Fakhria Nabila Ghisani
Hubungan simboisis yang menguntungkan antara manusia dengan air menjadikan kosakata air lazim ditemukan. Nenek moyang memanfaatkan fenomena tersebut dalam budaya lisannya untuk mengalirkan khazanah ilmu dan sebagai kontrol sosial. Beberapa dapat kita temukan seperti air susu dibalas air tuba atau bagai air di daun talas. Namun, ada satu kalimat yang menarikku berpikir lebih dalam, “Membasuh muka dengan air liur.” Lantas apa maknanya?
Terminologi Dr. Richards tentang metafora mengakarkan pada: (1) Tenor (makna atau arah umum) dan (2) Wahana (hal yang dibandingkan). Frasa “air liur” kerap dianggap menjijikkan sehingga dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu perbuatan dosa, sebab kaitannya yang dianggap sama-sama menjijikkan di mata manusia dan Tuhan. Maka, jika menitikberatkan pada teori, dosa yang berkedudukan sebagai tenor dengan air liur sebagai wahananya membentuk makna:
Orang yang berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang ia lakukan dengan melakukan dosa.
Bukan selesai masalah yang kau hendak tuntaskan, malah menambah masalah baru. Boleh jadi, dirimu dibuat “seakan tenang”, tetapi nyatanya masalah baru muncul. Bukan pada manusia, melainkan Tuhan.
Pedulikah Tuhan dengan kita? Mengapa Ia membiarkan kita dengan masalah yang tak dapat kita sendiri tuntaskan? Bahkan, seakan Tuhan sudah abai dan tak peduli dengan kita. Toh, makhluk di bumi bukan hanya aku. Masih banyak yang bisa Ia urus. Apalah daya aku, suatu saat Ia pasti memaafkanku. Bukankah Tuhan Maha Pemaaf?
Pernah berpikir demikian? Tenang. Kamu tak sendiri. Maukah berhenti sejenak dan berpikir jernih? Lanjutkan membaca jika sepakat.
Ia tidak tertidur bahkan mengantuk. Bukan Anda yang harus bergerak dan berjuang sendirian. Ia tau kau terlalu lemah dan gegabah. Gesekan itu hadir untuk membentuk Anda menjadi lebih kuat dan melampaui keterbatasan yang Anda ciptakan. Cobalah berbaik sangka. Berbahagialah.
“Jika penduduk penduduk bumi terus membawamu pada kekecewaan, maka cobalah beralih pada penduduk langit yang nyatanya tak pernah mengecewakan. Bila penduduk bumi mulai bosan mendengarkanmu, maka cobalah berucap pada penduduk langit yang tak pernah tidur dan lengah untuk setia mendengarkanmu, ada langit yang setia menghampirimu.” –Ani.
Baca juga: Menjadi Baik, Menjadi Jahat
Penulis: Fakhria Nabila Ghisani