaraan dan kemerdekaan. Namun, kebebasan tanpa aturan sering kali berujung pada eksploitasi dan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Aturan yang diberikan Allah dalam kehidupan bukanlah untuk mengekang, melainkan untuk memberikan perlindungan dan menjaga keseimbangan. Sebagai Pencipta, Allah mengetahui dengan sempurna apa yang terbaik bagi umat-Nya.
Berbeda dengan aturan buatan manusia yang bisa berubah seiring waktu dan kepentingan, aturan Allah bersifat abadi dan universal. Aturan-Nya melindungi perempuan dari ketidakadilan, memberikan hak-hak mereka tanpa mengekang potensi mereka. Dengan demikian, kebebasan yang diatur oleh Islam, kebebasan dalam koridor aturan-Nya adalah kebebasan yang sejati.
Menjadi Muslimah yang Berdaya dan Berperan
Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi independen, tetapi kebebasan tersebut harus diambil dalam batasan yang sesuai dengan tuntunan agama. Perempuan bisa berdaya, sukses, dan berkontribusi tanpa melampaui aturan yang telah digariskan. Misalnya, dalam konteks bekerja, Islam memberikan ruang bagi perempuan untuk bekerja, asalkan tetap menjaga adab, aurat, dan prioritas utama sebagai ibu dan istri.
Di dunia yang sering kali menganggap remeh peran ibu rumah tangga, kita perlu mengingat bahwa setiap perempuan, baik yang bekerja di luar rumah maupun yang mengurus rumah tangga, memiliki kontribusi yang tak ternilai. Peran ibu rumah tangga sebagai pendidik utama di rumah adalah kunci untuk mencetak generasi yang baik dan bermoral. Peran ini tidak kalah penting dengan pekerjaan lainnya di luar rumah. Karena sejatinya, ibu adalah guru pertama bagi anak-anak mereka, dan pendidikan yang diberikan di rumah memiliki dampak yang sangat besar bagi masa depan bangsa.
Selamat Hari Kartini
Hari Kartini bukan hanya sekadar peringatan tentang hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, tetapi juga merupakan refleksi untuk menghargai setiap peran perempuan, baik di rumah maupun di luar rumah. Mari kita lanjutkan perjuangan Kartini dengan menjadi perempuan yang tidak hanya berpendidikan tetapi juga berperan aktif dalam keluarga, masyarakat, dan dunia. Jadilah perempuan yang berwawasan, berdaya, dan selalu menjaga martabatnya, tanpa melampaui batas yang ada.
Dengan memperkuat pendidikan dan peran kita sesuai dengan nilai-nilai Islam, kita dapat menciptakan perubahan positif, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Penulis: Allysa Maulia Rahman
Editor: Ghaliah Syahiratunnisa
Baca Juga: Potret Patriarki dalam Dua Sisi: When Life Gives You Tangerines dan Kartini