Oleh: Kiki Amelia
Drama adalah cerita yang unik. Ia tidak untuk dibaca saja, tetapi untuk dipertunjukkan sebagai tontonan. Drama adalah kesenian ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama (Tambojang, 1981: 15).
Unik adalah kata yang pantas untuk menggambarkan naskah Nyonya-Nyonya. Dalam naskah ini kita akan mendapat banyak kejutan. Seperti yang dikatakan Tambojang, drama itu bukan hanya untuk dibaca saja, tetapi untuk dipertunjukkan sebagai tontonan. Ketika membaca naskah drama Wisran Hadi kita tidak hanya membaca cerita atau hanya sebatas menonton saja, sebab dalam dialog-dialognya menggambarkan banyak nilai dan moral yang dikemas secara estetik.
Seperti pada sebuah dialog ketika Tuan telah membeli kursi Nyonya,
“Nyonya ini bagaimana?! Saya sudah membeli kursi, Nyonya tahu, sekarang sayalah pemilik kursi ini. Soal akan saya gunakan untuk kursi makan atau untuk berdiri, itu persoalan saya sebagai pemilik. Nyonya jangan coba-coba mengusir seorang yang sedang berdiri di atas miliknya. Nyonya bisa ke pengadilan! Ke pengadilan, Nyonya!”
Ketika kita telah membeli sesuatu, maka sesuatu itu adalah milik kita dan kita berhak berlaku apa saja terhadap apa yang kita miliki, seperti seorang Nyonya dan Tuan.
Naskah drama ini selain membicarakan tentang nilai dan etika, juga membicarakan tentang kepemilikan. Terlihat jelas pada judul Nyonya-Nyonya dalam naskah tersebut ada tuan sebagai tokoh kedua. Bukan hanya kepemilikan, tetapi seorang Nyonya atau Tuan memiliki kekuasaaan atas segala sesuatu yang ia miliki, dan mereka memiliki hak seutuhnya untuk melakukan apa saja yang diinginkan ketika dihadapkan dengan sesuatu miliknya.
Hal yang menarik lagi, meskipun judulnya Nyonya-Nyonya, tetapi kedudukan seorang Nyonya akan selalu dikalahkan oleh seorang Tuan. Bisa dilihat dalam naskah tersebut, Tuan memiliki berbagai cara untuk memiliki apa yang dia mau, bahkan Tuan memiliki cara untuk memiliki Nyonya.
Baca juga: Drama Nyonya-Nyonya Karya Wisran Hadi: Kacamata Warisan Minangkabau
Tentu saja hal ini berkaitan dengan sang penulis yang berlatar belakang Minangkabau, seperti yang kita tahu bahwa Minangkabau menganut sistem matrilineal dalam adatnya, hal ini terlihat dalam naskahnya yang menempatkan wanita memiliki kekuasaan yang tinggi. Namun, tetap saja hal itu tidak melepas kenyataan bahwa laki-laki yang akan selalu berkuasa. Hal itulah yang ingin disampaikan oleh Wisran Hadi.
“Tuan beralasan bahwa ia ingin melunasi hutangnya. Ia mengeluarkan sejumlah uang tapi Nyonya tak peduli. Tuan kemudian menghitung uang itu sambil duduk di atas tempat tidur. Matanya terpaku pada tubuh Nyonya yang sedang berdandan. Nyonya menyuruh Tuan keluar tapi Tuan mengelak dengan berbagai alasan. Tuan mulai menawar harga tempat tidur dan kursi rias. Setelah menyerahkan uang, Tuan tak langsung pergi. Ia mengatakan bahwa kursi rias itu telah menjadi miliknya, maka Nyonya tidak berhak menempati milik orang. Nyonya akhirnya berdiri.”
Pada akhir sinopsis tersebut, kita tahu bahwa pada akhirnya Tuan selalu bisa memiliki apa yang diinginkan, seberkuasa apa pun seorang wanita, tetapi kodratnya memang lelakilah yang lebih berkuasa.
Meskipun begitu, perhatikan bagian akhir dari sinopsis naskah Nyonya-Nyonya, di bawah ini:
“Tuan mulai menawar, tapi Nyonya meminta harganya naik. Dan setiap Nyonya meminta kenaikan harga, pegangan Tuan naik ke atas. Nyonya kemudian berteriak tertahan, dan nyonya-nyonya yang berada di luar kamar ikut berteriak. Nyonya dan Tuan segera sadar bahwa ada orang lain di teras. Keduanya tersentak dan saling berusaha melarikan diri, tapi tidak tahu mau lari ke mana. Akhirnya, mereka berangkulan dan saling melepaskan lagi, kemudian berangkulan lagi. Nyonya-nyonya di luar mengintip dan tercengang. Mereka marah dan mengejar Tuan dan Nyonya ke dalam sambil menghunus pisau masing-masing. Istri Tuan kemudian datang tergesa dan ketika melihat Tuan dan Nyonya berpelukan, ia kemudian pingsan.”
Bagian yang ditebalkan, ada kekuatan dari para ponakan (kaum wanita) dalam memperebutkan warisan. Namun, seberkuasa apa pun seorang lelaki, tetapi wanitalah yang ditempatkan di atas (paham adat Minang, yang kuat pada sistem matrilineal). Meskipun Tuan dengan jelas dan sah melakukan pembelian dan menyandang status kepemilikan, kekuasaan, tapi betapa sulitnya ntuk menentang kekuasaan para Nyonya.
Baca juga: Resensi Buku “Notes Kreatif” Karya Ayu Utami
Penulis: Kiki Amelia