Dari batukah hatimu wahai para hartawan
Sampai hatimu membiarkan yang kelaparan…
Rhoma Irama
Di Serang Banten, 20 April 2020, seorang ibu rumah tangga ditemukan meninggal setelah dua hari hanya meminum air isi ulang. Di Cirebon, seorang tukang becak tiba-tiba terkapar karena lapar di pinggir jalan, 25 April 2020. Masih di tanggal yang sama, di Garut, tepatnya di bundaran STM, seorang perempuan dievakuasi petugas berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) lengkap menuju Puskesmas terdekat. Setelah diselidiki lebih lanjut, perempuan tersebut bukan karena lapar atau bahkan terinfeksi Covid, melainkan putus cinta dengan pacarnya.
Pengaruh wabah bukan hanya berdampak pada paru-paru saja, tetapi lambung dan hati. Ekonomi yang merosot hingga kelaparan menjadi musuh utama. Ada pula yang harus berpisah karena jarak yang dipisahkan PSBB sehingga terindikasi LDR menahun dan putus cinta—adaw.
Bagi kaum miskin kota dan rang kaya yang gak tawakal, yang ditakutkan bukanlah mati karena pandemi, tetapi mati karena perut yang tak terisi. Bencana kelaparan merupakan ancaman lain, muncul sebagai anak masalah dari wabah. Dengan begitu kelaparan ini tidaklah dianggap remeh, apalagi kalau terjadi secara massal.
Bagian II
“Apa cemas itu ditukar ubi saja?”
Pada abad pertengahan, India dan Mesir dilanda kekeringan hebat—yang ini bukan hujan lebat, tercatat 5 sampai 10 persen populasi musnah karenanya. Persediaan pangan di teras-teras rumah mulai berkurang, secara geografis tak diuntungkan bila mengandalkan transportasi karena lambat dan mahal. Pemerintahan saat itu terlalu lemah untuk sekedar berbagi remah-remah biskuit.
April 1664, pejabat Prancis di Beauvais menggambarkan dampak kelaparan dan melonjaknya harga pangan dengan mengatakan bahwa mereka (masyarakat miskin sudah tak terhitung jumlahnya) kelaparan dan hidup serba kekurangan. Tak ada uang untuk sepotong roti. Layaknya binatang, mereka memakan sisa-sisa makanan yang telah kotor. Terkadang jeroan yang berserakan di jalan mereka santap dengan lahap, serta darah sapi atau kerbau hasil pejagalan—kalau kita biasa menyebutnya “marus” kali ya.
Gagal panen karena cuaca tentu bukanlah fiksi belaka, hal itu pernah terjadi di Ciloa Bagian Barat (daerahku). Beratus tahun sebelum itu, terjadi di Prancis pada 1664 hingga 1694. Lumbung-lumbung pangan kosong. Orang-orang kaya menimbun makanan serta mematok harga tinggi edan eling—ya mirip-mirip kisah masker di awal pandemi. Dalam rentang waktu tersebut, 15 persen populasi Prancis atau sekitar 2,8 juta jiwa melayang dengan perut kosong. Tahun berikutnya, 1695 menjadi tahunnya Estonia menewaskan seperlima populasi karena kelaparan. Setelah itu, 1696 di Finlandia, seperempat sampai sepertiga mati kelaparan. 20 persen penduduk Skotlandia mati kelaparan antara 1695 hingga 1698.
Baca juga: Situasi Kampus dan Empat Pertanyaan yang Belum Terjawab
Satu abad setelahnya, terjadi kelaparan di Benggala tahun 1770, membunuh 10 juta jiwa atau sepertiga populasi di sana. Saat itu, sebagian besar perdagangan dikuasai oleh Inggris milik perusahaan Hindia Timur. Dalam penguasaannya, laporan kekeringan dan kekurangan tanaman selalu diabaikan. Perusahaan-perusahaan memilih meningkatkan pajak daerah, oleh karenanya petani tidak dapat bercocok tanam. Seperti biasa, tokoh penimbun dan penjual mematok harga tinggi untuk makanan. Para petani dipaksa menanam bunga indigo dan opium daripada makanan tinggi nutrisi, hal itu dinilai karena dianggap lebih menguntungkan. Orang-orang dibiarkan hidup tanpa cadangan makanan. Kelaparan dan akhirnya tewas mengenaskan.
Pada 1783 kelaparan menghantui Chalisa, India. Menewaskan sekitar 11 juta jiwa. Bencana tersebut terjadi karena wilayah tersebut mengalami kekeringan yang amat sangat, setelah cuaca El-Nino (bukan Fernando Torres) sama sekali tidak menurunkan hujan. Akibatnya, semua hasil panen layu dan mati. Begitu pun dengan ternak yang pupus tanpa sempat disembelih.
Irish Potato Famine 1845-1852, merupakan bencana kelaparan besar yang terjadi di Irlandia. Kentang merupakan makanan pokok negeri Conor McGregor kala itu. Kelaparan ini dipicu kegagalan panen akibat hampir semua umbi kentang tidak dapat dikonsumsi. Biang keroknya gara-gara hawar kentang. Dampaknya 20 hingga 25 persen penduduk Irlandia meninggal. Ibarat tikus mati di lumbung padi.
Memasuki abad ke-19, China mengawali bencana kelaparan di abad tersebut. Tahun 1907 terdapat kasus kelaparan yang merenggut 25 juta orang tewas. Kelaparan ini dipicu karena China palih timur, terguncang serangkaian panen buruk akibat banjir yang melanda setinggi 40.000 mil persegi di wilayah pertanian. 100 persen hasil panen rusak tanpa sisa dan menyebabkan kerusuhan di mana-mana. Tahun 1917, giliran Rusia yang mesti bergejolak setelah kehilangan jutaan dolar akibat Perang Dunia I dan beberapa perang sipil. Sepanjang perang, tentara Bolshevik memaksa petani untuk menyerahkan makanan hasil panen mereka. Akibatnya, banyak petani enggan kembali bercocok tanam—mungkin pundung. Hal ini berdampak kelaparan massal karena tidak terdapat bibit unggul untuk ditanam. Tercatat korban yang tewas karenanya mencapai 5 juta jiwa.
Sebelum Soviet runtuh di tahun 1990-an, terjadi kelaparan akibat kebijakan kolektif yang dipimpin Stalin. Dalam kebijakan tersebut, lahan-lahan pertanian pribadi berubah menjadi lahan kolektif. Stalin mengambil paksa lahan-lahan tersebut, merusak tambak, panen, dan ternak yang ada. Menyadari kenyataan tersebut, para petani menyembunyikan tanamannya untuk dikonsumsi pribadi dan sebagian disimpan untuk benih. Namun, pemerintah melakukan pencarian besar-besaran lalu menghancurkannya. Akibat perusakan benih tersebut, Uni Soviet dilanda kelaparan massal yang menewaskan sekitar 10 juta jiwa.
Baca juga: WISUDA UPI DI TENGAH PANDEMI
Kembali ke Benggala. Akibat angin ribut mengakibatkan wilayah tersebut mengalami gagal panen. Mayoritas makanan yang dikonsumsi berasal dari Burma, tetapi Jepang yang saat itu menguasai Benggala menghentikannya. Jepang mengalihkan pasokan pangan tersebut untuk keperluan Perang Dunia II. Tahun 1942, Benggala dilanda Topan (bukan Aditya), lalu banjir besar menghancurkan 3200 mil persegi lahan pertanian. Adapun lahan yang tidak hancur, daerah pertanian tersebut memunculkan jamur yang merusak 90 persen dari semua padi yang kembali menyerang hasil panen.
Pada 1958—1962 China kembali mengalami bencana kelaparan yang amat besar. Kelaparan ini disebabkan oleh pimpinan saat itu yang memaksa perubahan masyarakat lewat doktrin “Lompatan jauh ke depan”. Rezim saat itu mendahulukan produksi besi dan baja ketimbang bahan pangan. Akibatnya, para petani dipaksa keluar dari ladang dan diarahkan ke pabrik-pabrik. Sampai sekarang pemerintah China menutupi jumlah penduduknya yang mati karena bencana tersebut. Namun, peneliti independen negeri tirai bambu itu menyebut sekitar 43 juta jiwa mati karena kacaunya tahun-tahun itu. Selama bencana kelaparan itu, fenomena kanibalisme marak terjadi di berbagai daerah China. Lagi-lagi sampai kini pemerintah China menyembunyikan fakta-fakta rakyat yang mati karena bencana kelaparan tersebut. Berita tentang kanibalisme, terus diblokir dan ditutup-tutupi oleh rezim saat itu.
Sebagian dirimu mungkin pernah mengalami tidak makan siang karena alasan keagamaan, diet, atau gara-gara dosen masih meracau hingga overtime beberapa jam. Tetapi apa pernah membayangkan jika tiba-tiba dirimu menjadi warga Palestina, Suriah, Sudan, Somalia—negara-negara Afrika lain, atau warga Uighur yang bahkan hidup tanpa seremah biskuit. Melansir CNN Indonesia, lembaga nirlaba yang menyoroti kemiskinan dunia, yaitu Oxfam, memperingatkan potensi kematian akibat kelaparan saat pandemi covid-19 diperkirakan mencapai 12 ribu per hari di akhir 2020. Bencana kelaparan bisa merenggut lebih banyak nyawa dari infeksi virus korona.
Kelaparan merupakan ancaman lain selain wabah bagi manusia dan kemanusiaan. Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam. Currie menyebutkan bahwa rasa lapar dapat mengubah seseorang menjadi emosional, menimbulkan rasa cemas, gelisah, dan stres—hal tersebut merupakan sebab psikologis di luar gejala asam lambung jeung mag. Ya, sifat dasar manusia adalah jahat, rakus, dan cenderung menyukai konflik bukan? Makanya perlu untuk selalu dimanusiakan. Kalau Hobbes menyebut manusia sebagai Homo Homini Lupus, serigala atas manusia lainnya.
Nasib buruk dan atau kebodohan tingkat kolektif mengakibatkan bencana bagi semua pihak. Kelaparan merupakan hal alami yang pernah dialami manusia. Di luar sana, sebagian orang usil mengotak-atik hak orang lain demi kepentingan isi perutnya. Misalnya, hujan lebat menghancurkan sawah-sawah di pedesaan, atau banjir bandang meratakan empang beserta lele di dalamnya, atau karena semua orang mulai susah cari makan, tiba-tiba rombongan kafilah penyamun membawa kabur ternak-ternak di pipir serta harta benda di bawah bantal. Ya kadang orang suka rese kalo lagi laper.
Epilog
Kelak, ada pula kekeringan yang akan melanda selama bertahun-tahun, sehingga tak menjadikan tanaman tumbuh subur, bahkan di Indonesia sekalipun—yang katanya surga segala sumber daya. Dalam Sunan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Khuzaiman, dan Mustadarak al-Hakim, meriwayatkan dari Abu Umamah bahwa Rasul saw. bersabda “Sesungguhnya menjelang kemunculan Dajal ada tiga tahun yang sangat berat. Pada tahun-tahun tersebut manusia dilanda kelaparan. Tahun pertama, Allah memerintahkan langit untuk tidak menurunkan sepertiga hujan, dan memerintahkan bumi untuk tidak menumbuhkan sepertiga tumbuhannya. Tahun kedua, dua pertiga dan tahun ke tiga, tak ada setetes pun hujan serta tumbuhan tak tumbuh sedikit pun.” Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana tunggang-langgangnya manusia, setelah menerima bencana paling ngeri selama bertahun tahun. Hingga datang sang juru selamat palsu, menawarkan surga yang ternyata adalah neraka, dan sebaliknya.
Baca juga: PERADABAN MELETUP DI KEPALAKU
Penulis: Jundun Yade Alfarid