Festival Bandung Menggugat: Kondisi Demo(krasi) Saat ini

Kalutnya Indonesia saat ini mengaminkan bahwa memang kebobrokan akan terus mengakar sampai membelit ruang sipil paling kecil. Dibuktikan dari banyaknya kesewenangan yang dilakukan rezim di luar aspirasi serta persetujuan rakyat. Hal ini mengindikasikan terjadinya pengaburan konsistensi terhadap demokrasi yang katanya bangsa kita anut selama ini. Lantas menimbulkan pertanyaan publik terkait bagaimana kejelasan dan komitmen para penerima mandat rakyat terkait demokrasi yang selama ini diagung-agungkan.

Sebenarnya Apa Itu Demokrasi?

Menurut Bapak Demokrasi Indonesia dalam Buku Demokrasi Indonesia-Pemikiran Politik Bung Hatta karya Zulfikri Sulaeman (2010), tertulis bahwa demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Disadur juga asumsi Bung Hatta yang menyatakan rakyat tidak hanya berdaulat, tetapi juga bertanggung jawab atas kedaulatan yang dipegangnya dan rakyat tidak mungkin kehilangan kedaulatannya jika rakyat itu mau berdaulat. Dalam hal ini, rakyat berperan sebagai kompas penentu arah kebijakan pemerintahan melalui suara serta aspirasinya yang harus diwakili oleh penerima mandat terpilih. 

Menanggapi hal ini, “Memang betul demokrasi itu kedaulatan rakyat untuk membebaskan rakyat dari imperialisme, feodalisme, dan kabir. Oleh karena itu, kita membutuhkan demokrasi sebagai ruang untuk bersuara, berpendapat, dan berserikat.” Tulis Taqie selaku Ketua UKSK UPI.

“Karena demokrasi yang sejati itu adalah demokrasi rakyat yang menentang imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat,” tambahnya.

Mengingat untuk kembali berkaca pada beberapa kasus hangat yang sangat disayangkan keberadaannya, mulai dari pemangkasan anggaran sebagian kementerian dan lembaga berdasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025, pengesahan RUU TNI yang terkesan eksklusif dan sampai per hari ini draf sahnya belum bisa diakses publik, begitu juga dengan RUU Polri dan RUU Penyiaran yang sudah mulai dibahas dan masuk Program Legislasi Nasional 2025 (Prolegnas 2025). Menimbulkan suatu pertanyaan, apakah sudah sepenuhnya dan semestinya demokrasi dijalankan?

Menggugat Demokrasi Indonesia

Bandung Bergerak dan Mahasiswa Bersuara, serta beberapa media patrner yang satu visi misi mengadakan “Festival Bandung Menggugat”. Festival tersebut berisikan beberapa agenda acara yang terdiri dari diskusi publik, orasi, pojok bersuara, pasar rakyat, pameran foto, dan panggung seni. Ditujukan untuk menggalang semangat perjuangan rakyat agar kembali kritis dalam menghadapi ketidakpastian demokrasi yang semakin membatasi ruang gerak publik, terutama rakyat sipil. Festival ini dilaksanakan pada 12 April 2025 berlatar tempat di suatu kampung yang sampai saat ini masih berjuang melawan penggusuran lahan, Dago Elos.

Pameran foto dalam “Festival Bandung Menggugat”, Sabtu (13/04/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib)

Salah satu diskusi, bertajuk “Menggugat Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Rezim Baru”. Berfokus perihal apakah demokrasi masih hidup di bangsa ini? Dilihat dari ketidakacuhan pemegang mandat rakyat yang silih berganti. Para narasumber yang hadir sebagai pemantik, sepakat mengamini bahwa memang demokrasi bangsa ini menuju bobrok atau bahkan sudah bobrok. Kembali berkaca pada kasus-kasus kontras yang jelas-jelas jauh dari “demokrasi”.

“Jadi sebetulnya tidak ada lagi hukum yang bisa diandalkan karena hukum atau undang-undang adalah produk dari politik. Artinya, politiknya udah bobrok jadi pasti undang-undangnya bobrok,” ujar Asfinawati selaku narasumber yang merupakan figur penting dalam dunia advokasi HAM di Indonesia. 

Ditambahkan oleh Virdinda yang juga advokat demokrasi dan HAM, giat bersuara di media sosial yang didirikannya, yaitu @juristic.id dan @dutaaksinusantara. “Tentu hal ini sangat bersinggungan dengan HAM di rezim Prabowo-Gibran. Saya pikir ada satu kata yang bisa ngewakilin gambaran dan masa depan HAM di rezim kali ini, yaitu hampa. Kenapa? Karena belum ada komitmen dari Prabowo-Gibran untuk sepenuhnya menjamin dan melindungi HAM. Tetapi mereka malah berupaya memutihkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu sendiri dan menaruh kepercayaan yang lebih besar kepada militer.”

Rezim Hari Ini

Bergantinya rezim sejak 20 Oktober 2024, Prabowo-Gibran tentu belum genap setengah tahun menjabat. Namun belum genap pun sudah banyak hal-hal jauh dari demokrasi terjadi. Hal ini ditandai dengan beberapa tagar dan aksi demontrasi besar-besaran: Indonesia Gelap, Kabur Aja Dulu, dan Tolak RUU TNI. Diwartakan oleh Tempo.co, bahwa Prabowo-Gibran adalah rezim pertama yang digugat aksi dan demo sipil dalam kurun waktu 100 hari sejak dilantik. Hal tersebut menandakan kekecewaan publik atas kinerja yang tidak lagi mengacuhkan partisipasi rakyat. Bahkan, dalam wawancara Presiden bersama 7 jurnalis media nasional (07/04) lalu. Dalam wawancara tersebut, Prabowo terkesan ambisius dalam menggarap janji-janji politiknya dengan alibi kerja cepat untuk rakyat.

“Silahkan teman-teman simpulkan isinya apa, isinya kosong atau memang kosong adalah bagian dari isinya, kita gak tahu. Tapi dari situ kita bisa menyimpulkan bagaimana kemudian Presiden kita dan rezim hari ini ternyata peduli HAM yang hampa,” tutur Virdinda ketika menanggapi adanya wawancara presiden beberapa hari lalu.

Ternyata memang benar bahwa demokrasi yang kita gaungkan akan tumbang apabila kita sebagai rakyat hanya berfokus pada hal-hal remeh yang nantinya menimbulkan konflik horizontal. Seperti tidak acuh terhadap politik hukum, dan berpendapat “siapa pun pemimpinnya kita kerja dan cari makan sendiri”. Tentu hal-hal ini sangat disayangkan, karena mengingat cepat atau lambat hukum yang berlaku akan mempengaruhi kehidupan kita ke depannya.

Dampak Demokrasi yang Bobrok

Terlepas dari itu semua, Bandung adalah salah satu kota terdampak demokrasi yang bobrok. Dilihat dari masih banyaknya tindakan pelanggaran HAM, di antaranya penggusuran kampung: Kiaracondong, Tamansari, Kebon Jeruk, Anyer Dalam, dan Babakan Siliwangi, tindak represifitas aparat kepada aksi demontrasi, kampung-kampung yang masih digantung nasibnya atas penggusuran tanah: Dago Elos dan Sukahaji. Padahal Bandung telah diklaim sebagai kota yang ramah HAM pada 2015 lalu, tetapi klaim ini belum bisa diaminkan karena memang hal tersebut belum bisa dilakukan secara menyeluruh.

Sesi Diskusi 2: Menggugat Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Rezim Baru, Sabtu (13/04/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib)

Heri Pramono selaku narasumber yang merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengatakan, “pelanggaran HAM terus terjadi, perihal peningkatan ya tentu ada peningkatan, bisa di cek langsung lewat website LBH Bandung yang tiap tahunnya selalu mengeluarkan catatan akhir tahun.”

“Hasil masifnya infrastruktur yang kita harapkan adalah perluasan lapangan kerja, tetapi malah menjadi monumen buruk karena terjadinya PHK besar-besaran dan upah minimum beberapa wilayah di bawah standar. Hal ini membuat pabrik industri akan merebak ke wilayah-wilayah dengan standar upah di bawah minimum lalu berakhir pada perubahan lahan dan perebutan ruang hidup,” tambahnya.

Asfinawati yang sempat menjabat sebagai Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 dan Direktur Yayasan LBH Indonesia periode 2017-2021 mengungkapkan, “Seluruh hidup kita sangat dipengaruhi oleh aturan yang dibuat oleh negara ini, seperti berapakah tarif dasar listrik dan berapa biaya yang harus dibayarkan. Selanjutnya, kalau lagi demonstrasi kita bisa ditangkep atau tidak. Lalu, apakah kita harus membayar uang kuliah yang mahal atau murah? Itu juga ditentukan oleh hukum.”

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Dari apa saja yang sudah dan akan bangsa kita alami, tentu peran kita sebagai pemilik kekuasaan tertinggi sangat diperlukan. Tidak lagi bisa menutup mata dan tidak acuh terhadap kondisi saat ini. Karena apa yang ditanamkan hari ini, akan kita tuai di kemudian hari. Bisa jadi bukan kita yang menuai, tetapi generasi selanjutnya yang tentunya akan lahir dari rahim kita. Indonesia yang semakin gelap diharapkan tidak akan semakin gelap, karena semestinya sehabis gelap terbitlah terang.

Penampilan Panggung Seni oleh Sukatani, Sabtu (13/04/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib)

Kembali merawat ingatan atas pola-pola rezim pelanggar HAM karena sebetulnya apa yang terjadi saat ini bukanlah hal yang baru. Artinya pemerintah sudah memiliki panduan dalam menghadapi sipil yang merawat ingatannya. Ketika sedang demonstrasi dikerasi, ketika sipil mulai solid dimunculkanlah stigma-stigma dan kerusuhan yang memecah belah. Sehingga, sipil lebih fokus menyalahkan di antara sesamanya dan lupa atas pola yang ada. Pada hakikatnya rezim-rezim selalu ingat pola-pola tersebut dan kitalah yang lupa. Lupa inilah yang menjadi sumber semakin besar ruang gerak mereka karena bisa mengulang pola-pola yang sama. Sedangkan ruang sipil akan semakin menciut sampai ke akar rumput.

Melepaskan paham bahwa militer lebih kuat dibanding rakyat karena pada dasarnya jika ada militer yang melangkahi supremasi sipil dapat dipidanakan. Jangan takut menggunakan media sosial sebagai senjata untuk mengingatkan sesama yang mungkin lupa atau tidak sadar bahwa kita bangsa demokrasi yang di dalamnya memiliki supremasi sipil.

Hentikan stigma kepada sesama yang memilih aksi demonstrasi sebagai media mengingatkan dan pengawasan karena pemecahbelahan sipil sedang gencar dilakukan untuk menimbulkan konflik horizontal, sehingga kita lupa pada konflik vertikal kita kepada pemerintah. Maka teruslah merawat ingatan dan teruslah waras.


Penulis: Nabilah Novel Thalib

Editor: Suci Maharani